Hidup ada kalanya dihadapkan pada
angka-angka. Meski kita mati-matian mengelak dari angka-angka ini namun
kadang-kadang kita keceplosan juga dan bahkan ikut menilai. Saat seorang cewek
cantik lewat, layaknya pria yang normal sangatlah wajar jika dia bertanya pada
temannya. “Menurutmu dari 1-10 cewek itu kamu kasih nilai berapa?” Dan teman
pria itu menjawab dengan versinya sendiri sementara pria itu bisa berpendapat
dengan versinya sendiri. Seperti kata orang, cantik itu relatif.
Saat kita masuk sekolah kita telah
mengenal takaran nilai 1-10. Ujianlah yang menentukan kegagalan dan
keberhasilan. Semuanya ditentukan dengan nilai. Lagi-lagi kita berhadapan
dengan angka. Bahkan manusia menilai kapan seseorang hidup atau mati
berdasarkan angka. Kolesterol, gula darah, tekanan darah, jumlah trombosit, dsb
selalu berhubungan dengan angka-angka. Jika lebih atau kurang dari angka normal
maka bisa jadi ada sesuatu yang salah dalam tubuh kita. Jika salah berarti kita
sakit. Orang sakit dekat dengan kematian.
Minggu paskah
kemaren saya mendengar seorang ibu memaparkan arti angka 20 dalam hidupnya.
Sebuah angka yang cukup dramatis bagi keluarganya dan memaksa seluruh keluarga
ibu itu bertahan dalam sekolah iman. Ibu ini sebuat saja ibu Atik adalah
seorang dokter yang mengambil S2 di jurusan Teologia. Pada tahun 2011 dia
diijinkan Tuhan untuk menderita sakit. Ada batu dalam ginjalnya yang sudah
pecah. Dia harus dioperasi.
Seharusnya operasi itu termasuk
operasi ringan. Para dokter sangat optimis. Pasien bahkan bisa pulang rata-rata
setelah 3 hari dioperasi. Mungkin saja saat itu bu Atik mendapatkan angka 80
bahkan 90 persen kepastian sembuh. Namun setelah dioperasi kondisi bu Atik
justru semakin lemah. Selidik punya selidik dia mengalami pendarahan di dalam
perutnya pasca operasi. Tim dokter bingung sebab pendarahan itu cukup hebat. 22
kantong darah telah ludes untuk transfusi. Mau tidak mau bu Atik harus
dioperasi lagi untuk menutup pembuluh darah yang mengalami pendarahan padahal
tim dokter tidak tahu dimana letak kebocoran itu. Tim dokter memberi cap angka 20 untuk tingkat
harapan hidup ibu Atik. Kecil sekali. Hampir tanpa harapan.
Pada saat tubuh fisik bu Atik
masuk ke ruang operasi justru rohnya terangkat pelan. Roh ibu Atik masih sadar
apa yang terjadi dengannya. Dia berseru-seru pada Tuhan,”Apa aku mati, Tuhan?”
Belum ada jawaban saat itu, sementara rohnya semakin tinggi. Bu Atik mulai
protes pada Tuhan. Dia memperkarakan anak-anaknya yang masih kecil. Bagaimana
mereka hidup tanpa seorang ibu? Bu Atik menengadah ke atas dan saat itulah
Tuhan berkata,”Ya kamu hidup!”
Apa yang terjadi pada tubuh fisik
bu Atik saat Tuhan berkata “Ya kamu hidup!”?
Ternyata di ruang operasi tim dokter kembali kebingungan tanpa
sebab yang jelas, pembuluh darah yang mengalami pendarahan itu sudah mampet
dengan sendirinya. Pada saat itu Tuhan sendiri lah yang mengoperasi ibu Atik.
Sebab janjiNya Ya dan Amin maka ibu Atik sembuh. Angka 20 itu digeser total
menjadi 100 persen kesembuhan.
Apa yang dialami oleh ibu Atik
pernah menimpa ibu saya pada tahun 2009. Pada saat ibu saya sakit selama 40
hari di rumah sakit tim dokter malah kebingungan memberi berapa angka harapan
hidup terhadap ibu saya sebab mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang dihadapi
ibu saya. Penyakit apa yang sedang bercokol dalam tubuh ibu saya. Sebuah angka
yang tak pasti lebih membingungkan dari angka 0. Lebih membuat kami depresi.
Sebuah harapan hidup tanpa angka adalah kemalangan dari suatu keentahan.
Dan Tuhan menunjukkan pada saya
bahwa vonis angka tidak berlaku bagi-NYa. Hanya ada YA dan TIDAK. Kadang Tuhan
menyuruh kita menunggu di sela Ya untuk memperkokoh iman. Tapi Dia juga
tidak ragu berkata tidak saat semua sudah selesai. Untuk ibu saya Tuhan
memberikan Ya dan kami mengucapkan Amin penuh syukur. Ibu saya hidup. Saya yakin Tuhan akan terus
berkata Ya untuk pemulihan tubuh dan jiwanya.
Angka-angka itu terjadi pada
siapa saja. Orang-orang di sekitar kita, orangtua kita, sahabat, bahkan orang
yang tidak kita kenal. Namun bagaimana jika angka itu terjadi pada diri saya
sendiri? Saya kerap menjumpai angka 0 dalam hidup saya. Saya menyebut angka 0
itu sebagai kegagalan. Karena terjadi berulangkali maka kegagalan ini bersifat
jamak. Sayangnya meskipun kegagalan segitu banyaknya itu ditambah ataupun
dikalikan tetap saja hasilnya nol. Seperti kemustahilan saja rasanya. Saya jadi
terbiasa dengan angka 0. Saya selalu bertanya pada Tuhan kapan angka ini
merangkak naik? Saya sudah berusaha semampu saya kemaren, hari ini dan usaha itu
terus berlanjut. Tuhan hanya tersenyum. Sementara saya merasa seperti orang
bodoh yang ngeyel mempertanyakan hal-hal yang tidak penting kepada-Nya. Juga
mengeluh.
Syukurlah saya bertemu dengan bu
Atik yang berkenan menceritakan muzijat dalam hidupnya. Dan saat saya mendengar
cerita dari bu Atik kemaren ada suara
lembut mengalun di hati saya.
“Bersyukurlah. Angka 0 itu adalah
sebuah sudut pandang dan dia bukan sebuah kegagalan. Angka 0 adalah bagaimana
kamu memandang keberhasilanmu dari titik terbawah. Pada saat kamu berhadapan
dengan nol berbahagialah karena kamu
akan selalu belajar untuk bersyukur.”
TERIMAKASIH TUHAN YESUS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar