Pulau Sogom, Perairan Sunda, 27 Agustus 1883
Hara menggenggam kunci batu intan dengan erat. Badannya
masih terguncang hebat. Tubuh musuhnya telah lenyap di depannya. Tak berbekas.
Hara bisa mendengar roh musuhnya mendengking-dengking dalam
kemarahan yang bertubi-tubi namun roh itu tak bisa menyentuh Hara
sebab kunci batu intan masih berpijar. Hawa panas menyapu wajah Hara dan pelan-pelan mendingin
dengan sendirinya.
Tak perlu
diragukan lagi musuhnya telah mati.
Hara harus
bergegas. Gemuruh Krakatau seperti jam pasir yang selalu mengingatkannya akan tugas terakhirnya. Maut telah
lalu darinya namun masih ada satu kekhawatiran yang lekas menjadi
ketakutan. Berulangkali dia menepisnya. Hampir selesai, katanya
berulang-ulang. Matanya mengedar ke sekitarnya. Kabut hijau semakin pekat. Saat
tubuhnya tak lagi berguncang dia mengalungkannya kunci batu intan di lehernya.
Gemuruh Krakatau disertai getaran kuat menghardiknya. Buru-buru
dia menuruni menara. Langkahnya menjadi sulit sebab gempa terasa semakin hebat.
Dia terayun-ayun ke kanan dan ke
kiri.
Pada saat dia
berbelok menuju pintu utama seseorang memanggilnya dengan lemah. Hara menoleh
dan matanya membelalak.
“Nyai Sumbing,” serunya.
Seorang
perempuan setengah baya berusaha merangkak. Seluruh bajunya berlumuran darah.
Bibirnya terbelah dan mencong ke kanan namun itu adalah cacat lahir. Itulah
kenapa dia disebut Nyai Sumbing. Di dekat meja yang biasa untuk berjudi pada
malam-malam laknat, Nyai Sumbing tersungkur. Kepalanya penuh dengan darah. Rambutnya tak
lagi berwarna abu keperakan. Hanya merah..
“Hara…”
Hara menubruk
Nyai Sumbing dan memeluknya. Kepala perempuan setengah baya itu terkulai di
pangkuan Hara. Baju lusuh Hara basah karena darah kembali. “Nyai Sumbing, kamu
masih hidup. Ayo ikutlah bersamaku.”
“Aku takkan
bertahan Hara. Pergilah ke pesisir selatan. Di sana sudah ada sekoci yang kami
curi. Pakailah. Kamu harus hidup sebab kamu juru kunci
terakhir. Tetaplah hidup.”
“Tidak Nyai,
aku harus membawamu bersamaku.”
Suara gemuruh
di luar semakin menjadi. Nyai Sumbing menatap Hara dengan mata memohon.
“Hara,
dengarkan aku. Meski kamu berhasil membawaku, aku takkan bisa bertahan dari
amukan Krakatau. Tak ada waktu lagi. Kamu harus berada di laut saat krakatau
meledak. Meski kamu membawaku, aku takkan bisa bertahan dari Krakatau. Tapi
kamu bisa. Lakukan sekarang.”
“Nyai..”
“Jangan lemah,
Hara. Aku mengajarimu untuk tegar. Tinggalkan aku. Jagalah kunci batu intan.
Lakukan tugas terakhir. Lautan menunggumu.”
Bibir Hara yang
sobek bekas pertarungan tadi menggigil
keras. Matanya mengabut lagi. Kali ini warnanya ungu. Kabut ungu di mata Hara.
“Biarkan aku
membawamu, Nyai. Lebih berbahaya berada disini saat kamu hidup daripada ketika
kamu mati.”
Nyai Sumbing
mengangsurkan tangannya dan membuka genggamannya.
“Aku masih
punya ini.”
Mata Hara
berlinangan. Sebuah pil kecil berada di tangan Nyai Sumbing. Mereka
menyebutnya pil api. Jika Nyai Sumbing menelannya, perempuan malang itu akan
mati bahkan sebelum pil itu sampai di lambungnya. Tubuh nyai akan dibakar dari
dalam.
“Sebelum kau
sampai di pesisir selatan aku sudah bebas,” kata Nyai Sumbing pelan, berusaha
untuk tersenyum.
Hara
menggenggam tangan Nyai Sumbing,“Aku takkan melupakanmu Nyai,” desis Hara lalu
berdiri. Dia berlari dan tak menoleh lagi. Menuju selatan. Kali ini bola
matanya berubah lagi. Menghijau. Sekelam kabut di sekitarnya. Dia mengacungkan
kunci batu intannya dan kabut itu menyibak dengan sendirinya.
Hara berhasil
menemukan sekoci itu. Dia masuk ke dalamnya. Sebelum mendayung dia melihat ke
arah gunung Krakatau yang semakin
bergolak. Hara mengusap kunci batu intan di dadanya. Dingin. Di depannya
neraka bergemuruh dan dia akan menuju sana. Tangannya meraih dayung dan
menghantamkannya ke permukaan laut. Pada saat sekoci bergerak, kabut hijau itu
mengikutinya seperti sekumpulan budak yang patuh.
Hara
memerhatikan jarak yang telah dia tempuh. Dia telah berada tepat di tengah
pulau dan gunung Krakatau yang mengejan. Pelan-pelan Hara mengacungkan kunci
batu intannya lagi. Kabut hijau pekat yang semula menurut itu tiba-tiba
menggeliat. Dalam sekejap kabut hijau itu membentuk figur
ular besar yang menggeliat kesakitan. Ular besar itu terisap masuk ke dalam
kunci batu intan dengan cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar