Saya seorang ibu yang baru saja memasukkan anak saya ke TK.
Tiga bulan sebelum ajaran baru saya sudah menitipkan Kaka, anak saya, di
playgroup dengan harapan dia bisa bersosialisasi dan beradaptasi dengan
lingkungan sekolah dan teman-temannya. Pada awalnya Kaka mau masuk kelas
sendiri dan saya menunggu di luar. Sebulan berlangsung dan tiba-tiba Kaka
memaksa saya masuk kelas untuk menemaninya.
Sepertinya dia belum nyaman dengan teman-temannya apalagi Kaka tertinggal jauh pelajarannya sebab dia baru masuk menjelang akhir kelas di playgroup. Teman-temannya memang pandai-pandai sehingga dia merasa kurang percaya diri. Pikir saya tak apalah menemaninya di dalam kelas ketimbang Kaka nanti malah mogok sekolah. Akhirnya selama hampir dua bulan saya masuk kelas untuk menemaninya.
Sepertinya dia belum nyaman dengan teman-temannya apalagi Kaka tertinggal jauh pelajarannya sebab dia baru masuk menjelang akhir kelas di playgroup. Teman-temannya memang pandai-pandai sehingga dia merasa kurang percaya diri. Pikir saya tak apalah menemaninya di dalam kelas ketimbang Kaka nanti malah mogok sekolah. Akhirnya selama hampir dua bulan saya masuk kelas untuk menemaninya.
Teman
Kaka yang bernama D sangat pintar. Kemampuan menulisnya sudah sangat maju
ketimbang anak-anak yang lain. Bayangkan saja dia masih playgroup tapi dia bisa
menulis A-Z tanpa mencontoh, alias hapal di luar kepala. Duh dalam hati
saya minder banget. Apalagi setiap hari saya melihat kecerdasan si D di dalam
kelas. Kalau saya perhatikan D memang sangat terobsesi untuk menjadi yang
pertama. Sebelum pulang Bu Guru biasanya
akan memberi pertanyaan dan siapa yang pertama menjawab akan mendapat bintang
dengan tulisan nomer satu. Si D memang langganan bintang bernomer satu namun
saat dia menjadi nomer 2 atau 3 wajahnya akan berubah sedih dan keluar kelas
dengan lesu. Yang biasa menjemput D adalah neneknya yang usianya belum tua mungkin
sekitar 50-an. Ketika D menemui neneknya dan menunjukkan bintang nomer 2 atau 3
wajah si nenek terlihat kecewa sekali. Tentu saja si D tambah kecewa. Setelah
saya perhatikan dan renungkan kelihatannya nenek D selalu mengukur sesuatu
dengan angka. Dia sangat menuntut D untuk menjadi yang pertama. Angka 1 berarti
senyum, angka yang lain berarti wajah yang kecewa.
Semakin
lama di dalam kelas tentu saja membuat saya tidak nyaman. Apalagi setiap saya
bertemu dengan nenek D dia selalu berkata,”Wah belum bisa ditinggal ya Ma?”
Semula saya bisa menjawabnya dengan senyum namun saya terpaksa harus memaksakan
senyum saya karena setiap hari nenek D selalu melontarkan kalimat itu dengan
nada yang sinis. Lama-kelamaan dia berkata,”Lho belum bisa ditinggal juga
anaknya ya? Wah cucu saya sudah berani dari hari pertama.” Aduh saya makin
minder deh apalagi si D ini sudah sekolah lama di sini yaitu sejak dia berumur
2 tahun. Berarti D sudah berani ditinggal sejak umur dua tahun dong.
Meski kecewa dengan sekuat tenaga
saya tidak ingin menunjukkannya di depan anak saya. Bagaimanapun saya tidak
ingin membuat anak saya tambah tidak nyaman. Meskipun anak saya selalu mendapat
bintang dengan nomer nyaris belakang namun saya selalu menyemangatinya dan
sebisa mungkin tidak menunjukkan kekecewaan saya. Dan sebelnya si nenek D
selalu membandingkan bintang cucunya dengan anak saya. Biasanya dia akan
menunjukkan bintang cucunya pada saya sambil melirik bintang anak saya. Duh.
Saya akhirnya diberi tahu ibu yang lain kalau D ini dileskan baca tulis di luar
sekolah. Pantas saja kemampuannya di atas teman-temannya yang lain.
Bagaimanapun anak saya tidak akan saya masukkan les baca tulis karena pada
dasarnya umurnya memang belum siap untuk belajar calistung. Pada saatnya nanti
jika dia siap dia pasti bisa melakukannya.
Akhirnya
liburan pun tiba. Sepanjang liburan saya terus menyemangati Kaka agar nantinya
ketika dia masuk TK bisa sekolah sendiri.
Tanpa terasa liburan pun berakhir. Hari pertama sekolah saya sedikit
tegang. Usaha saya menyemangati Kaka selama liburan apakah akan membuahkan
hasil ditentukan oleh hari ini. Kaka kelihatan bersemangat pada hari pertamanya
masuk TK. Saya terus berdoa dalam hati agar hari ini lancar seperti yang saya
harapkan. Saya dan Kaka menuju sekolah dengan naik motor. Setibanya di sekolah
Kaka turun dari motor lalu menyalami saya. Dia juga menyalami guru-gurunya lalu
masuk kelas. SENDIRI. Saya sampai terpesona dibuatnya dan pulang ke rumah
dengan berbunga-bunga. Hari itu tentunya menjadi hari terindah buat saya. Dan ini
terus dilakukan Kaka keesokan harinya dan seterusnya.
Saya
suka mengantar dan menjemput Kaka setengah jam lebih awal. Saya ingin Kaka
keluar kelas dan melihat saya sudah duduk di bangku penjemput. Saya ingin
menunjukkan pada Kaka kalau saya menepati janji untuk selalu menjemputnya yang
itu artinya saya tidak meninggalkannya. Nenek D tahunya saya masih menunggu di
sekolah karena setiap dia datang saya pasti sudah ada di sekolah. Setiap dia
bertemu saya dia terus meneror saya dengan kalimatnya,”Wah belum bisa ditinggal
anaknya ya? Kan sudah TK masa nggak berani ditinggal?” Semula saya ingin
menjelaskan proges Kaka yang luar biasa itu namun saya mengurungkannya dan
hanya menjawabnya dengan senyum. Biarlah dia beranggapan seperti itu. Lagipula
saya sudah tidak minder lagi. Anak saya pasti bisa jika waktunya sudah tepat
dan dia siap melakukannya. Saya tidak akan menuntutnya dengan label-label
angka. Saya hanya ingin dia nyaman dan senang belajar di sekolah.
Apa
yang diucapkan oleh nenek D secara terus menerus itu sangat membuat saya tidak
nyaman, minder, dan sebel. Selama ini saya pikir bullying lebih banyak terjadi
pada anak-anak sekolah namun setelah saya melampaui masa-masa sekolah dan
menjadi ibu hal-hal tidak menyenangkan seperti ini bisa terjadi dimana saja.
Hal yang dilakukan oleh nenek D terhadap saya mungkin sepele namun efeknya
tidak mengenakkan buat saya. Hal-hal yang sepele inilah yang sebenarnya bisa
menghasilkan perkara lebih besar. Efek bagi cucunya sebenarnya juga ada. D
meskipun pintar tapi cengengnya bukan main. Jika dia kalah dalam suatu
permainan dia akan menangis. Saat temannya mengoloknya,”D juara dua.” D akan
menangis kencang. Bagaimanapun D dicetak untuk menjadi nomer satu dan dia tidak
bisa menerima angka lain. Kekalahan tidak ada dalam kamus D ehm maksud saya
kamus besar neneknya. Dalam hidup ini tidak selalu berdasarkan menang atau
kalah. Juara atau tidak. Satu atau sepuluh. Selama saya masih mendapati anak saya
tersenyum saat dia kalah pada saat itulah justru dia menang. Kekalahan bukan
untuk ditangisi dan kemenangan tidak selamanya selalu dirayakan.
NB : Note ini diikutsertakan dalam Giveaway UNFRIEND YOU (DL: 20 Juli 2013)
( Link : https://www.facebook.com/notes/dyah-rinni/lets-say-no-to-bullying-and-get-a-novel-giveaway-unfriend-you-dl-20-juli-2013/10151452632196707 )
Kasihan banget si D, mbak. :( Aku setuju banget. Hidup seharusnya nggak diukur dengan angka, menang atau kalah.
BalasHapusYa betul mbak. Tapi sistim pendidikan kita sudah terbiasa dengan ukuran angka.
BalasHapus