Selasa, 19 Februari 2013

Pagi Putih





Pagi itu kebaktian gereja pertama di awal tahun. Aku merasa kota ini menjadi putih. Padahal sebenarnya tidak seputih di negeri salju. Hanya saja hujan terus menerus turun. Lupa berhenti. Jalanan menjadi blur. Kelabu nyaris putih. Mungkin aku terlalu berlebihan. Mungkin isi kepalaku yang putih sehingga mengacaukan pandanganku. Atau mungkin karena suasana Natal masih kental.  Yah, Natal identik dengan putih kan? Jika ada merah dan hijau itu pasti gara-gara pengaruh dari desaigner baju Sinterklas.

Aku merasa sangat bersyukur bisa datang pagi itu di gereja kecil di kota ini. Rasanya aku seperti menyentuh permukaan air dengan telapak tanganku. Damai dan penuh syukur. Aku merasa hangat meski datang sendiri ke gereja mungil itu. Sepertinya ada puluhan malaikat mendekapku. Wah…wah..ternyata aku memang berlebihan pagi itu. Pokoknya aku tetap merasa bersyukur. Meski tak ada satupun anggota keluarga di sisiku. Meski aku tak bisa pulang ke kampung halamanku.

Saat sampai di depan pintu gereja seorang pelayan Tuhan menyapaku,”Syalom. Gusti mberkahi.” Aku tersenyum dan menjabat tangannya erat.”Syalom, Puji Tuhan,” jawabku. Dia membalas senyumku lalu berkata,”Tidak pulang mbak Nathali?” Aku menggelengkan kepala,”Belum. Mungkin bulan Februari jika Tuhan mengijinkan.” Dia menepuk punggung tanganku lalu berkata penuh perasaan,”Tabah ya Mbak! Tuhan besertamu.”

Aku berlalu dengan hati pilu. Sebenarnya aku tak ingin melihat mata mereka terlihat prihatin saat memandangku. Aku sudah berdiri dan melangkah. Tatapan mereka hanya menyurutkan nyaliku.  Aku selalu yakin Tuhan di hatiku, tapi kenapa tatapan mereka menyangsikanku?
Nyanyian pun mengalun. Kudus-kuduslah jiwaku. Aku mengulang-ulangnya dalam hati. Tenang tenanglah jiwaku. Pada suatu ketika ada yang bergerak di daerah dadaku saat menyanyi lagu pujian. Rasanya bergelombang dan lembut. Seperti hujan yang lupa berhenti, gelombang itu juga terus bergerak. Mereka bilang ada kegerakan Tuhan dalam jiwaku. Menurutku Tuhan sedang memelukku erat. Sangat erat hingga dadaku bergelombang.

Saatnya firman akan ditabur, aku sudah menyiapkan Alkitabku. Pendeta Stefanus berdiri di mimbar dan tersenyum. Aku hapal bentuk senyumnya. Senyum itu mengembang dengan cara yang sama saat dia menikahkan aku dan suamiku. Oh rasa perih itu datang lagi. Bukankah aku sudah memutuskan untuk tegak berdiri?

“Hari ini kita kedatangan wajah baru. Dia baru pertama kali datang ke gereja kita. Mari silahkan maju ke depan untuk memperkenalkan diri. Mungkin juga ada kesaksian yang ingin dibagi dengan jemaat di sini?”
Setiap ada jemaat baru sudah menjadi suatu kebiasaan jika jemaat baru itu memperkenalkan diri di depan dan jika dia mempunyai kesaksian boleh untuk dibagi. Gereja ini gereja kecil jadi hal seperti ini sangat mungkin. Bayangkan jika ini di gereja besar di kota  tempatku lahir. Wah bisa-bisa kebaktian itu akan memakan waktu berjam-jam karena setiap hari selalu ada puluhan wajah baru disana.
Seorang wanita kurus maju ke depan. Wajahnya segar dan selalu tersenyum.
“Syalom. Nama saya Dewi. Saya dari Solo.” Dia berhenti sebentar. “Saya baru saja pindah ke kota ini.” Kali ini suaranya terdengar sedikit bergetar. “Saya bekerja di rumah sakit.” Suaranya semakin bergetar.
“Saya…” Dia tidak melanjutkan ucapannya. Dadanya turun naik. Berulangkali dia mengusap airmatanya yang bercucuran dengan sapu tangan yang mungkin sudah dipersiapkkanya. Dia tahu jika dia akan menangis. Airmata itu tak berhenti. Setiap kali dia akan bicara airmata itu mencegahnya. Dia tak kuasa berbicara. Suasana menjadi hening. Aku yakin semua memandangnya dengan kasihan dan pikiran bertanya-tanya. Ada apa dengannya? Akupun demikian. Aku terus menatap wajahnya. Entah kenapa aku merasa dia sudah bercerita lewat tangisannya. Aku paham. Aku mengerti. Aku tidak kasihan padanya. Hanya memahaminya sebab aku bercermin dalam tangisannya.

“Sudah. Terimakasih,” katanya mengakhiri perkenalannya. Dia mundur dan duduk lagi di bangkunya. Seorang wanita tua yang duduk di sampingnya menepuk punggungnya seakan menguatkan dia. Lalu firmanpun ditabur. Aku tak bisa mendengar apa-apa. Sesekali aku mencuri pandang wanita yang bernama Dewi itu.

Kebaktian selesai.

Aku bahkan tak sadar jika sudah selesai. Seperti biasa saat pulang para jemaat akan saling berjabat tangan dan memberi salam. Aku bertemu dengannya. Dia menyalamiku. Jabatan tangannya kuat dan optimis. Aku memandangnya lalu berkata,”Terimakasih.” Dia menatapku dengan bertanya-tanya. Aku berlalu dan melangkah pulang dengan lebih mantap. Meski hujan masih turun tetapi aku tetap menerjangnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar