Jumat, 30 Januari 2015

RESENSI LOVE PUZZLE



Judul : Love Puzzle
Penulis : Eva Sri Rahayu
Penerbit : teen@noura
ISBN : 978-602-1606-04-9
Tebal : 286 hlm

BLURB
Rasi memberi senyuman, tetapi cowok itu malah tidak mengacuhkannya.

“Raja?" sapa Rasi.

“Sori?” Kening cowok itu berkerut.

“Kamu Raja, kan?” tanya Rasi lagi.

“Hmm, enggak usah sok kenal, deh,” balas Raja dingin.

Rasi melengkungkan bibirnya, cowok keren memang sering kena amnesia! “Enggak usah nyebelin gitu, deh. Kamu kan yang nanya-nanya soal fotografi di atap BIM kemarin? Kalau aku salah orang, biasa aja, deh.”

Raja merespon perkataannya dengan wajah kaget. Namun sedetik kemudian, ekspresi Raja kembali sinis. “Denger ya, aku enggak kenal kamu!” geram Raja penuh penekanan.

***

Sejak ketemu cowok itu, Rasi merasa level hatinya naik turun seperti roller coaster: kadang berbunga, kadang kesal setengah mati.
Sama seperti sikap Raja yang jago sulap: kadang baik, kadang nyebelin. Ada ya orang yang seperti itu? Rasi hanya belum tahu kalau di balik semua kejadian ada misteri tersimpan. Dan takdir menuntun Rasi masuk ke labirin yang entah ke mana berujung ….

RESENSI      

Jika potongan-potongan puzzle sudah selesai digabungkan maka akan membentuk satu gambaran yang utuh. Inilah yang diharapkan dalam novel ini. Sehingga saat saya selesai membacanya segala pertanyaan akan terjawab. Ada dua hubungan yang saya tangkap dalam novel ini yaitu
1.      Hubungan cinta lawan jenis
Kisah cinta Iskandar alias Raja alias Bimbim dengan Ayara yang begitu rapuh namun mendalam. Kerapuhan Ayara yang selalu sakit-sakitan dan Raja yang selalu mengutamakan kepentingan saudara kembarnya, Alex. Mereka berdua saling mencintai meski akhirnya diputus takdir. Lalu cinta Raya yang demikian rumit dengan Alex membuat Raya berada dalam posisi sulit apakah dia akan memilih cinta atau sahabat baik.

2.      Hubungan cinta dalam sebuah keluarga
Hubungan antar anggota keluarga layaknya sebuah payung yang kokoh dalam posisi yang semestinya. Jika payung itu dalam posisi terbalik justru akan membenamkan keluarga itu dalam air hujan dan memanggangnya dalam panas matahari. Raja dan Alex sepasang kembar yang diasuh dalam cinta kasih yang berbeda. Mereka pun tumbuh dengan pribadi yang berbeda. Raja yang lembut dan Alex yang garang. Sebuah tragedi mengubah peran itu. Salah satu dari mereka harus hidup dalam kepalsuan sebab orangtua mereka menolak kenyataan. Peran ayah yang harusnya tetap mempertahankan posisi payung itu pada semestinya terpaksa dikalahkan oleh histeria sang ibu sehingga mereka memilih hidup dalam kebohongan.

            Kunci potongan-potongan puzle ini berada di tangan Raya. Gadis penggemar fotografi inilah yang menghadapi papan puzle dan sedikit demi sedikit dialah yang berperan untuk menyatukannya menjadi gambaran yang utuh. Segala teka-teki yang dilontarkan di awal novel menjadikan Raya masuk dalam petualangan-petualangan mencari jawaban yang justru menjerumuskan dia dalam kenyataan. Raya jatuh cinta.
            Secara keseluruhan novel ini enak untuk dinikmati. Gaya penceritaan yang ringan. Alur maju mundur yang justru mempertajam teka-teki dalam novel ini. Meski begitu saya sedikit bingung dengan banyaknya nama alias Raja aka Iskandar aka Bim Bim. Saya tahu nama lain ini untuk menjebak pembaca agar tidak bisa langsung menebak siapa sesungguhnya Raja. Meski begitu walaupun tanpa nama alias sebenarnya sudah biasa ditebak siapa Raja siapa Alex. Saya harus membuka lembar sebelumnya untuk merunut lagi yang dimaksud apakah Raja atau Alex. Saya beri 3 dari 5 bintang.

RESENSI SPORA



JUDUL BUKU : SPORA
PENULIS : ALKADRI
PENERBIT : MOKA MEDIA
PENYUNTING : DYAH UTAMI
ISBN : 979-795-910-4


Kemungkinan apa yang menyebabkan  mayat dengan kepala telah menjadi serpihan? Apakah dia ditembak dengan shotgun dari jarak dekat? Atau mungkin ada hal lain yang lebih mengerikan yang membuat kepala itu meledak sendiri? Jawabannya sudah terletak pada judul novel ini : Spora.
            Adalah Alif yang selalu menemukan mayat dengan kepala meledak untuk pertama kali. Sayangnya, Alif bukan anak sekolah biasa. Dia punya rahasia yang jika orang tahu akan mebuat mereka berspekulasi jika Alif terlibat dengan semua pembunuhan itu.
            Pertama kali saya membaca buku horor dengan ketakutan yang tidak bersumber dari hantu saat membaca Species. Sudah lama saya membacanya yaitu pada tahun 1996. Menurut saya novel itu mencekam banget padahal monsternya bukan hantu melainkan alien yang bisa berubah menjadi perempuan cantik. Lalu saya menemukan Spora. Saya sudah penasaran sejak Moka Media menayangkan alternatif kaver novel ini. Dan benar saja kaver yang saya pilih menjadi kaver final novel karya Alkadri. Akhirnya saya mendapatkan novel ini dari hasil barter dengan teman di grup Komunitas Penimbun Buku (terimakasih Atri). Setelah Species, Spora membuat saya ingin bisa menulis novel dengan genre horor sci-fi.
            Saya menuntaskan buku ini hanya dengan sekali duduk. Buku ini sangat ringan penceritaannya sehingga saya bisa cepat membacanya, selain itu saya begitu penasaran ingin mempelajari teknik si penulis. Sayangnya saya harus kecewa melihat ilustrasi di dalamnya yang justru merusak suasana. Drawing ilustrasi itu seperti spoiler yang menghancurkan imajinasi saya.
            Dan entah kenapa saya lebih suka karakter Rina yang lebih maskulin daripada Alif. Mungkin Alif terlihat lembek karena masa lalunya yang sayangnya tidak digali sejak awal. Masa lalu itu tiba-tiba muncul di akhir sehingga hanya sekedar tempelan. Namun Alkadri cukup jitu mengawinkan alur cerita ini dengan dongeng dari Irlandia yang menurut saya justru mempertajam kehororan novel ini.
            Soal gaya penceritaan, Alkadri sudah menunjukkan dirinya sebagai penulis berpengalaman. Hanya saja saya melihat konflik novel ini terlalu ditahan. Saya pikir saya akan menjumpai dunia yang kacau balau. Semua orang jadi zombie. Ternyata tidak, konflik novel ini lingkupnya kecil dan sempit. Setelah membacanya ada satu pertanyaan yang terus mengganggu saya: kenapa spora yang efeknya mematikan itu begitu cerobohnya hanya disimpan di ruang KIR sekolah? Tidak adakah tempat yang lebih aman selain ruang KIR? Hal ini mengganjal sebab ternyata endingnya justru melemahkan proses penyimpanan spora itu. Mereka yang membawa spora ini adalah orang profesional namun kenapa begitu bodoh menyimpannya di ruang KIR? Ah, ruang KIR betapa kamu sungguh mengganggu saya.
            Saya memberi 3 dari 5 bintang untuk novel ini.

Senin, 26 Januari 2015

PEMUTAR AROMA



Oleh : Ruwi Meita
            Sudah sepuluh tahun aku tidak pernah bersepakat dengan musim dingin. Suhu yang anjlok di bulan Februari justru melonjakkan suhu tubuhku. Memerangkapku dalam flu berat. Tak ada yang kulakukan selain memandang museum Guggenheim dengan mata berkaca-kaca dan hidung meler dari jendela apartemen.

Rabu, 07 Januari 2015

RESENSI THE FAULT IN OUR STARS



Judul             : The Fault In Ours Stars
Penulis          : John Green
Penerjemah   : Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penerbit        : Qanita
Terbit            : Cetakan VIII, September 2014
Tebal            : 421 halaman



Saat kanker dimanusiakan maka keseluruhan efek sampingnya merupakan lelucon yang satir.
            
 Augustes Waters dan Hazel Grace Lancesters memutuskan saling jatuh cinta pada waktu yang tidak tepat. Hazel Grace tadinya menderita kanker tiroid yang kemudian melebar ke paru-parunya. Dia harus memakai kanula yang berhubungan dengan tabung oksigen yang diberi nama Philip. Gadis berumur 16 tahun itu sangat depresi dengan penderitaan dan rasa sakitnya. Ibunya menyuruh Grace untuk pergi ke komunitas kelompok pendukung yang berkumpul secara rutin di ruang bawah tanah gereja Episcopal.
            Hazel menuruti ibunya dan di sana dia bertemu dengan Augustus yang memandanginya tanpa kedip. Bahkan sepulang dari pertemuan Augustus mengajaknya ke rumahnya untuk menonton V for Vendetta. Alasan Augustus adalah Hazel sangat mirip Nathalie Portman, aktris yang berperan di film itu. setelah menonton film mereka bertukar buku. Hazel memberikan buku yang dianggapnya buku penting setelah Alkitab yang berjudul Kemalangan Luar Biasa karya Peter Van Houten. Buku itu berisi kisah Anna yang juga seorang penderita kanker yang hidup bersama ibunya. Novel itu berakhir secara menggantung dengan asumsi Anna yang juga sebagai penutur dalam novel itu sudah mati.
            Hazel telah berulangkali mengirim surat kepada Peter dan menanyakan rasa penasarannya tentang kelanjutan novel itu seperti apakah akhirnya ibu Anna menikah? Apakah Anna mati? Bagaimana nasib hámster Anna? Sayangnya surat-surat Hazel tidak pernah dibalas. Di luar dugaan Augustus menemukan email asisten Peter dan emailnya dibalas. Dengan gembira Hazel mengirim surat pada asisten Peter. Emailnya akhirnya dibalas. Peter dengan senang hati menjawab pertanyaan Hazel jika Hazel berkenan pergi ke Amsterdam.
            Augustus ingin membantu Hazel dengan menggunakan jasa Yayasan Peri yaitu sebuah yayasan yang akan mengabulkan keinginan seseorang yang sakit parah. Akhirnya Augustus dan Hazel pergi ke Amsterdam dengan ditemani ibu Hazel. Sayangnya perjalanan itu berakhir sangat buruk. Hazel harus menerima kenyataan bahwa sesungguhnya Peter adalah seorang pemabuk yang sangat kasar. Meski Hazel sudah berada di Amsterdam Peter tetap menolak Hazel.
            Augustus yang setia berusaha menghibur Hazel. Di Amsterdam kembali Hazel menerima dua kenyataan yang pelik. Augustus menyatakan cintanya pada Hazel dan dia mengakui kanker yang dideritanya kambuh dan sudah menggerogoti seluruh tubuhnya.
            Saat membaca awal-awal novel ini saya menduga salah seorang antara Hazel dan Augustus pasti mati. Novel yang bercerita tentang kanker akan kehilangan nyawa jika tanpa diakhiri dengan kematian. Namun sebenarnya kematian bukan bagian terpenting dari novel ini. Sesungguhnya proses tokoh-tokohnya dalam menghadapi dan menyikapi kanker adalah sorotan utama dalam novel ini. John Green mampu mengubah kegarangan kanker menjadi lelucon-lelucon satir hingga pada akhirnya kanker terlihat seperti seorang yang hanya ingin berjuang untuk hidup sama halnya dengan penderitanya
 “Bahkan kanker pun sesungguhnya bukan seseorang yang jahat. Kanker hanya ingin hidup.” (330)
            Jatuh cinta bisa membuat seseorang melupakan rasa sakitnya dan berjuang untuk hidup. Augustus dan Hazel memutuskan untuk saling mencintai di tengah maut yang sewaktu-waktu menghadang. Namun justru di sinilah letak tragisnya. Novel ini sukses mengaduk perasaan sekaligus membuat tersenyum. Saya memberi 3,5 dari 4 bintang.