Oleh Ruwi Meita
:Ruwi Mei
“Pasukan
kuning berceceran di jalan Baru. Pak Satpol PP tolong digaruk aja lalu dibuang di kali,
tempatnya memang di situ. Bau Pak! Najis abis!”
Perang
komentar di facebook berawal dari status ini. Sudah lebih dari tigapuluh
komentar super pedas dan saling menjatuhkan berdesakkan di kotak-kotak kecil
sejak status itu di-upload 30 menit yang lalu. Saking banyaknya komentar mereka
mulai kehabisan ide dan menggantinya dengan sumpah serapah yang mulai tak
terkontrol.
Perang
komentar itu terjadi karena salah seorang dari geng borju meng-upload foto
anak-anak dari geng modis saat mereka nongkrong di jalan Baru lalu menulis
status kontroversial itu. Di dalam foto itu duapuluh anak geng modis yang
memakai baju bernuansa kuning terang berpose norak plus dengan gaya dandan
bintang film Korea di jalan Baru yang selalu ramai di Minggu pagi. Kedua puluh
anak itu tidak peduli kalau warna kuning terang pada baju mereka sangat kontras
dengan warna kulit mereka yang gelap. Apalagi mereka bergerombol di antara lalu
lalang orang-orang yang kebanyakan hanya menggunakan pakaian olahraga
sederhana. Terlalu mencolok. Mungkin ini yang disebut tabrak lari dalam dunia
fashion. Sangat ndeso kata Thukul
Arwana.
“Ini
semua tentang mereka. Tak ada satupun tentangku,” bisik Lolita sembari
melemparkan hpnya ke atas kasur. Dia masih memakai seragam putih abu bahkan tas
ranselnya masih meringkuk di punggung. Lolita takkan menjadi sebuah kisah sebab
dia bukan bagian dari mereka. Kisah yang paling laku di SMAnya hanyalah tentang
kedua geng itu. Jika kamu bukan bagian dari mereka maka bersiaplah untuk
berubah menjadi hantu alias masuk dalam golongan kasat mata, tak terlihat,
tersingkir, dan terlupakan.
Lolita harus punya
modal materi untuk masuk geng borju. Modalnya bahkan lebih besar daripada uang
bayar gedung sekolahnya. Paling tidak dia harus punya blackberry atau ipad atau
sepeda fixi untuk nongkrong tiap minggu pagi di jalan Baru. Mengingat
orangtuanya hanya guru SD Lolita tak pernah berimajinasi masuk geng itu. Dia
bersyukur masih dibelikan hp yang meski ketinggalan jaman tapi masih bisa untuk
facebook-an.
Lalu
bagaimana dengan geng modis? Memang tak butuh ipad untuk masuk geng itu. Lolita
hanya butuh nyali besar untuk memakai gaya pakaian masa kini yang bahkan tak
sesuai dengan kepribadiannya. Tak peduli mereka terlihat bodoh dengan
pernak-pernik norak tapi bagi mereka terlihat gaya dan identik adalah suatu keharusan. Lolita takkan pernah
mematikan kepribadiannya untuk sesuatu yang konyol. Lebih baik keberadaannya
tak diakui daripada menjadi oportunis.
Dulu
Lolita tidak keberatan menjadi golongan tak terlihat sebab dia punya sahabat
senasib sepenanggungan, namanya Endita. Dulu mereka karib tak terpisahkan
apalagi nama mereka berima sama. Namun sudah dua semester ini mereka tak
berbicara semenjak Endita menjadi bagian dari geng Borju. Endita telah naik
level sebab dia berpacaran dengan Alex, cowok paling keren di sekolah ini.
Bagaimana tidak? Alek tajir, dia langganan juara olimpiade matematika, kapten
tim futsal, pengurus OSIS, dan yang terpenting dari itu dia luar biasa cakep.
Alex jelas sempurna dan menjadi pasangannya berarti membuat Endita turut
sempurna. Ini modal bagus untuk menjadi bagian dari kedua geng itu.
Lolita
masih ingat terakhir kali Endita masih bersamanya. Dia bilang dia muak menjadi invisible dan dia akan berusaha keluar
dari golongan terlupakan ini bagaimanapun caranya. Setelah itu mereka tak
bersama lagi sebab Endita terlalu sibuk mewujudkan mimpinya. Jujur Lolita iri
dengan Endita sebab dia bisa leluasa nongkrong dengan geng Borju meski dia tak
punya sepeda fixi. Siapa butuh sepeda langsing warna-warni, blackberry, atau
ipad jika kamu pacarnya Alex?
“Loli
makan!” seru ibunya dari luar kamarnya. Lolita terbangun dari lamunan. Dengan
lesu dia meletakkan tas dan membuka kaos kakinya. Setiap hari selalu sama.
Pulang sekolah, makan, belajar, makan lagi, nonton tv, tidur, lalu terbangun
hanya untuk menyadari bahwa keberadaannya tak diakui di sekolah. Apa yang lebih
menyedihkan dari itu semua? Tapi sebentar lagi dia akan lulus lalu kuliah.
Orang-orang bilang kuliah lebih menyenangkan dari bangku SMA. Semoga saja
begitu. Lolita menghela napas, dia bangkit dan berjalan gontai menuju pintu
kamar. Dia baru menyadari jeritan perutnya saat ini ternyata lebih lantang dari
jeritan hatinya.
###
Pelajaran
Biologi kosong. Beberapa teman cowoknya kecewa karena mereka tak jadi
berceloteh tentang alat reproduksi manusia. Ah tiba-tiba saja mereka jadi kekanak-kanakan
kalau menghadapi tema satu ini. Cewek lebih siap dari para cowok buktinya
mereka lebih tenang, tidak belingsatan macam anak cowok. Mungkin karena masa
puber mereka lebih menyakitkan dari cowok. Penuh dengan darah dan kejang perut
yang sedikit menjengkelkan.
Lolita memainkan ujung
pensilnya. Kelas sepi, hanya beberapa gelintir orang berada di situ, asyik
dengan diri mereka sendiri. Sebenarnya Lolita butuh teh panas untuk sedikit meringankan
tubuhnya yang meriang tapi dia juga tahu kantin pasti telah dikuasai anak-anak
kedua geng itu. Kantin timur yang lebih mewah adalah daerah kekuasaan geng
borju sementara kantin barat yang lebih sederhana adalah jajahan geng modis. Sebenarnya
perbedaan utamanya adalah soal boleh tidaknya ngebon. Hutang adalah tabu di
kantin timur sementara di kantin barat hutang bukan sesuatu yang memalukan. Lolita
memaksakan dirinya untuk pergi ke kantin barat sebab di sana dia takkan bertemu
dengan Endita. Tubuhnya mulai berkeringat dingin. Dia berpikir akan membawa teh
itu ke belakang perpustakaan. Di sana ada pohon mangga rindang tempat biasa
Lolita ngadem dengan Endita dulu. Lolita kembali tertusuk jika mengingatnya.
Lolita
menundukkan kepala dan bergegas menuju tempat Yu Par yang sedang menata sayur
soto di mangkok-mangkok. Seperti dugaannya kantin begitu ramai penuh celoteh
bahasa planet luar galaksi dan gemuruh tawa yang nyaring. Cepat-cepat Lolita
memesan,” Teh panas,” katanya pendek. “Bentar ya, airnya belum mateng,” sahut
Yu Par sambil menunjuk ke arah kompor. Lolita manggut-manggut. Kakinya bergerak
tak tenang, obrolan seru dan komentar garang soal status di facebook membuat
Lolita tak nyaman. Ingin rasanya membatalkan pesanannya.
“Kita
harus balas!” seru Neli, cewek centil yang keranjingan Kim Hyun Joong, bintang
film Korea. Saking tergila-gilanya dia selalu memaksa pacarnya yang berkulit
gelap berpakaian persis bintang pujaannya..
“Minggu
besok kita bikin gebrakan,” reaksi yang lain.
“Kita
bikin anak-anak borju itu tutup mulut.”
Lolita makin tak nyaman
saat mereka mulai menggebrak meja saking geramnya. Untunglah segelas teh panas
segera disodorkan di depannya. Lolita membayarnya dan memberi isyarat untuk
membawa gelas teh itu keluar.
Dia bergegas menuju
belakang perpustakaan. Namun saat dia akan membelok Lolita menghentikan
langkahnya. Dia melihat dua orang sedang bertengkar hebat. Sebenarnya dia bisa
saja segera pergi dari tempat itu jika kedua orang itu bukan Endita dan Alex.
“Lalu
kenapa jika aku gabung dengan mereka?”
“Mereka
banyak cowoknya,” seru Alex.
“Picik
kamu! Aku nggak serendah yang kamu pikir.”
“Bukan
begitu maksudku.”
“Sudahlah.
Aku bosan dengan sikap posesifmu. Kamu tidak berhak mengatur hidupku. Aku muak
dengan semua ini.”
“Aku
tidak mengatur hidupmu. Aku peduli padamu.”
Endita
tersenyum sinis,”Lebih tepatnya peduli dengan dirimu sendiri. Selama ini aku
hanya melakukan apa yang kamu suruh, bergabung dengan teman-teman yang kamu
tunjuk. Aku bahkan tak punya waktu untuk diriku sendiri. Aku butuh udara.”
“Udara
tidak bisa kamu dapatkan pada sekumpulan cowok-cowok yang suka mendaki gunung.”
“Cukup!
Asal kamu tahu saja aku tidak bisa bernapas selama bersamamu. Kita sudahi saja
sebelum aku mati kehabisan napas,” jerit Endita meradang. Alex terpana. Dia
terpukul sebab baru sekarang seorang cewek memutuskannya. Namun cepat-cepat dia
membangun kejantanannya yang porak-poranda. Dia tersenyum sinis.
“Hmm…jadi
cuma begini. Kamu akan menyesal karena kamu takkan lagi sama seperti dulu,
tidak sepopuler dulu. Selama ini aku yang membuat mereka hormat padamu.”
Endita
semakin berang. “Makan tuh popularitas. Aku nggak butuh pembohong dan penjilat
macam mereka. Kita putus!” jerit Endita. Alex menatap Endita penuh dendam lalu
meninggalkan tempat itu. Endita menangis perlahan namun lama-kelamaan dadanya
terguncang keras. Tak pernah dia merasa sebebas ini meski rasanya perih.
Lolita
yang sedari tadi mendengarkan pertengkaran itu menelan ludah. Teh yang
dibawanya telah dingin, dia menenggaknya habis. Rasa tegang bikin dia haus. Dia
bingung harus bagaimana. Dia telah menyaksikan putusnya Alex dan Endita dan dia
tak tahu harus gembira atau sedih. Endita memang telah melukai dirinya tapi
melihat Endita terluka seperti itu ternyata membuat luka-lukanya tak terasa
sakit lagi. Lolita merapatkan punggungnya di tembok. Mungkin sebaiknya dia
segera pergi dari sini dan melupakan bahwa dia pernah melihat pertengkaran itu.
Baru saja Lolita hendak beranjak seseorang menubruk dari samping. Gelas teh
yang dipegangnya terlempar dan jatuh. Lolita terkejut bukan karena gelas itu
tapi karena orang yang menubruknya itu ternyata Endita. Wajah bekas sohibnya
itu basah karena airmata.
“Loli,
ngapain kamu disini?”
“Aku…cuma…”
jawab Loli gugup.
“Sejak
kapan kamu berdiri di sini? Kamu mendengar semuanya ya?”
“Kalaupun
aku mendengarnya apa pedulimu? Toh urusanmu bukan urusanku.” Lolita buru-buru
memunguti pecahan gelas di lantai dan membuangnya di bak sampah. Endita
memegang bahunya.
“Loli
maafkan aku.”
“Tak
apa biar aku yang ganti gelasnya.”
“Maksudku
maafkan aku yang telah mengacaukan persahabatan kita dengan obsesi butaku.”
Lolita
terdiam.
“Lol,
kamu tak pernah memberiku kesempatan untuk minta maaf. Kamu selalu
menghindariku.”
“Seingatku
aku tak pernah menghindarimu. Kenyataannya teman-temanmu sudah menyita waktumu.
Kamu tidak cukup berusaha untuk minta maaf padahal kamu tahu dimana rumahku.”
“Please Lol, jangan sinis.”
“Aku tidak sinis, aku cuma
marah. Bayangkan Dit dua semester! Hampir setahun aku harus melihatmu menjadi
orang asing, sekedar boneka, tanpa kehendak dan buta. Sekarang kamu baru
menyadarinya itupun karena kamu putus dengan Alex dan otomatis kamu telah
terlepas dari mereka. Kamu baru mengingatku saat kamu sendiri. Kamu anggap aku
ini apa? Rongsokan yang kamu pungut kembali?”
“Ya
ampun Lol. Sebegitu parahkah aku menyakitimu?”
“Sudahlah.
Kita lupakan semua ini.” Lolita hendak beranjak namun Endita mencegahnya.
“Lol
aku hanya ingin kamu tahu kalau aku datang padamu bukan karena aku putus dengan
Alex. Sudah lama aku ingin bebas. Apa yang aku bayangkan dulu semua salah.
Kupikir aku bisa mendapat pengakuan diri jika bergabung dengan mereka tapi
kenyataannya aku malah kehilangan diri. Popularitas itu hanyalah ilusi. Mereka
bahkan tidak jujur dengan diri mereka sendiri. Aku iri padamu karena kamu tetap
memilih untuk menjadi dirimu sendiri. Aku ingin kembali seperti dulu. Dan yang
terpenting kamu bukan rongsokan. Jangan pernah bilang seperti itu. Maafkan aku
Lol. Sungguh.”
Lolita
menghela napas panjang. Dia menatap mata Endita yang bersinar tulus. Mungkin
Endita memang telah menyakiti dirinya tapi dia sudah minta maaf dan itu butuh
nyali yang besar.
“Meskipun
kamu tidak memaafkanku ketahuilah aku tidak takut sendiri. Aku masih ingat
kata-katamu Lol. Jadilah seperti rajawali, meski dia soliter tapi dia lebih
bijaksana daripada seribu burung gereja. Dia berani terbang tinggi karena dia
tahu cara terbang dengan menjadi sahabat angin. Rajawali bisa memperpanjang
umurnya dua kali umurnya saat dia sekarat dengan berdiam diri dan menunggu
dengan sabar matahari menyembuhkannya. Aku masih ingat semuanya Lol.”
“Tapi
kamu lupa Dit. Meski seekor rajawali dengan sabar berdiam diri saat dia sekarat
tapi dia tetap butuh seorang sahabat untuk memberinya makan.” Imbuh Lolita
dengan menyelipkan senyum yang tipis. Endita tersenyum lebar.
“Kamu
memaafkanku?”
“Yah
kenapa tidak? Lagipula aku sudah bosan kesana-sini sendiri.”
“Terimakasih
Lol.”
Mereka
terdiam. Sedikit canggung.
“Kamu
ada acara minggu pagi?” Tanya Endita berusaha mencairkan suasana. Lolita
menggeleng.
“Ayo
kita ke jalan Baru.”
“Ngapain?”
“Jalan-jalan,
makan, dan menertawakan perseteruan besar kedua geng yang tak punya otak itu.
Isyunya akan ada adu pamer lagi. Kita lihat seberapa bodohnya mereka.” Lolita
mengangguk.
“Kenapa tidak? Toh
menertawakan kebodohan orang lain lebih mudah daripada menyadari kebodohan
sendiri.” Mereka berdua tertawa. Senang rasanya ada sahabat di sisi untuk tertawa
bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar