Selasa, 08 Oktober 2013

LAKI-LAKI PENGHUNI DANAU



Hidup Remai seperti membuka kulkas di malam hari saat terjaga dari tidur yang membosankan. Hanya sekedar membuka, melihat isi di dalamnya tanpa ada niatan untuk mengambil isinya. Kemudian menutupnya lagi tanpa ekspresi dengan sebuah kesadaran bahwa ternyata ia tak membutuhkan isi kulkas. Kalaupun ia ingin membuka kulkas itu karena ia ingin membuka kepalanya namun tak bisa. Atau memutar film semalaman tanpa ada niatan menonton. Hanya sekedar menatap layar ramping TV-nya dengan tatapan kosong.
Suaminya selalu tertidur, mengunci diri di kamar. Dunianya hanya sebatas ruangan berukuran 3 kali 4 meter, tak pernah keluar kamar. Ia hanya hidup untuk membuat kubur bagi dirinya yaitu kamarnya sendiri, peti hidupnya. Kadang ia keluar kamar mendapati Remai yang tengah menonton TV mati dan berkata padanya;
“Masuk kamar dan segeralah buka bajumu. Aku ingin menidurimu.”
Remai segera beranjak, tak peduli ia ingin ditiduri atau tidak. Dia akan membuka bajunya, membiarkan suaminya mengecup seluruh tubuhnya yang dingin. Membiarkan laki-laki penidur itu menyetubuhinya dengan sengit. Remai hanya tahu telah usai tugasnya jika suaminya kembali jatuh tertidur dan membiarkan telanjang tubuhnya dengan kelamin terkulai. Remai pun akan segera masuk kamar mandi dan menghabiskan banyak waktu untuk mandi, keramas, dan bernyanyi kecil.
Remai mencintai air. Ia juga mencintai danau tepi rumahnya. Sebuah danau yang dulunya samudera. Jutaan tahun lalu bumi bergeser dan menyebabkan dua bukit berjodoh, bersetubuh, dan memerangkap laut, melahirkan kehidupan yang lebih kecil. Danau air asin. Seorang laki-laki hidup di dalamnya, menjadi legenda yang dulu dipercayai orang-orang. Ia bukan manusia ikan. Ia hanya hidup seperti ikan, membangun rumah di dasar danau dan bersahabat dengan mahkluk-mahkluk danau. Sahabat terbaiknya adalah kuda laut bersayap kupu-kupu. Ia menamainya “Yang Tak Kunjung Terbang” karena binatang itu tak mampu menggerakkan sayapnya. Ia hanya bisa bergerak malas di dalam air, memamerkan perut lengkungnya yang membuncit, menyelam dengan anggun sembari menegakkan kepala dan dadanya seperti wanita borjuis berkorset sempit.
Remai mencintai danau itu seperti ia mencintai legenda laki-laki yang hidup di dalam air. Setiap sore ia duduk di dermaga kayu depan rumahnya, berharap laki-laki itu akan menyembulkan kepalanya dari air, menyapanya dan akhirnya menjadi sahabatnya. Orang-orang di sekitarnya tak lagi mempercayai dongeng sebelum tidur itu. Mereka telah terjerembab dalam daya untuk hidup dan tak membutuhkan sekeping legenda berkarat. Bahkan anak-anak mereka tak diberi lagi pengetahuan tentang legenda laki-laki penghuni danau. Anak-anak negeri ini hanya tahu bagaimana mengumpulkan kerang sebanyak-banyaknya untuk dijual ke pasar, mendapatkan sedikit uang untuk dibelikan layangan dan es krim coklat pelepas dahaga.
Suatu hari matahari mulai terbenam di titik pertemuan dua bukit yang bersetubuh lalu merahim di salah satu perut bukit untuk kembali lahir esok pagi. Tanpa sebab yang pasti tiba-tiba saja tepian danau dikerubungi orang-orang. Mereka baru saja menangkap seorang pencuri ikan. Remai yang semula duduk di dermaga rumahnya beranjak ke arah kerumunan. Ia bertanya pada seorang nelayan tua.
“Ada kejadian apa, Pak Tua?”
“Seseorang mencuri hasil tangkapan Kerau, seekor lumba-lumba bersirip merah dan melepaskannya kembali ke danau.”
“Lumba-lumba bersirip merah?”
“Ya, rencananya Kerau mau menjualnya ke suatu kelompok sirkus di kota. Ia bisa dapat uang banyak. Tapi pupus sudah keberuntungannya.”
“Lumba-lumba bersirip merah?”
“Ya, dan celakanya pencurinya sinting, meracau tak karuan. Berulang kali dia meyakinkan kami kalau dialah legenda danau ini. Dialah laki-laki penghuni danau air asin dan lumba-lumba itu adalah sahabatnya, oleh sebab itu dia membebaskannya. Puh! Omong kosong! Sekali pencuri tetap pencuri. Lumba-lumba itu adalah tangkapan terbaik Kerau setelah berbulan-bulan tak mendapat hasil apapun. Kami juga sama sialnya dengan dia. Sepertinya danau berubah bisu dan memusuhi kami. Tak ada ikan yang menyentuh jala kami, tak ada pancing yang mencabik mulut ikan. Kami telah dikutuk......”
Remai tak mempedulikan igauan nelayan tua itu. Ia bergerak maju ke depan, menyibak tubuh-tubuh berbau asin. Dan laki-laki itu telah ada di sana. Matanya letih, tubuhnya melebam. Tak usai-usainya Kerau memukulinya dengan dayung perahu. Ia memakai pakaian aneh, rumbai-rumbai ganggang hijau. Penampilannya meyakinkan banyak orang bahwa ia telah lama tak menyentuh daratan atau peradaban. Rambutnya gimbal dan basah, tubuhnya pucat seperti lama berendam dalam air. Urat-urat hijaunya samar di kulit pasinya. Seakan sebentang laut bening berdasar rumput laut yang dipandang dari atas langit. Remai memandangnya takjub. Laki-laki itu ganti menatapnya, tak mempedulikan cacian Kerau yang membabi buta. Dua pasang mata berkejap-kejap di antara berpuluh-puluh mata merah.
“Kau.... Kaulah perempuan itu.” Ia mendesis seperti ular laut, berusaha mendekati Remai. Kerau memukulnya, menyeretnya menjauhi Remai. Dia terus berusaha bangkit dengan masih melekatkan tatapannya ke arah Remai. Sementara orang-orang masih ramai bicara tentang kutukan danau, mengumbar kesalahan si laki-laki malang itu.
“Hentikan Kerau, kau bisa membunuhnya!” teriak Remai.
“Apa urusanmu? Bukan kau yang dirugikan akan polah orang gila ini.”
“Tapi dia tetap manusia, dia berhak untuk hidup.”
“Tak ada urusan dengan hidup. Sebentar lagi kita akan mati, danau tak lagi mengayomi kita. Danau telah mati. Ketika lumba-lumba datang aku tahu aku akan bisa bertahan hidup, tapi sekarang orang ini telah menghancurkan semuanya.” Laki-laki itu bangkit dengan masih terhuyung-huyung.
“Kaulah perempuan itu.... Tolong aku!”
“Cepat buat kerangkeng untuk orang gila ini. Biar semua anak bisa meludahinya, biar tiap orang bisa mengutuknya!”
Kerau semakin meledak-ledak. Lima orang dewasa segera pergi menyingkir, menebang pohon dan membuat sebuah kerangkeng yang lebih mirip dengan kurungan. Sejak kurungan itu selesai dibuat laki-laki berpakaian ganggang menjadi binatang peliharaan negeri ini. Binatang yang berhak untuk disiksa, dirajam dengan sumpah serapah. Bocah-bocah berlomba-lomba mengencinginya, laki-laki dewasa menyundut rokok ke tubuhnya, ibu-ibu menyiram sayur basi, nenek-nenek tua mengentutinya. Dia menjadi badut tanpa baju badut. Badut yang sedih.
Setiap malam Remai memandang pedih dari balik tirai jendela, memperhatikan laki-laki yang dikurung. Laki-laki itu bersuara lengking, melolong seperti nyanyian ikan paus, menceritakan kesedihannya kepada danau air asin. Tak ada yang lebih menyayat  dari ratapannya. Remai berurai air mata tiap kali laki-laki itu memulai kesedihannya, seakan-akan dia terus-menerus meminta pertolongannya. Ia tak bisa melupakan tatapan matanya ketika Kerau memukulnya dengan dayung. Remai merasa bukan pukulan Kerau yang membuatnya melolong pedih. Butuh lebih dari sekedar pukulan untuk mampu membuat seorang laki-laki menangisi takdirnya.
Dan akhirnya pada suatu malam ketika bulan merah meleleh di ujung bukit, Remai menelusup di antara bayang-bayang pohon, menghindari tempat-tempat yang diterangi bulan. Suasana malam ini pekat dan merah. Sepertinya limbah darah menggenangi permukaan danau. Dia pergi ke tempat laki-laki yang dikurung.
“Kau....perempuan itu.”
“Sst jangan keras-keras, orang-orang bisa terbangun.”
“Aku menunggumu,” desah laki-laki itu lembut. Krikil-kerikil menggigiti telapak kaki Remai yang telanjang. Ia menggelinjang.
“Aku tahu.”
“Kau tak takut?”
“Entahlah. Aku bahkan tak sempat memikirkan ketakutanku.”
            “Kau akan membebaskanku?”
            “Ya, tapi sebelumnya maukah kau menjawab pertanyaanku dengan jujur?”
            “Aku sudah tahu. Kau ingin bertanya apakah aku benar-benar laki-laki dalam legenda itu. Jika ternyata bukan, apakah kau masih akan membebaskanku?”
            “Ya, tiap manusia berhak bebas.”
            “Dan apakah kau telah bebas, Perempuan?”
            “Maksudmu?”
            “Aku memperhatikanmu dari permukaan danau, sama halnya seperti kau menungguku di tepi dermaga kayu. Apakah suamimu membebaskanmu meski dia selalu tertidur? Kau bahkan lebih malang dariku, Remai.”
            “Kau... Kau tahu namaku?”
            “Kau selalu membisikkan namamu kepada air danau. Itu sama halnya kau membisikkannya di pintu rumahku, Remai.”
            “Aku tetap akan membebaskanmu meski kau bukan laki-laki dalam legenda itu.”
            “Apa gunanya bebas jika aku sekarat di dalam sana. Orang-orang tak lagi percaya legenda itu. Aku hidup dari legenda itu, kepercayaan orang-orang adalah nafasku. Itulah sebabnya danau membisu. Danau akan mati jika aku mati. Sebuah rumah tak akan bertahan lama jika ditinggalkan penghuninya. Dia akan mati bersamaku. Aku masih bisa menghimpun sisa nafasku karena kau, Remai. Kau masih mempercayai legendaku. Itulah yang membuatku bertahan hidup. Kaulah sepenggal nafasku. Untuk itu kau harus menolongku.”
            “Aku memang akan membebaskanmu.”
            “Bukan itu maksudku. Nyalakanlah legenda ini dalam jiwa-jiwa bocah yang belum tercemari hitam hidup, ajarkan dongeng ini pada ibu-ibu muda, ceritakanlah ke seluruh penjuru negeri. Buatlah mereka menyimpannya dalam setiap relung imajinasi mereka. Selamatkan aku, Remai.”
            “Aku bisa membebaskanmu tapi aku tak bisa pergi. Suamiku akan membunuhku. Aku tak bisa pergi begitu saja untuk bercerita ke semua orang.”
            “Jika kau bisa membebaskanku kenapa aku tak bisa membebaskanmu? Pergilah selagi kau bisa.”
            Remai membisu. Hatinya membadai. Pilar-pilar angin merentak di dadanya. Remai menggigil. Ia berbisik.
            “Bolehkah aku menyentuhmu?”
Laki-laki berwajah pasi itu tersenyum kering. Ia majukan wajahnya di antara dua terali, begitu putih dengan sedikit pendar hijau urat-urat nadinya. Seperti fosfor yang menerangi gelap malam. Remai menyentuhnya dengan jari-jari gemetar. Kulitnya telah berubah menjadi tanah kering yang lama tak tersenggama hujan. Setiap sentuhan meninggalkan luka di batin Remai. Dan Remai tak lagi menyentuh laki-laki dengan jari-jari kecilnya, ia mulai menjelajahinya dengan bibir tipisnya, menghirup sebanyak-banyaknya legenda laki-laki penghuni danau air asin ke dalam mulutnya. Mereka berciuman, pengap di dada. Darah membuncah dalam penjara tubuh, seperti magma yang bergolak dalam liang gunung. Dan pada ketukan entah, mereka saling melepaskan diri. Remai dengan sigap membuka gembok dengan kunci yang baru saja dicurinya dari Kerau. Mereka menghilang, menuju danau.
            “Bagaimana kabar kuda-kuda laut bersayap kupu-kupu?” tanya Remai setelah mereka sampai di tepi danau.
            “Yang Tak Kunjung Terbang baik-baik saja. Hanya saja ia semakin lemah karena lama kutinggalkan. Tak hanya dia, lumba-lumba bersirip merah juga membutuhkanku.”
            “Kenapa dia tak mencoba terbang di udara?”
            “Karena dia tak ingin serupa dengan kupu-kupu.”
            Hening menusuk-nusuk tulang.
            “Kau pergi sekarang?”
            “Ya, lebih cepat lebih baik.”
            “Kita akan bertemu?”
            “Kita akan selalu bertemu jika kau hidupkan terus imajinasimu. Selamat tinggal, Remai.”
            Laki-laki legenda air asin menyeburkan diri ke permukaan air danau yang memerangkap bayang bulan berwarna darah dan mengapungkannya dengan tenang. Dan segera saja bayang itu pecah bersama kecipak tubuh laki-laki penghuni danau air asin yang berenang dengan gesitnya, melompat-lompat seperti lumba-lumba bersirip merah lalu menyelam dan tak kembali ke permukaan. Remai menunggunya beberapa saat, namun laki-laki berbaju ganggang tetap tak kembali.
            Keesokan harinya Remai mengemasi baju-bajunya dalam koper. Ia pergi meninggalkan rumah pagi-pagi sekali. Menyusuri tepi danau, melewati desa-desa, membisikkan dongeng itu diam-diam ke setiap kamar bocah. Ia singgah di tiap kota, mendongengi ribuan orang tentang laki-laki penghuni danau air asin yang bersahabat dengan kuda laut bersayap kupu-kupu.
            Suaminya masih tidur dan tak mendengar langkah-langkah Remai yang pergi. Suatu sore ia terbangun dan keluar kamar.
“Remai, masuk kamar dan segeralah buka bajumu. Aku ingin menidurimu.”
            Tak ada jawaban atau bahkan suara seretan sandal Remai. Sepi.
            “Remai, masuk kamar. Aku ingin menidurimu!” serunya untuk kedua kalinya. Dia mulai mencari Remai di dapur, di ruang TV, di laci meja, di dalam kulkas, di kamar mandi, di dalam toilet, di kotak obat, di dalam cermin, di loteng. Nihil. Lelaki itu tak pernah menemukan Remai. Pun, ia tak pernah mencarinya ke luar rumah. Lelaki itu kembali tertidur ketika ia lelah, dan mencari Remai jika ia terbangun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar