Jumat, 19 Juli 2013

Bullying Versi Emak-Emak



Saya seorang ibu yang baru saja memasukkan anak saya ke TK. Tiga bulan sebelum ajaran baru saya sudah menitipkan Kaka, anak saya, di playgroup dengan harapan dia bisa bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan teman-temannya. Pada awalnya Kaka mau masuk kelas sendiri dan saya menunggu di luar. Sebulan berlangsung dan tiba-tiba Kaka memaksa saya masuk kelas untuk menemaninya.
Sepertinya dia belum nyaman dengan teman-temannya apalagi Kaka tertinggal jauh pelajarannya sebab dia baru masuk menjelang akhir kelas di playgroup. Teman-temannya memang pandai-pandai sehingga dia merasa kurang percaya diri. Pikir saya tak apalah menemaninya di dalam kelas ketimbang Kaka nanti malah mogok sekolah. Akhirnya selama hampir dua bulan saya masuk kelas untuk menemaninya.
                Teman Kaka yang bernama D sangat pintar. Kemampuan menulisnya sudah sangat maju ketimbang anak-anak yang lain. Bayangkan saja dia masih playgroup tapi dia bisa menulis A-Z tanpa mencontoh, alias hapal di luar kepala. Duh dalam hati saya minder banget. Apalagi setiap hari saya melihat kecerdasan si D di dalam kelas. Kalau saya perhatikan D memang sangat terobsesi untuk menjadi yang pertama.  Sebelum pulang Bu Guru biasanya akan memberi pertanyaan dan siapa yang pertama menjawab akan mendapat bintang dengan tulisan nomer satu. Si D memang langganan bintang bernomer satu namun saat dia menjadi nomer 2 atau 3 wajahnya akan berubah sedih dan keluar kelas dengan lesu. Yang biasa menjemput D adalah neneknya yang usianya belum tua mungkin sekitar 50-an. Ketika D menemui neneknya dan menunjukkan bintang nomer 2 atau 3 wajah si nenek terlihat kecewa sekali. Tentu saja si D tambah kecewa. Setelah saya perhatikan dan renungkan kelihatannya nenek D selalu mengukur sesuatu dengan angka. Dia sangat menuntut D untuk menjadi yang pertama. Angka 1 berarti senyum, angka yang lain berarti wajah yang kecewa.
                Semakin lama di dalam kelas tentu saja membuat saya tidak nyaman. Apalagi setiap saya bertemu dengan nenek D dia selalu berkata,”Wah belum bisa ditinggal ya Ma?” Semula saya bisa menjawabnya dengan senyum namun saya terpaksa harus memaksakan senyum saya karena setiap hari nenek D selalu melontarkan kalimat itu dengan nada yang sinis. Lama-kelamaan dia berkata,”Lho belum bisa ditinggal juga anaknya ya? Wah cucu saya sudah berani dari hari pertama.” Aduh saya makin minder deh apalagi si D ini sudah sekolah lama di sini yaitu sejak dia berumur 2 tahun. Berarti D sudah berani ditinggal sejak umur dua tahun dong.
Meski kecewa dengan sekuat tenaga saya tidak ingin menunjukkannya di depan anak saya. Bagaimanapun saya tidak ingin membuat anak saya tambah tidak nyaman. Meskipun anak saya selalu mendapat bintang dengan nomer nyaris belakang namun saya selalu menyemangatinya dan sebisa mungkin tidak menunjukkan kekecewaan saya. Dan sebelnya si nenek D selalu membandingkan bintang cucunya dengan anak saya. Biasanya dia akan menunjukkan bintang cucunya pada saya sambil melirik bintang anak saya. Duh. Saya akhirnya diberi tahu ibu yang lain kalau D ini dileskan baca tulis di luar sekolah. Pantas saja kemampuannya di atas teman-temannya yang lain. Bagaimanapun anak saya tidak akan saya masukkan les baca tulis karena pada dasarnya umurnya memang belum siap untuk belajar calistung. Pada saatnya nanti jika dia siap dia pasti bisa melakukannya.
                Akhirnya liburan pun tiba. Sepanjang liburan saya terus menyemangati Kaka agar nantinya ketika dia masuk TK bisa sekolah sendiri.  Tanpa terasa liburan pun berakhir. Hari pertama sekolah saya sedikit tegang. Usaha saya menyemangati Kaka selama liburan apakah akan membuahkan hasil ditentukan oleh hari ini. Kaka kelihatan bersemangat pada hari pertamanya masuk TK. Saya terus berdoa dalam hati agar hari ini lancar seperti yang saya harapkan. Saya dan Kaka menuju sekolah dengan naik motor. Setibanya di sekolah Kaka turun dari motor lalu menyalami saya. Dia juga menyalami guru-gurunya lalu masuk kelas. SENDIRI. Saya sampai terpesona dibuatnya dan pulang ke rumah dengan berbunga-bunga. Hari itu tentunya menjadi hari terindah buat saya. Dan ini terus dilakukan Kaka keesokan harinya dan seterusnya.
                Saya suka mengantar dan menjemput Kaka setengah jam lebih awal. Saya ingin Kaka keluar kelas dan melihat saya sudah duduk di bangku penjemput. Saya ingin menunjukkan pada Kaka kalau saya menepati janji untuk selalu menjemputnya yang itu artinya saya tidak meninggalkannya. Nenek D tahunya saya masih menunggu di sekolah karena setiap dia datang saya pasti sudah ada di sekolah. Setiap dia bertemu saya dia terus meneror saya dengan kalimatnya,”Wah belum bisa ditinggal anaknya ya? Kan sudah TK masa nggak berani ditinggal?” Semula saya ingin menjelaskan proges Kaka yang luar biasa itu namun saya mengurungkannya dan hanya menjawabnya dengan senyum. Biarlah dia beranggapan seperti itu. Lagipula saya sudah tidak minder lagi. Anak saya pasti bisa jika waktunya sudah tepat dan dia siap melakukannya. Saya tidak akan menuntutnya dengan label-label angka. Saya hanya ingin dia nyaman dan senang belajar di sekolah.
                Apa yang diucapkan oleh nenek D secara terus menerus itu sangat membuat saya tidak nyaman, minder, dan sebel. Selama ini saya pikir bullying lebih banyak terjadi pada anak-anak sekolah namun setelah saya melampaui masa-masa sekolah dan menjadi ibu hal-hal tidak menyenangkan seperti ini bisa terjadi dimana saja. Hal yang dilakukan oleh nenek D terhadap saya mungkin sepele namun efeknya tidak mengenakkan buat saya. Hal-hal yang sepele inilah yang sebenarnya bisa menghasilkan perkara lebih besar. Efek bagi cucunya sebenarnya juga ada. D meskipun pintar tapi cengengnya bukan main. Jika dia kalah dalam suatu permainan dia akan menangis. Saat temannya mengoloknya,”D juara dua.” D akan menangis kencang. Bagaimanapun D dicetak untuk menjadi nomer satu dan dia tidak bisa menerima angka lain. Kekalahan tidak ada dalam kamus D ehm maksud saya kamus besar neneknya. Dalam hidup ini tidak selalu berdasarkan menang atau kalah. Juara atau tidak. Satu atau sepuluh. Selama saya masih mendapati anak saya tersenyum saat dia kalah pada saat itulah justru dia menang. Kekalahan bukan untuk ditangisi dan kemenangan tidak selamanya selalu dirayakan.
        

NB : Note ini diikutsertakan dalam Giveaway UNFRIEND YOU (DL: 20 Juli 2013)
( Link : https://www.facebook.com/notes/dyah-rinni/lets-say-no-to-bullying-and-get-a-novel-giveaway-unfriend-you-dl-20-juli-2013/10151452632196707 )

        

2 komentar:

  1. Kasihan banget si D, mbak. :( Aku setuju banget. Hidup seharusnya nggak diukur dengan angka, menang atau kalah.

    BalasHapus
  2. Ya betul mbak. Tapi sistim pendidikan kita sudah terbiasa dengan ukuran angka.

    BalasHapus