Jumat, 29 November 2013

Being Me




Oleh Ruwi Meita
  :Ruwi Mei
“Pasukan kuning berceceran di jalan Baru. Pak Satpol PP  tolong digaruk aja lalu dibuang di kali, tempatnya memang di situ. Bau Pak! Najis abis!”
            Perang komentar di facebook berawal dari status ini. Sudah lebih dari tigapuluh komentar super pedas dan saling menjatuhkan berdesakkan di kotak-kotak kecil sejak status itu di-upload 30 menit yang lalu. Saking banyaknya komentar mereka mulai kehabisan ide dan menggantinya dengan sumpah serapah yang mulai tak terkontrol.

Sabtu, 26 Oktober 2013

Kursi Malas Selena




Oleh: Ruwi Meita

Perempuan yang tinggal di sebuah rumah di tengah sawah itu baru saja membeli sebuah kursi malas. Kursi itu terbuat dari kayu jati, berplitur coklat gelap. Pada bagian sandarannya teranyam rotan berwarna lebih terang. Dia membelinya bukan karena dia ingin bermalas-malasan melainkan dia membutuhkan kursi itu untuk berpikir. Otaknya lebih bisa bekerja maksimal jika seluruh tubuhnya berayun-ayun.

Rabu, 16 Oktober 2013

Cuplikan Novel The Apuila's Child






 
Pulau Sogom, Perairan Sunda, 27 Agustus 1883
            Hara menggenggam kunci batu intan dengan erat. Badannya masih terguncang hebat. Tubuh musuhnya telah lenyap di depannya. Tak berbekas. Hara bisa mendengar roh musuhnya mendengking-dengking dalam kemarahan yang bertubi-tubi namun roh itu tak bisa menyentuh Hara sebab kunci batu intan masih berpijar. Hawa panas menyapu wajah Hara dan pelan-pelan mendingin dengan sendirinya.
Tak perlu diragukan lagi musuhnya telah mati.
Hara harus bergegas. Gemuruh Krakatau seperti jam pasir yang selalu mengingatkannya akan tugas terakhirnya. Maut telah lalu darinya namun masih ada satu kekhawatiran yang lekas menjadi ketakutan. Berulangkali dia menepisnya. Hampir selesai, katanya berulang-ulang. Matanya mengedar ke sekitarnya. Kabut hijau semakin pekat. Saat tubuhnya tak lagi berguncang dia mengalungkannya kunci batu intan di lehernya. Gemuruh Krakatau disertai getaran kuat menghardiknya. Buru-buru dia menuruni menara. Langkahnya menjadi sulit sebab gempa terasa semakin hebat. Dia terayun-ayun ke kanan dan ke kiri.
Pada saat dia berbelok menuju pintu utama seseorang memanggilnya dengan lemah. Hara menoleh dan matanya membelalak.
“Nyai Sumbing, serunya.
Seorang perempuan setengah baya berusaha merangkak. Seluruh bajunya berlumuran darah. Bibirnya terbelah dan mencong ke kanan namun itu adalah cacat lahir. Itulah kenapa dia disebut Nyai Sumbing. Di dekat meja yang biasa untuk berjudi pada malam-malam laknat, Nyai Sumbing tersungkur. Kepalanya penuh dengan darah. Rambutnya tak lagi berwarna abu keperakan. Hanya merah..
“Hara…”
Hara menubruk Nyai Sumbing dan memeluknya. Kepala perempuan setengah baya itu terkulai di pangkuan Hara. Baju lusuh Hara basah karena darah kembali. “Nyai Sumbing, kamu masih hidup. Ayo ikutlah bersamaku.”
“Aku takkan bertahan Hara. Pergilah ke pesisir selatan. Di sana sudah ada sekoci yang kami curi. Pakailah. Kamu harus hidup sebab kamu juru kunci terakhir. Tetaplah hidup.”
“Tidak Nyai, aku harus membawamu bersamaku.”
Suara gemuruh di luar semakin menjadi. Nyai Sumbing menatap Hara dengan mata memohon.
“Hara, dengarkan aku. Meski kamu berhasil membawaku, aku takkan bisa bertahan dari amukan Krakatau. Tak ada waktu lagi. Kamu harus berada di laut saat krakatau meledak. Meski kamu membawaku, aku takkan bisa bertahan dari Krakatau. Tapi kamu bisa. Lakukan sekarang.”
“Nyai..”
“Jangan lemah, Hara. Aku mengajarimu untuk tegar. Tinggalkan aku. Jagalah kunci batu intan. Lakukan tugas terakhir. Lautan menunggumu.”
Bibir Hara yang sobek bekas pertarungan tadi menggigil keras. Matanya mengabut lagi. Kali ini warnanya ungu. Kabut ungu di mata Hara.
“Biarkan aku membawamu, Nyai. Lebih berbahaya berada disini saat kamu hidup daripada ketika kamu mati.”
Nyai Sumbing mengangsurkan tangannya dan membuka genggamannya.
“Aku masih punya ini.”
Mata Hara berlinangan. Sebuah pil kecil berada di  tangan Nyai Sumbing. Mereka menyebutnya pil api. Jika Nyai Sumbing menelannya, perempuan malang itu akan mati bahkan sebelum pil itu sampai di lambungnya. Tubuh nyai akan dibakar dari dalam.
“Sebelum kau sampai di pesisir selatan aku sudah bebas,” kata Nyai Sumbing pelan, berusaha untuk tersenyum.
Hara menggenggam tangan Nyai Sumbing,“Aku takkan melupakanmu Nyai,desis Hara lalu berdiri. Dia berlari dan tak menoleh lagi. Menuju selatan. Kali ini bola matanya berubah lagi. Menghijau. Sekelam kabut di sekitarnya. Dia mengacungkan kunci batu intannya dan kabut itu menyibak dengan sendirinya.
Hara berhasil menemukan sekoci itu. Dia masuk ke dalamnya. Sebelum mendayung dia melihat ke arah gunung  Krakatau yang semakin bergolak. Hara mengusap kunci batu intan di dadanya. Dingin. Di depannya neraka bergemuruh dan dia akan menuju sana. Tangannya meraih dayung dan menghantamkannya ke permukaan laut. Pada saat sekoci bergerak, kabut hijau itu mengikutinya seperti sekumpulan budak yang patuh.
Hara memerhatikan jarak yang telah dia tempuh. Dia telah berada tepat di tengah pulau dan gunung Krakatau yang mengejan. Pelan-pelan Hara mengacungkan kunci batu intannya lagi. Kabut hijau pekat yang semula menurut itu tiba-tiba menggeliat. Dalam sekejap kabut hijau itu membentuk figur ular besar yang menggeliat kesakitan. Ular besar itu terisap masuk ke dalam kunci batu intan dengan cepat.

Selasa, 08 Oktober 2013

LAKI-LAKI PENGHUNI DANAU



Hidup Remai seperti membuka kulkas di malam hari saat terjaga dari tidur yang membosankan. Hanya sekedar membuka, melihat isi di dalamnya tanpa ada niatan untuk mengambil isinya. Kemudian menutupnya lagi tanpa ekspresi dengan sebuah kesadaran bahwa ternyata ia tak membutuhkan isi kulkas. Kalaupun ia ingin membuka kulkas itu karena ia ingin membuka kepalanya namun tak bisa. Atau memutar film semalaman tanpa ada niatan menonton. Hanya sekedar menatap layar ramping TV-nya dengan tatapan kosong.

Selasa, 30 Juli 2013

Cuplikan Novel The Apuila's Child



Saat mengetahui novel saya menang sebagai juara pertama lomba Fiksi Fantasi Diva 2013 sebenarnya saya sedikit tidak memercayainya. Tapi jujur saya senang. Agak heboh dikit sih. Ah oke-oke heboh banget deh. Ini adalah semacam pembuktian terhadap diri saya sendiri kalau saya masih mempunyai amunisi dan keyakinan bahwa saya masih bisa menulis. Maklum saya sempat vakum lama karena mengurusi anak yang masih kecil. Sekarang sudah agak besar jadi ingin nyemplung lagi ke dunia kepenulisan.

Jumat, 19 Juli 2013

Bullying Versi Emak-Emak



Saya seorang ibu yang baru saja memasukkan anak saya ke TK. Tiga bulan sebelum ajaran baru saya sudah menitipkan Kaka, anak saya, di playgroup dengan harapan dia bisa bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan teman-temannya. Pada awalnya Kaka mau masuk kelas sendiri dan saya menunggu di luar. Sebulan berlangsung dan tiba-tiba Kaka memaksa saya masuk kelas untuk menemaninya.

Senin, 01 April 2013

Angka Kehidupan




Hidup ada kalanya dihadapkan pada angka-angka. Meski kita mati-matian mengelak dari angka-angka ini namun kadang-kadang kita keceplosan juga dan bahkan ikut menilai. Saat seorang cewek cantik lewat, layaknya pria yang normal sangatlah wajar jika dia bertanya pada temannya. “Menurutmu dari 1-10 cewek itu kamu kasih nilai berapa?” Dan teman pria itu menjawab dengan versinya sendiri sementara pria itu bisa berpendapat dengan versinya sendiri. Seperti kata orang, cantik itu relatif.

Selasa, 19 Februari 2013

KETIKA SASI BERTANYA



cerpen ini pernah dimuat di majalah Femina edisi 4 tahun 2013. Selamat membaca.



“Kapan sih bunda dan bapak menikah? Tanggal berapa?” Tanya Sasi. Aku yang semula menggosok bagian punggungnya dengan sabun antiseptik hampir saja menjatuhkan sabunnya. Rasanya lidah ini tiba-tiba tumbuh tulang hingga kaku dan membuatku bisu. Tak ada yang bisa kukeluarkan dari bibirku. Aku hanya bisa mengguyur tubuh mungilnya dengan air dan berharap Sasi tidak mengejar jawabannya.

Pagi Putih





Pagi itu kebaktian gereja pertama di awal tahun. Aku merasa kota ini menjadi putih. Padahal sebenarnya tidak seputih di negeri salju. Hanya saja hujan terus menerus turun. Lupa berhenti. Jalanan menjadi blur. Kelabu nyaris putih. Mungkin aku terlalu berlebihan. Mungkin isi kepalaku yang putih sehingga mengacaukan pandanganku. Atau mungkin karena suasana Natal masih kental.  Yah, Natal identik dengan putih kan? Jika ada merah dan hijau itu pasti gara-gara pengaruh dari desaigner baju Sinterklas.

EMAIL UNTUK NAWANG (2)





Mereka beli kucing Persia seharga 2 juta.  Edan!

Masih ingat kan dengan tetanggaku sepasang suami istri yang dua-duanya jadi guru? Arif dan Diana? Mereka sudah menikah selama tiga tahun tapi belum punya anak. Seharusnya mereka mengadopsi anak bukannya membeli kucing mahal yang tidak tahu tata karma itu. Harusnya kamu melihatku saat mengusir Pisi dari sofa kesayanganku dengan cara yang halus. Oh ya, nama kucing pesek itu Pisi. Aku kadang lupa memanggilnya dengan Pesing, tapi aku lebih sering pura-pura lupa jika namanya Pisi.  Aku tidak enak jika mengusirnya dengan cara kasar sebab takut kedengaran tetanggaku. Mereka sayang banget dengan Pisi sampai-sampai Diana sering memanggilnya dengan nduk. E alah.

Email Untuk Nawang



Email Untuk Nawang

Nawang, kamu bangga menjadi ibu rumah tangga? Bekerja seharian di rumah dan mengawasi anak-anak? Kamu bisa bilang wah itu pekerjaan mulia yang tak kenal cuti libur tapi kamu tak bisa menuntut. Menjadi ibu? Itu peran terseksi. Atau kamu mungkin akan berpendapat bahwa pekerjaan tanpa upah ini sebenarnya mempunyai cek kasat mata yang bisa dicairkan di surga. Aku tahu kamu akan mengatakan hal ini sebab kamu perempuan yang paling mellow yang pernah kukenal.