Senin, 01 April 2013

Angka Kehidupan




Hidup ada kalanya dihadapkan pada angka-angka. Meski kita mati-matian mengelak dari angka-angka ini namun kadang-kadang kita keceplosan juga dan bahkan ikut menilai. Saat seorang cewek cantik lewat, layaknya pria yang normal sangatlah wajar jika dia bertanya pada temannya. “Menurutmu dari 1-10 cewek itu kamu kasih nilai berapa?” Dan teman pria itu menjawab dengan versinya sendiri sementara pria itu bisa berpendapat dengan versinya sendiri. Seperti kata orang, cantik itu relatif.
Saat kita masuk sekolah kita telah mengenal takaran nilai 1-10. Ujianlah yang menentukan kegagalan dan keberhasilan. Semuanya ditentukan dengan nilai. Lagi-lagi kita berhadapan dengan angka. Bahkan manusia menilai kapan seseorang hidup atau mati berdasarkan angka. Kolesterol, gula darah, tekanan darah, jumlah trombosit, dsb selalu berhubungan dengan angka-angka. Jika lebih atau kurang dari angka normal maka bisa jadi ada sesuatu yang salah dalam tubuh kita. Jika salah berarti kita sakit. Orang sakit dekat dengan kematian.
                Minggu paskah kemaren saya mendengar seorang ibu memaparkan arti angka 20 dalam hidupnya. Sebuah angka yang cukup dramatis bagi keluarganya dan memaksa seluruh keluarga ibu itu bertahan dalam sekolah iman. Ibu ini sebuat saja ibu Atik adalah seorang dokter yang mengambil S2 di jurusan Teologia. Pada tahun 2011 dia diijinkan Tuhan untuk menderita sakit. Ada batu dalam ginjalnya yang sudah pecah. Dia harus dioperasi.
Seharusnya operasi itu termasuk operasi ringan. Para dokter sangat optimis. Pasien bahkan bisa pulang rata-rata setelah 3 hari dioperasi. Mungkin saja saat itu bu Atik mendapatkan angka 80 bahkan 90 persen kepastian sembuh. Namun setelah dioperasi kondisi bu Atik justru semakin lemah. Selidik punya selidik dia mengalami pendarahan di dalam perutnya pasca operasi. Tim dokter bingung sebab pendarahan itu cukup hebat. 22 kantong darah telah ludes untuk transfusi. Mau tidak mau bu Atik harus dioperasi lagi untuk menutup pembuluh darah yang mengalami pendarahan padahal tim dokter tidak tahu dimana letak kebocoran itu.  Tim dokter memberi cap angka 20 untuk tingkat harapan hidup ibu Atik. Kecil sekali. Hampir tanpa harapan.
Pada saat tubuh fisik bu Atik masuk ke ruang operasi justru rohnya terangkat pelan. Roh ibu Atik masih sadar apa yang terjadi dengannya. Dia berseru-seru pada Tuhan,”Apa aku mati, Tuhan?” Belum ada jawaban saat itu, sementara rohnya semakin tinggi. Bu Atik mulai protes pada Tuhan. Dia memperkarakan anak-anaknya yang masih kecil. Bagaimana mereka hidup tanpa seorang ibu? Bu Atik menengadah ke atas dan saat itulah Tuhan berkata,”Ya kamu hidup!”
Apa yang terjadi pada tubuh fisik bu Atik saat Tuhan berkata “Ya kamu hidup!”?  Ternyata di ruang operasi tim dokter kembali kebingungan  tanpa sebab yang jelas, pembuluh darah yang mengalami pendarahan itu sudah mampet dengan sendirinya. Pada saat itu Tuhan sendiri lah yang mengoperasi ibu Atik. Sebab janjiNya Ya dan Amin maka ibu Atik sembuh. Angka 20 itu digeser total menjadi 100 persen kesembuhan.
Apa yang dialami oleh ibu Atik pernah menimpa ibu saya pada tahun 2009. Pada saat ibu saya sakit selama 40 hari di rumah sakit tim dokter malah kebingungan memberi berapa angka harapan hidup terhadap ibu saya sebab mereka bahkan tidak tahu apa yang sedang dihadapi ibu saya. Penyakit apa yang sedang bercokol dalam tubuh ibu saya. Sebuah angka yang tak pasti lebih membingungkan dari angka 0. Lebih membuat kami depresi. Sebuah harapan hidup tanpa angka adalah kemalangan dari suatu keentahan.
Dan Tuhan menunjukkan pada saya bahwa vonis angka tidak berlaku bagi-NYa. Hanya ada YA dan TIDAK. Kadang Tuhan menyuruh kita menunggu di sela Ya untuk memperkokoh iman. Tapi Dia juga tidak ragu berkata tidak saat semua sudah selesai. Untuk ibu saya Tuhan memberikan Ya dan kami mengucapkan Amin penuh syukur.  Ibu saya hidup. Saya yakin Tuhan akan terus berkata Ya untuk pemulihan tubuh dan jiwanya.
Angka-angka itu terjadi pada siapa saja. Orang-orang di sekitar kita, orangtua kita, sahabat, bahkan orang yang tidak kita kenal. Namun bagaimana jika angka itu terjadi pada diri saya sendiri? Saya kerap menjumpai angka 0 dalam hidup saya. Saya menyebut angka 0 itu sebagai kegagalan. Karena terjadi berulangkali maka kegagalan ini bersifat jamak. Sayangnya meskipun kegagalan segitu banyaknya itu ditambah ataupun dikalikan tetap saja hasilnya nol. Seperti kemustahilan saja rasanya. Saya jadi terbiasa dengan angka 0. Saya selalu bertanya pada Tuhan kapan angka ini merangkak naik? Saya sudah berusaha semampu saya kemaren, hari ini dan usaha itu terus berlanjut. Tuhan hanya tersenyum. Sementara saya merasa seperti orang bodoh yang ngeyel mempertanyakan hal-hal yang tidak penting kepada-Nya. Juga mengeluh.
Syukurlah saya bertemu dengan bu Atik yang berkenan menceritakan muzijat dalam hidupnya. Dan saat saya mendengar cerita dari bu Atik kemaren ada  suara lembut mengalun di hati saya.
“Bersyukurlah. Angka 0 itu adalah sebuah sudut pandang dan dia bukan sebuah kegagalan. Angka 0 adalah bagaimana kamu memandang keberhasilanmu dari titik terbawah. Pada saat kamu berhadapan dengan nol  berbahagialah karena kamu akan selalu belajar untuk bersyukur.”
TERIMAKASIH TUHAN YESUS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar