Selasa, 19 Februari 2013

EMAIL UNTUK NAWANG (2)





Mereka beli kucing Persia seharga 2 juta.  Edan!

Masih ingat kan dengan tetanggaku sepasang suami istri yang dua-duanya jadi guru? Arif dan Diana? Mereka sudah menikah selama tiga tahun tapi belum punya anak. Seharusnya mereka mengadopsi anak bukannya membeli kucing mahal yang tidak tahu tata karma itu. Harusnya kamu melihatku saat mengusir Pisi dari sofa kesayanganku dengan cara yang halus. Oh ya, nama kucing pesek itu Pisi. Aku kadang lupa memanggilnya dengan Pesing, tapi aku lebih sering pura-pura lupa jika namanya Pisi.  Aku tidak enak jika mengusirnya dengan cara kasar sebab takut kedengaran tetanggaku. Mereka sayang banget dengan Pisi sampai-sampai Diana sering memanggilnya dengan nduk. E alah.

Wang, kamu pasti tahu sofa berwarna merah marun yang hampir sama dengan punyamu. Di sana Pisi suka tidur. Dan kamu tahu tidak bulu-bulunya akan melekat di serat-serat  sofa itu. Aku harus mencabutinya satu demi satu. Sofa itu adalah barang termewah yang kumiliki sebab menghabiskan hampir semua tabunganku. Aku jatuh cinta dengan sofa itu untuk pertama kali saat sofa itu dipasang di etalase toko. Setiap aku lewat di toko itu aku selalu membatin,”Suatu hari nanti sofa itu jadi milikku.” Sekarang aku sudah memilikinya dan Pisi justru yang menguasainya. Sial.

Soal mengusir dengan cara halus itu kamu pasti penasaran kan? Biasanya saat dia tidur di sofaku aku akan membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan perutnya sambil berkata,”Pesing, Pesing, ayo bangun psstt…psst...” Kalau dia tetep tidak bangun aku lalu berkata dengan sedikit penekanan,”Pesing, kalau kamu tidak bangun sekarang, lima menit lagi ada kucing rebus, mau?”

Pada awalnya dia langsung bangun dan berlari keluar. Entahlah apa dia memang paham dengan kesadisan dalam kata-kata halusku. Tapi akhir-akhir ini kata-kata itu tidak mempan. Pisi lebih pintar dari dugaanku. Menurutku dia membaca gerak-gerikku. Dia selalu melihatku repot dengan jemuran ‘maminya’, memasukkan sampah ‘mami papinya’yang amburadul dalam kantong plastik. Pisi pasti sudah tahu kalau aku orangnya tidak tegaan dan tak pernah tahan dengan barang kotor. Jadi dia sangat tahu juga kalau aku tak bakalan merebusnya. Dasar kucing yang pintar.

Aku cuma capek, Wang, membersihkan bulu-bulunya yang lengket di sofa. Susah banget. Belum lagi bulu-bulu itu juga menempel di kaos anak-anakku. Sialnya lagi mereka suka memeluk-meluk Pisi. Sepertinya aku kalah jumlah dalam pertarungan melawan Pisi. Apalagi Diana dan Arif suka meninggalkan Pisi di luar saat mereka pergi mengajar. Sepertinya mereka sudah menetapkanku sebagai catsitter tanpa persetujuanku. Bayangkan betapa repotnya aku sekarang. Ada satu napas lagi yang harus kuurus dan napas itu keluar masuk dari hidung peseknya yang menyebalkan. Hanya saja hidung pesek ini harganya dua juta dan jika dia hilang aku punya beban moral untuk menggantinya. Dua juta cukup untuk memberi makan kelima anakku selama sebulan.  Nawang, harusnya kamu melihat kerepotanku ini.

Aku mengerti kok kerinduan mereka tentang momongan, tapi ya nggak segitunya kali. Bukannya aku menyindir kamu, Wang. Kamu juga punya si Bundel, anjing Chihuahua yang lucu. Tapi kamu kan nggak ngerepotin tetangga. Kamu biasanya sering menitipkan Bundel di klinik hewan saat kamu kerja. Itu lain Wang. Kamu lebih bertanggung jawab. Kamu kan temanku. Hehehe.
Pernah suatu tengah malam pintuku digedor. Aku bangun dengan geragapan dan langsung berlari ke ruang tamu. Kakiku sempat menabrak meja. Sakit luar biasa. Saat aku membuka pintu aku menemukan wajah panik Diana. “Mbak, Pisi hilang!”

“Hah!” kataku dengan nada persis seperti artis sinetron karbitan.  Meski hatiku melunjak-lunjak kegirangan. Coba bayangkan bagaimana wajahku malam itu. Memasang muka terkejut tapi hati bersuit-suit kegirangan.
“Bisa pinjam senter Mbak? Pisi naik genteng!” Aku mengangguk lalu mengambil senter di lemari. Diana langsung berlari keluar dan menyenteri genteng. Sementara  Arif berjalan kian kemari sambil membujuk Pisi turun. Ternyata kucing itu nangkring di tower air. Terus terang aku memohon supaya Pisi melompat ke genteng lain lalu terbang ke bulan menggantikan kelinci di bulan. Selamanya di sana dan tak pernah kembali. Aku berharap bisa tidur tenang kembali. Tapi ternyata tidak. Sepanjang malam suara Diana dan Arif mengusikku apalagi kakiku yang kejedug meja tadi ternyata memar. Mereka terus-menerus bilang,”Ayo to nduk turun. Papi mami nanti kasih makan enak.” EALAH. Aku terus merutuk dalam hati masa beli kucing seharga jutaan rupiah saja bisa tapi tak bisa beli senter.  Ini yang keterlaluan tetanggaku, kucing, senter, atau justru yang meminjami senter? Ah, masa bodoh.

Dan permohonanku tidak terkabul. Pisi tidak berniat menggantikan kelinci di bulan. Esoknya dia sudah melingkar di sofaku lagi. Lalu Diana berceloteh kalau si Pisi tak tahan ingin segera kawin dan dia mengejar kucing kampung yang sering berkeliaran di genteng rumah kami. Itulah awal mulanya dia menghilang semalam. Harusnya mereka membeli kurungan besar untuk Pisi atau menguncinya di rumah terus. Setelah kejadian naik genteng itu kupikir Pisi lebih genit dan agresif tapi itu tidak menghapus kebiasaannya melingkar di sofaku.

Dan pagi ini, Wang, kamu tidak akan percaya apa yang terjadi. Saat aku sibuk menyiapkan sarapan di dapur, anak-anakku berkasak-kusuk di ruang tamu. Bukannya tidak segera mandi mereka malah bergerombol di sana. Aku mendengar suara Anita, anak ragilku yang masih TK besar,”Mbak Ajeng kok si Pisi merem melek ya?”
Ajeng lalu menjawab,”Dia baru dipijetin jadi keenakan.”
“Kok dipijetin posisinya kaya gitu?” protes Bayu anak keempatku.
“Gaya kucing ya seperti itu beda dengan kita,” imbuh Dino dan Dani bersamaan. Mereka kembar, Wang. Maklum jika ngomongnya sering kompak. Aku tambah penasaran sebenarnya apa sih yang mereka omongkan. Aku bergegas ke ruang tamu setelah mematikan kompor.
“Kalian kok nggak mandi-mandi sih, sudah siang lho!” kataku tidak sabar.
“Kami baru lihat Pisi dipijetin,” kata Anita polos. Pandanganku tertuju ke sofa merah marunku. Sofa idaman yang menghabiskan hamper seluruh tabunganku. Sofa kesayanganku.
“HAH!!” mataku melotot hampir copot. Seekor kucing Persia berwarna kelabu dan bertubuh besar sedang asyik menaiki si Pisi yang merem melek keenakan. Aduh jadi dari tadi anak-anakku mendiskusikan tontonan tidak senonoh ini. Dasar kucing. Tiba-tiba dari pintu, wajah Diana muncul,”Aduh Pisi dan Piso kalian nakal banget sih. Kalau lagi em-el jangan di sini. Malu dong. Maaf ya mbak Wulan.”
“Piso?” kataku dengan suara gemetar.
“Kami memutuskan untuk membeli pasangan untuk Pisi. Namanya Piso. Ayo Piso beri salam sama mbak Wulan.” Aku memandang kucing super besar yang tak memedulikanku. Dia semakin asyik main kuda-kudaan dengan Pisi. Malah lebih kencang genjotannya. Ayolah Piso, Pisi kan kucing bukan kuda. Jadi berhentilah bergangnam style.
“Kasihan, Pisi merana Mbak,” kata Diana dengan kalem.
MERANA? ! Yang benar saja. Harusnya Diana melihat wajahku saat itu lebih merana dari Pisi. Belum habis rasa syokku, Anita, anak ragilku menarik-narik tanganku.
“Bu, em-el itu apa sih?”
TIDAAAAKKKK!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar