Rabu, 16 Oktober 2013

Cuplikan Novel The Apuila's Child






 
Pulau Sogom, Perairan Sunda, 27 Agustus 1883
            Hara menggenggam kunci batu intan dengan erat. Badannya masih terguncang hebat. Tubuh musuhnya telah lenyap di depannya. Tak berbekas. Hara bisa mendengar roh musuhnya mendengking-dengking dalam kemarahan yang bertubi-tubi namun roh itu tak bisa menyentuh Hara sebab kunci batu intan masih berpijar. Hawa panas menyapu wajah Hara dan pelan-pelan mendingin dengan sendirinya.
Tak perlu diragukan lagi musuhnya telah mati.
Hara harus bergegas. Gemuruh Krakatau seperti jam pasir yang selalu mengingatkannya akan tugas terakhirnya. Maut telah lalu darinya namun masih ada satu kekhawatiran yang lekas menjadi ketakutan. Berulangkali dia menepisnya. Hampir selesai, katanya berulang-ulang. Matanya mengedar ke sekitarnya. Kabut hijau semakin pekat. Saat tubuhnya tak lagi berguncang dia mengalungkannya kunci batu intan di lehernya. Gemuruh Krakatau disertai getaran kuat menghardiknya. Buru-buru dia menuruni menara. Langkahnya menjadi sulit sebab gempa terasa semakin hebat. Dia terayun-ayun ke kanan dan ke kiri.
Pada saat dia berbelok menuju pintu utama seseorang memanggilnya dengan lemah. Hara menoleh dan matanya membelalak.
“Nyai Sumbing, serunya.
Seorang perempuan setengah baya berusaha merangkak. Seluruh bajunya berlumuran darah. Bibirnya terbelah dan mencong ke kanan namun itu adalah cacat lahir. Itulah kenapa dia disebut Nyai Sumbing. Di dekat meja yang biasa untuk berjudi pada malam-malam laknat, Nyai Sumbing tersungkur. Kepalanya penuh dengan darah. Rambutnya tak lagi berwarna abu keperakan. Hanya merah..
“Hara…”
Hara menubruk Nyai Sumbing dan memeluknya. Kepala perempuan setengah baya itu terkulai di pangkuan Hara. Baju lusuh Hara basah karena darah kembali. “Nyai Sumbing, kamu masih hidup. Ayo ikutlah bersamaku.”
“Aku takkan bertahan Hara. Pergilah ke pesisir selatan. Di sana sudah ada sekoci yang kami curi. Pakailah. Kamu harus hidup sebab kamu juru kunci terakhir. Tetaplah hidup.”
“Tidak Nyai, aku harus membawamu bersamaku.”
Suara gemuruh di luar semakin menjadi. Nyai Sumbing menatap Hara dengan mata memohon.
“Hara, dengarkan aku. Meski kamu berhasil membawaku, aku takkan bisa bertahan dari amukan Krakatau. Tak ada waktu lagi. Kamu harus berada di laut saat krakatau meledak. Meski kamu membawaku, aku takkan bisa bertahan dari Krakatau. Tapi kamu bisa. Lakukan sekarang.”
“Nyai..”
“Jangan lemah, Hara. Aku mengajarimu untuk tegar. Tinggalkan aku. Jagalah kunci batu intan. Lakukan tugas terakhir. Lautan menunggumu.”
Bibir Hara yang sobek bekas pertarungan tadi menggigil keras. Matanya mengabut lagi. Kali ini warnanya ungu. Kabut ungu di mata Hara.
“Biarkan aku membawamu, Nyai. Lebih berbahaya berada disini saat kamu hidup daripada ketika kamu mati.”
Nyai Sumbing mengangsurkan tangannya dan membuka genggamannya.
“Aku masih punya ini.”
Mata Hara berlinangan. Sebuah pil kecil berada di  tangan Nyai Sumbing. Mereka menyebutnya pil api. Jika Nyai Sumbing menelannya, perempuan malang itu akan mati bahkan sebelum pil itu sampai di lambungnya. Tubuh nyai akan dibakar dari dalam.
“Sebelum kau sampai di pesisir selatan aku sudah bebas,” kata Nyai Sumbing pelan, berusaha untuk tersenyum.
Hara menggenggam tangan Nyai Sumbing,“Aku takkan melupakanmu Nyai,desis Hara lalu berdiri. Dia berlari dan tak menoleh lagi. Menuju selatan. Kali ini bola matanya berubah lagi. Menghijau. Sekelam kabut di sekitarnya. Dia mengacungkan kunci batu intannya dan kabut itu menyibak dengan sendirinya.
Hara berhasil menemukan sekoci itu. Dia masuk ke dalamnya. Sebelum mendayung dia melihat ke arah gunung  Krakatau yang semakin bergolak. Hara mengusap kunci batu intan di dadanya. Dingin. Di depannya neraka bergemuruh dan dia akan menuju sana. Tangannya meraih dayung dan menghantamkannya ke permukaan laut. Pada saat sekoci bergerak, kabut hijau itu mengikutinya seperti sekumpulan budak yang patuh.
Hara memerhatikan jarak yang telah dia tempuh. Dia telah berada tepat di tengah pulau dan gunung Krakatau yang mengejan. Pelan-pelan Hara mengacungkan kunci batu intannya lagi. Kabut hijau pekat yang semula menurut itu tiba-tiba menggeliat. Dalam sekejap kabut hijau itu membentuk figur ular besar yang menggeliat kesakitan. Ular besar itu terisap masuk ke dalam kunci batu intan dengan cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar