Hidup Remai seperti membuka kulkas di malam hari saat
terjaga dari tidur yang membosankan. Hanya sekedar membuka, melihat isi di
dalamnya tanpa ada niatan untuk mengambil isinya. Kemudian menutupnya lagi
tanpa ekspresi dengan sebuah kesadaran bahwa ternyata ia tak membutuhkan isi
kulkas. Kalaupun ia ingin membuka kulkas itu karena ia ingin membuka kepalanya
namun tak bisa. Atau memutar film semalaman tanpa ada niatan menonton. Hanya
sekedar menatap layar ramping TV-nya dengan tatapan kosong.
Suaminya selalu tertidur, mengunci diri di kamar. Dunianya
hanya sebatas ruangan berukuran 3 kali 4 meter, tak pernah keluar kamar. Ia
hanya hidup untuk membuat kubur bagi dirinya yaitu kamarnya sendiri, peti
hidupnya. Kadang ia keluar kamar mendapati Remai yang tengah menonton TV mati
dan berkata padanya;
“Masuk kamar dan segeralah buka bajumu. Aku ingin
menidurimu.”
Remai segera beranjak, tak peduli ia ingin ditiduri atau
tidak. Dia akan membuka bajunya, membiarkan suaminya mengecup seluruh tubuhnya
yang dingin. Membiarkan laki-laki penidur itu menyetubuhinya dengan sengit.
Remai hanya tahu telah usai tugasnya jika suaminya kembali jatuh tertidur dan
membiarkan telanjang tubuhnya dengan kelamin terkulai. Remai pun akan segera masuk
kamar mandi dan menghabiskan banyak waktu untuk mandi, keramas, dan bernyanyi
kecil.
Remai mencintai air. Ia juga mencintai danau tepi rumahnya.
Sebuah danau yang dulunya samudera. Jutaan tahun lalu bumi bergeser dan
menyebabkan dua bukit berjodoh, bersetubuh, dan memerangkap laut, melahirkan
kehidupan yang lebih kecil. Danau air asin. Seorang laki-laki hidup di dalamnya,
menjadi legenda yang dulu dipercayai orang-orang. Ia bukan manusia ikan. Ia
hanya hidup seperti ikan, membangun rumah di dasar danau dan bersahabat dengan
mahkluk-mahkluk danau. Sahabat terbaiknya adalah kuda laut bersayap kupu-kupu.
Ia menamainya “Yang Tak Kunjung Terbang” karena binatang itu tak mampu
menggerakkan sayapnya. Ia hanya bisa bergerak malas di dalam air, memamerkan
perut lengkungnya yang membuncit, menyelam dengan anggun sembari menegakkan
kepala dan dadanya seperti wanita borjuis berkorset sempit.
Remai mencintai danau itu seperti ia mencintai legenda
laki-laki yang hidup di dalam air. Setiap sore ia duduk di dermaga kayu depan
rumahnya, berharap laki-laki itu akan menyembulkan kepalanya dari air,
menyapanya dan akhirnya menjadi sahabatnya. Orang-orang di sekitarnya tak lagi
mempercayai dongeng sebelum tidur itu. Mereka telah terjerembab dalam daya
untuk hidup dan tak membutuhkan sekeping legenda berkarat. Bahkan anak-anak
mereka tak diberi lagi pengetahuan tentang legenda laki-laki penghuni danau.
Anak-anak negeri ini hanya tahu bagaimana mengumpulkan kerang
sebanyak-banyaknya untuk dijual ke pasar, mendapatkan sedikit uang untuk
dibelikan layangan dan es krim coklat pelepas dahaga.
Suatu hari matahari mulai terbenam di titik pertemuan dua
bukit yang bersetubuh lalu merahim di salah satu perut bukit untuk kembali
lahir esok pagi. Tanpa sebab yang pasti tiba-tiba saja tepian danau dikerubungi
orang-orang. Mereka baru saja menangkap seorang pencuri ikan. Remai yang semula
duduk di dermaga rumahnya beranjak ke arah kerumunan. Ia bertanya pada seorang
nelayan tua.
“Ada kejadian apa, Pak Tua?”
“Seseorang mencuri hasil tangkapan Kerau, seekor lumba-lumba
bersirip merah dan melepaskannya kembali ke danau.”
“Lumba-lumba bersirip merah?”
“Ya, rencananya Kerau mau menjualnya ke suatu kelompok
sirkus di kota. Ia bisa dapat uang banyak. Tapi pupus sudah keberuntungannya.”
“Lumba-lumba bersirip merah?”
“Ya, dan celakanya pencurinya sinting, meracau tak karuan.
Berulang kali dia meyakinkan kami kalau dialah legenda danau ini. Dialah
laki-laki penghuni danau air asin dan lumba-lumba itu adalah sahabatnya, oleh
sebab itu dia membebaskannya. Puh! Omong kosong! Sekali pencuri tetap pencuri.
Lumba-lumba itu adalah tangkapan terbaik Kerau setelah berbulan-bulan tak
mendapat hasil apapun. Kami juga sama sialnya dengan dia. Sepertinya danau
berubah bisu dan memusuhi kami. Tak ada ikan yang menyentuh jala kami, tak ada
pancing yang mencabik mulut ikan. Kami telah dikutuk......”
Remai tak mempedulikan igauan nelayan tua itu. Ia bergerak
maju ke depan, menyibak tubuh-tubuh berbau asin. Dan laki-laki itu telah ada di
sana. Matanya letih, tubuhnya melebam. Tak usai-usainya Kerau memukulinya
dengan dayung perahu. Ia memakai pakaian aneh, rumbai-rumbai ganggang hijau.
Penampilannya meyakinkan banyak orang bahwa ia telah lama tak menyentuh daratan
atau peradaban. Rambutnya gimbal dan basah, tubuhnya pucat seperti lama
berendam dalam air. Urat-urat hijaunya samar di kulit pasinya. Seakan sebentang
laut bening berdasar rumput laut yang dipandang dari atas langit. Remai
memandangnya takjub. Laki-laki itu ganti menatapnya, tak mempedulikan cacian
Kerau yang membabi buta. Dua pasang mata berkejap-kejap di antara
berpuluh-puluh mata merah.
“Kau.... Kaulah perempuan itu.” Ia mendesis seperti ular
laut, berusaha mendekati Remai. Kerau memukulnya, menyeretnya menjauhi Remai.
Dia terus berusaha bangkit dengan masih melekatkan tatapannya ke arah Remai.
Sementara orang-orang masih ramai bicara tentang kutukan danau, mengumbar
kesalahan si laki-laki malang itu.
“Hentikan Kerau, kau bisa membunuhnya!” teriak Remai.
“Apa urusanmu? Bukan kau yang dirugikan akan polah orang
gila ini.”
“Tapi dia tetap manusia, dia berhak untuk hidup.”
“Tak ada urusan dengan hidup. Sebentar lagi kita akan mati,
danau tak lagi mengayomi kita. Danau telah mati. Ketika lumba-lumba datang aku
tahu aku akan bisa bertahan hidup, tapi sekarang orang ini telah menghancurkan
semuanya.” Laki-laki itu bangkit dengan masih terhuyung-huyung.
“Kaulah perempuan itu.... Tolong aku!”
“Cepat buat kerangkeng untuk orang gila ini. Biar semua
anak bisa meludahinya, biar tiap orang bisa mengutuknya!”
Kerau semakin meledak-ledak. Lima orang dewasa segera pergi
menyingkir, menebang pohon dan membuat sebuah kerangkeng yang lebih mirip
dengan kurungan. Sejak kurungan itu selesai dibuat laki-laki berpakaian
ganggang menjadi binatang peliharaan negeri ini. Binatang yang berhak untuk
disiksa, dirajam dengan sumpah serapah. Bocah-bocah berlomba-lomba
mengencinginya, laki-laki dewasa menyundut rokok ke tubuhnya, ibu-ibu menyiram
sayur basi, nenek-nenek tua mengentutinya. Dia menjadi badut tanpa baju badut.
Badut yang sedih.
Setiap malam Remai memandang pedih dari balik tirai
jendela, memperhatikan laki-laki yang dikurung. Laki-laki itu bersuara
lengking, melolong seperti nyanyian ikan paus, menceritakan kesedihannya kepada
danau air asin. Tak ada yang lebih menyayat
dari ratapannya. Remai berurai air mata tiap kali laki-laki itu memulai
kesedihannya, seakan-akan dia terus-menerus meminta pertolongannya. Ia tak bisa
melupakan tatapan matanya ketika Kerau memukulnya dengan dayung. Remai merasa
bukan pukulan Kerau yang membuatnya melolong pedih. Butuh lebih dari sekedar
pukulan untuk mampu membuat seorang laki-laki menangisi takdirnya.
Dan akhirnya pada suatu malam ketika bulan merah meleleh di
ujung bukit, Remai menelusup di antara bayang-bayang pohon, menghindari
tempat-tempat yang diterangi bulan. Suasana malam ini pekat dan merah.
Sepertinya limbah darah menggenangi permukaan danau. Dia pergi ke tempat
laki-laki yang dikurung.
“Kau....perempuan itu.”
“Sst jangan keras-keras, orang-orang bisa terbangun.”
“Aku menunggumu,” desah laki-laki itu lembut. Krikil-kerikil
menggigiti telapak kaki Remai yang telanjang. Ia menggelinjang.
“Aku tahu.”
“Kau tak takut?”
“Entahlah. Aku bahkan tak sempat memikirkan ketakutanku.”
“Kau akan membebaskanku?”
“Ya, tapi sebelumnya maukah kau
menjawab pertanyaanku dengan jujur?”
“Aku sudah tahu. Kau ingin bertanya
apakah aku benar-benar laki-laki dalam legenda itu. Jika ternyata bukan, apakah
kau masih akan membebaskanku?”
“Ya, tiap manusia berhak bebas.”
“Dan apakah kau telah bebas, Perempuan?”
“Maksudmu?”
“Aku memperhatikanmu dari permukaan
danau, sama halnya seperti kau menungguku di tepi dermaga kayu. Apakah suamimu
membebaskanmu meski dia selalu tertidur? Kau bahkan lebih malang dariku,
Remai.”
“Kau... Kau tahu namaku?”
“Kau selalu membisikkan namamu
kepada air danau. Itu sama halnya kau membisikkannya di pintu rumahku, Remai.”
“Aku tetap akan membebaskanmu meski
kau bukan laki-laki dalam legenda itu.”
“Apa gunanya bebas jika aku sekarat
di dalam sana. Orang-orang tak lagi percaya legenda itu. Aku hidup dari legenda
itu, kepercayaan orang-orang adalah nafasku. Itulah sebabnya danau membisu.
Danau akan mati jika aku mati. Sebuah rumah tak akan bertahan lama jika
ditinggalkan penghuninya. Dia akan mati bersamaku. Aku masih bisa menghimpun
sisa nafasku karena kau, Remai. Kau masih mempercayai legendaku. Itulah yang
membuatku bertahan hidup. Kaulah sepenggal nafasku. Untuk itu kau harus
menolongku.”
“Aku memang akan membebaskanmu.”
“Bukan itu maksudku. Nyalakanlah
legenda ini dalam jiwa-jiwa bocah yang belum tercemari hitam hidup, ajarkan
dongeng ini pada ibu-ibu muda, ceritakanlah ke seluruh penjuru negeri. Buatlah
mereka menyimpannya dalam setiap relung imajinasi mereka. Selamatkan aku,
Remai.”
“Aku bisa membebaskanmu tapi aku tak
bisa pergi. Suamiku akan membunuhku. Aku tak bisa pergi begitu saja untuk
bercerita ke semua orang.”
“Jika kau bisa membebaskanku kenapa
aku tak bisa membebaskanmu? Pergilah selagi kau bisa.”
Remai membisu. Hatinya membadai.
Pilar-pilar angin merentak di dadanya. Remai menggigil. Ia berbisik.
“Bolehkah aku menyentuhmu?”
Laki-laki berwajah pasi itu tersenyum kering. Ia majukan
wajahnya di antara dua terali, begitu putih dengan sedikit pendar hijau
urat-urat nadinya. Seperti fosfor yang menerangi gelap malam. Remai menyentuhnya
dengan jari-jari gemetar. Kulitnya telah berubah menjadi tanah kering yang lama
tak tersenggama hujan. Setiap sentuhan meninggalkan luka di batin Remai. Dan
Remai tak lagi menyentuh laki-laki dengan jari-jari kecilnya, ia mulai
menjelajahinya dengan bibir tipisnya, menghirup sebanyak-banyaknya legenda
laki-laki penghuni danau air asin ke dalam mulutnya. Mereka berciuman, pengap
di dada. Darah membuncah dalam penjara tubuh, seperti magma yang bergolak dalam
liang gunung. Dan pada ketukan entah, mereka saling melepaskan diri. Remai
dengan sigap membuka gembok dengan kunci yang baru saja dicurinya dari Kerau.
Mereka menghilang, menuju danau.
“Bagaimana kabar kuda-kuda laut
bersayap kupu-kupu?” tanya Remai setelah mereka sampai di tepi danau.
“Yang Tak Kunjung Terbang baik-baik
saja. Hanya saja ia semakin lemah karena lama kutinggalkan. Tak hanya dia,
lumba-lumba bersirip merah juga membutuhkanku.”
“Kenapa dia tak mencoba terbang di
udara?”
“Karena dia tak ingin serupa dengan
kupu-kupu.”
Hening menusuk-nusuk tulang.
“Kau pergi sekarang?”
“Ya, lebih cepat lebih baik.”
“Kita akan bertemu?”
“Kita akan selalu bertemu jika kau
hidupkan terus imajinasimu. Selamat tinggal, Remai.”
Laki-laki legenda air asin menyeburkan
diri ke permukaan air danau yang memerangkap bayang bulan berwarna darah dan
mengapungkannya dengan tenang. Dan segera saja bayang itu pecah bersama kecipak
tubuh laki-laki penghuni danau air asin yang berenang dengan gesitnya,
melompat-lompat seperti lumba-lumba bersirip merah lalu menyelam dan tak
kembali ke permukaan. Remai menunggunya beberapa saat, namun laki-laki berbaju
ganggang tetap tak kembali.
Keesokan harinya Remai mengemasi
baju-bajunya dalam koper. Ia pergi meninggalkan rumah pagi-pagi sekali. Menyusuri
tepi danau, melewati desa-desa, membisikkan dongeng itu diam-diam ke setiap
kamar bocah. Ia singgah di tiap kota, mendongengi ribuan orang tentang
laki-laki penghuni danau air asin yang bersahabat dengan kuda laut bersayap
kupu-kupu.
Suaminya masih tidur dan tak
mendengar langkah-langkah Remai yang pergi. Suatu sore ia terbangun dan keluar
kamar.
“Remai, masuk kamar dan segeralah buka bajumu. Aku ingin
menidurimu.”
Tak ada jawaban atau bahkan suara
seretan sandal Remai. Sepi.
“Remai, masuk kamar. Aku ingin
menidurimu!” serunya untuk kedua kalinya. Dia mulai mencari Remai di dapur, di
ruang TV, di laci meja, di dalam kulkas, di kamar mandi, di dalam toilet, di
kotak obat, di dalam cermin, di loteng. Nihil. Lelaki itu tak pernah menemukan
Remai. Pun, ia tak pernah mencarinya ke luar rumah. Lelaki itu kembali tertidur
ketika ia lelah, dan mencari Remai jika ia terbangun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar