Mereka beli
kucing Persia seharga 2 juta. Edan!
Masih ingat
kan dengan tetanggaku sepasang suami istri yang dua-duanya jadi guru? Arif dan
Diana? Mereka sudah menikah selama tiga tahun tapi belum punya anak. Seharusnya
mereka mengadopsi anak bukannya membeli kucing mahal yang tidak tahu tata karma
itu. Harusnya kamu melihatku saat mengusir Pisi dari sofa kesayanganku dengan
cara yang halus. Oh ya, nama kucing pesek itu Pisi. Aku kadang lupa
memanggilnya dengan Pesing, tapi aku lebih sering pura-pura lupa jika namanya
Pisi. Aku tidak enak jika mengusirnya
dengan cara kasar sebab takut kedengaran tetanggaku. Mereka sayang banget
dengan Pisi sampai-sampai Diana sering memanggilnya dengan nduk. E
alah.
Wang, kamu
pasti tahu sofa berwarna merah marun yang hampir sama dengan punyamu. Di sana
Pisi suka tidur. Dan kamu tahu tidak bulu-bulunya akan melekat di
serat-serat sofa itu. Aku harus
mencabutinya satu demi satu. Sofa itu adalah barang termewah yang kumiliki
sebab menghabiskan hampir semua tabunganku. Aku jatuh cinta dengan sofa itu
untuk pertama kali saat sofa itu dipasang di etalase toko. Setiap aku lewat di
toko itu aku selalu membatin,”Suatu hari nanti sofa itu jadi milikku.” Sekarang
aku sudah memilikinya dan Pisi justru yang menguasainya. Sial.
Soal
mengusir dengan cara halus itu kamu pasti penasaran kan? Biasanya saat dia
tidur di sofaku aku akan membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan perutnya
sambil berkata,”Pesing, Pesing, ayo bangun psstt…psst...” Kalau dia tetep tidak
bangun aku lalu berkata dengan sedikit penekanan,”Pesing, kalau kamu tidak
bangun sekarang, lima menit lagi ada kucing rebus, mau?”
Pada awalnya
dia langsung bangun dan berlari keluar. Entahlah apa dia memang paham dengan
kesadisan dalam kata-kata halusku. Tapi akhir-akhir ini kata-kata itu tidak
mempan. Pisi lebih pintar dari dugaanku. Menurutku dia membaca gerak-gerikku.
Dia selalu melihatku repot dengan jemuran ‘maminya’, memasukkan sampah ‘mami
papinya’yang amburadul dalam kantong plastik. Pisi pasti sudah tahu kalau aku
orangnya tidak tegaan dan tak pernah tahan dengan barang kotor. Jadi dia sangat
tahu juga kalau aku tak bakalan merebusnya. Dasar kucing yang pintar.
Aku cuma
capek, Wang, membersihkan bulu-bulunya yang lengket di sofa. Susah banget.
Belum lagi bulu-bulu itu juga menempel di kaos anak-anakku. Sialnya lagi mereka
suka memeluk-meluk Pisi. Sepertinya aku kalah jumlah dalam pertarungan melawan
Pisi. Apalagi Diana dan Arif suka meninggalkan Pisi di luar saat mereka pergi
mengajar. Sepertinya mereka sudah menetapkanku sebagai catsitter tanpa
persetujuanku. Bayangkan betapa repotnya aku sekarang. Ada satu napas lagi yang
harus kuurus dan napas itu keluar masuk dari hidung peseknya yang menyebalkan.
Hanya saja hidung pesek ini harganya dua juta dan jika dia hilang aku punya
beban moral untuk menggantinya. Dua juta cukup untuk memberi makan kelima
anakku selama sebulan. Nawang, harusnya
kamu melihat kerepotanku ini.
Aku mengerti
kok kerinduan mereka tentang momongan, tapi ya nggak segitunya kali. Bukannya
aku menyindir kamu, Wang. Kamu juga punya si Bundel, anjing Chihuahua yang
lucu. Tapi kamu kan nggak ngerepotin tetangga. Kamu biasanya sering menitipkan
Bundel di klinik hewan saat kamu kerja. Itu lain Wang. Kamu lebih bertanggung
jawab. Kamu kan temanku. Hehehe.
Pernah suatu
tengah malam pintuku digedor. Aku bangun dengan geragapan dan langsung berlari
ke ruang tamu. Kakiku sempat menabrak meja. Sakit luar biasa. Saat aku membuka
pintu aku menemukan wajah panik Diana. “Mbak, Pisi hilang!”
“Hah!”
kataku dengan nada persis seperti artis sinetron karbitan. Meski hatiku melunjak-lunjak kegirangan. Coba
bayangkan bagaimana wajahku malam itu. Memasang muka terkejut tapi hati
bersuit-suit kegirangan.
“Bisa pinjam
senter Mbak? Pisi naik genteng!” Aku mengangguk lalu mengambil senter di
lemari. Diana langsung berlari keluar dan menyenteri genteng. Sementara Arif berjalan kian kemari sambil membujuk Pisi
turun. Ternyata kucing itu nangkring di tower air. Terus terang aku memohon
supaya Pisi melompat ke genteng lain lalu terbang ke bulan menggantikan kelinci
di bulan. Selamanya di sana dan tak pernah kembali. Aku berharap bisa tidur
tenang kembali. Tapi ternyata tidak. Sepanjang malam suara Diana dan Arif
mengusikku apalagi kakiku yang kejedug meja tadi ternyata memar. Mereka
terus-menerus bilang,”Ayo to nduk turun. Papi mami nanti kasih makan
enak.” EALAH. Aku terus merutuk dalam hati masa beli kucing seharga jutaan
rupiah saja bisa tapi tak bisa beli senter.
Ini yang keterlaluan tetanggaku, kucing, senter, atau justru yang
meminjami senter? Ah, masa bodoh.
Dan
permohonanku tidak terkabul. Pisi tidak berniat menggantikan kelinci di bulan.
Esoknya dia sudah melingkar di sofaku lagi. Lalu Diana berceloteh kalau si Pisi
tak tahan ingin segera kawin dan dia mengejar kucing kampung yang sering
berkeliaran di genteng rumah kami. Itulah awal mulanya dia menghilang semalam. Harusnya
mereka membeli kurungan besar untuk Pisi atau menguncinya di rumah terus.
Setelah kejadian naik genteng itu kupikir Pisi lebih genit dan agresif tapi itu
tidak menghapus kebiasaannya melingkar di sofaku.
Dan pagi
ini, Wang, kamu tidak akan percaya apa yang terjadi. Saat aku sibuk menyiapkan
sarapan di dapur, anak-anakku berkasak-kusuk di ruang tamu. Bukannya tidak
segera mandi mereka malah bergerombol di sana. Aku mendengar suara Anita, anak
ragilku yang masih TK besar,”Mbak Ajeng kok si Pisi merem melek ya?”
Ajeng lalu
menjawab,”Dia baru dipijetin jadi keenakan.”
“Kok
dipijetin posisinya kaya gitu?” protes Bayu anak keempatku.
“Gaya kucing
ya seperti itu beda dengan kita,” imbuh Dino dan Dani bersamaan. Mereka kembar,
Wang. Maklum jika ngomongnya sering kompak. Aku tambah penasaran sebenarnya apa
sih yang mereka omongkan. Aku bergegas ke ruang tamu setelah mematikan kompor.
“Kalian kok
nggak mandi-mandi sih, sudah siang lho!” kataku tidak sabar.
“Kami baru
lihat Pisi dipijetin,” kata Anita polos. Pandanganku tertuju ke sofa merah
marunku. Sofa idaman yang menghabiskan hamper seluruh tabunganku. Sofa
kesayanganku.
“HAH!!”
mataku melotot hampir copot. Seekor kucing Persia berwarna kelabu dan bertubuh
besar sedang asyik menaiki si Pisi yang merem melek keenakan. Aduh jadi dari
tadi anak-anakku mendiskusikan tontonan tidak senonoh ini. Dasar kucing.
Tiba-tiba dari pintu, wajah Diana muncul,”Aduh Pisi dan Piso kalian nakal
banget sih. Kalau lagi em-el jangan di sini. Malu dong. Maaf ya mbak Wulan.”
“Piso?”
kataku dengan suara gemetar.
“Kami
memutuskan untuk membeli pasangan untuk Pisi. Namanya Piso. Ayo Piso beri salam
sama mbak Wulan.” Aku memandang kucing super besar yang tak memedulikanku. Dia semakin
asyik main kuda-kudaan dengan Pisi. Malah lebih kencang genjotannya. Ayolah
Piso, Pisi kan kucing bukan kuda. Jadi berhentilah bergangnam style.
“Kasihan,
Pisi merana Mbak,” kata Diana dengan kalem.
MERANA? !
Yang benar saja. Harusnya Diana melihat wajahku saat itu lebih merana dari
Pisi. Belum habis rasa syokku, Anita, anak ragilku menarik-narik tanganku.
“Bu, em-el
itu apa sih?”
TIDAAAAKKKK!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar