Pagi itu kebaktian gereja pertama di awal tahun. Aku merasa
kota ini menjadi putih. Padahal sebenarnya tidak seputih di negeri salju. Hanya
saja hujan terus menerus turun. Lupa berhenti. Jalanan menjadi blur. Kelabu
nyaris putih. Mungkin aku terlalu berlebihan. Mungkin isi kepalaku yang putih
sehingga mengacaukan pandanganku. Atau mungkin karena suasana Natal masih kental. Yah, Natal identik dengan putih kan? Jika ada
merah dan hijau itu pasti gara-gara pengaruh dari desaigner baju Sinterklas.
Aku merasa sangat bersyukur bisa datang pagi itu di gereja
kecil di kota ini. Rasanya aku seperti menyentuh permukaan air dengan telapak
tanganku. Damai dan penuh syukur. Aku merasa hangat meski datang sendiri ke
gereja mungil itu. Sepertinya ada puluhan malaikat mendekapku.
Wah…wah..ternyata aku memang berlebihan pagi itu. Pokoknya aku tetap merasa
bersyukur. Meski tak ada satupun anggota keluarga di sisiku. Meski aku tak bisa
pulang ke kampung halamanku.
Saat sampai di depan pintu gereja seorang pelayan Tuhan
menyapaku,”Syalom. Gusti mberkahi.” Aku tersenyum dan menjabat tangannya
erat.”Syalom, Puji Tuhan,” jawabku. Dia membalas senyumku lalu berkata,”Tidak
pulang mbak Nathali?” Aku menggelengkan kepala,”Belum. Mungkin bulan Februari
jika Tuhan mengijinkan.” Dia menepuk punggung tanganku lalu berkata penuh
perasaan,”Tabah ya Mbak! Tuhan besertamu.”
Aku berlalu dengan hati pilu. Sebenarnya aku tak ingin
melihat mata mereka terlihat prihatin saat memandangku. Aku sudah berdiri dan
melangkah. Tatapan mereka hanya menyurutkan nyaliku. Aku selalu yakin Tuhan di hatiku, tapi kenapa
tatapan mereka menyangsikanku?
Nyanyian pun mengalun. Kudus-kuduslah jiwaku. Aku
mengulang-ulangnya dalam hati. Tenang tenanglah jiwaku. Pada suatu
ketika ada yang bergerak di daerah dadaku saat menyanyi lagu pujian. Rasanya
bergelombang dan lembut. Seperti hujan yang lupa berhenti, gelombang itu juga
terus bergerak. Mereka bilang ada kegerakan Tuhan dalam jiwaku. Menurutku Tuhan
sedang memelukku erat. Sangat erat hingga dadaku bergelombang.
Saatnya firman akan ditabur, aku sudah menyiapkan Alkitabku.
Pendeta Stefanus berdiri di mimbar dan tersenyum. Aku hapal bentuk senyumnya.
Senyum itu mengembang dengan cara yang sama saat dia menikahkan aku dan
suamiku. Oh rasa perih itu datang lagi. Bukankah aku sudah memutuskan untuk
tegak berdiri?
“Hari ini kita kedatangan wajah baru. Dia baru pertama kali
datang ke gereja kita. Mari silahkan maju ke depan untuk memperkenalkan diri.
Mungkin juga ada kesaksian yang ingin dibagi dengan jemaat di sini?”
Setiap ada jemaat baru sudah menjadi suatu kebiasaan jika
jemaat baru itu memperkenalkan diri di depan dan jika dia mempunyai kesaksian
boleh untuk dibagi. Gereja ini gereja kecil jadi hal seperti ini sangat
mungkin. Bayangkan jika ini di gereja besar di kota tempatku lahir. Wah bisa-bisa kebaktian itu
akan memakan waktu berjam-jam karena setiap hari selalu ada puluhan wajah baru
disana.
Seorang wanita kurus maju ke depan. Wajahnya segar dan
selalu tersenyum.
“Syalom. Nama saya Dewi. Saya dari Solo.” Dia berhenti
sebentar. “Saya baru saja pindah ke kota ini.” Kali ini suaranya terdengar
sedikit bergetar. “Saya bekerja di rumah sakit.” Suaranya semakin bergetar.
“Saya…” Dia tidak melanjutkan ucapannya. Dadanya turun naik.
Berulangkali dia mengusap airmatanya yang bercucuran dengan sapu tangan yang mungkin
sudah dipersiapkkanya. Dia tahu jika dia akan menangis. Airmata itu tak
berhenti. Setiap kali dia akan bicara airmata itu mencegahnya. Dia tak kuasa
berbicara. Suasana menjadi hening. Aku yakin semua memandangnya dengan kasihan
dan pikiran bertanya-tanya. Ada apa dengannya? Akupun demikian. Aku terus
menatap wajahnya. Entah kenapa aku merasa dia sudah bercerita lewat
tangisannya. Aku paham. Aku mengerti. Aku tidak kasihan padanya. Hanya
memahaminya sebab aku bercermin dalam tangisannya.
“Sudah. Terimakasih,” katanya mengakhiri perkenalannya. Dia
mundur dan duduk lagi di bangkunya. Seorang wanita tua yang duduk di sampingnya
menepuk punggungnya seakan menguatkan dia. Lalu firmanpun ditabur. Aku tak bisa
mendengar apa-apa. Sesekali aku mencuri pandang wanita yang bernama Dewi itu.
Kebaktian selesai.
Aku bahkan tak sadar jika sudah selesai. Seperti biasa saat
pulang para jemaat akan saling berjabat tangan dan memberi salam. Aku bertemu
dengannya. Dia menyalamiku. Jabatan tangannya kuat dan optimis. Aku
memandangnya lalu berkata,”Terimakasih.” Dia menatapku dengan bertanya-tanya.
Aku berlalu dan melangkah pulang dengan lebih mantap. Meski hujan masih turun tetapi
aku tetap menerjangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar