Sabtu, 26 Oktober 2013

Kursi Malas Selena




Oleh: Ruwi Meita

Perempuan yang tinggal di sebuah rumah di tengah sawah itu baru saja membeli sebuah kursi malas. Kursi itu terbuat dari kayu jati, berplitur coklat gelap. Pada bagian sandarannya teranyam rotan berwarna lebih terang. Dia membelinya bukan karena dia ingin bermalas-malasan melainkan dia membutuhkan kursi itu untuk berpikir. Otaknya lebih bisa bekerja maksimal jika seluruh tubuhnya berayun-ayun.
Saat dia sedang berpikir biasanya dia mengerak-gerakkan lutut hingga tubuhnya terguncang-guncang. Kebiasaan ini kadang mengganggu orang di sekitarnya karena saat dia duduk entah itu di bangku taman, bangku bis, atau kereta, orang yang duduk di sebelahnya merasa terusik. Apa yang dilakukannya menyebabkan suara mengganggu atau guncangan lokal di sekitar bangku. Kadang teman karibnya, Nawitri, sering menyentuh lututnya untuk menghentikan guncangan yang mengganggu itu, kalau dia masih bandel maka tepukan keras yang dia dapat. Makanya ketika dia melihat kursi malas itu dia merasa tak perlu lagi mengguncangkan lutut untuk membuat pikirannya jernih. Nawitri bilang kebiasaannya itu karena mungkin sewaktu dia bayi suka diayun-ayun oleh ibunya dalam gendongan. Dia hanya menggeleng dan bergumam seandainya memang begitu aku pasti akan bahagia...
Apapun alasannya dia sangat yakin kalau kursi goyang itu memanggil dirinya. Dia sedang memikirkan cara untuk bunuh diri. Kursi yang baru dibelinya sangat cocok untuk bisa berpikir secara pelan dan pasti karena rencana bunuh diri membutuhkan perhitungan yang matang. Begitulah yang ada di pemikirannya. Bukankah bunuh diri adalah sesuatu hal yang sulit dilakukan?
 
Orangtuanya menamai perempuan itu Selena. Dia adalah anak yang tidak menonjol dibandingkan keempat saudaranya yang lain, bahkan sudah mendekati taraf terabaikan. Bapaknya menganggapnya sebagai kesalahan besar yang mengotori pohon keturunannya. Saat saudara-saudaranya memilih jalur profesi yang dibanggakan bapaknya, Selena lebih memilih profesi sebagai penulis, suatu profesi yang menurut bapaknya adalah suatu hobi, bukan pekerjaan. Dengan kata lain bapaknya menganggap Selena tetaplah seorang pengangguran yang menyedihkan. Setiap orang yang menanyakan kabar keempat saudaranya selalu dijawab bapaknya dengan suara yang lantang dan penuh antusias.
            “Bagaimana kabar Adi?”
            “Ah dia sedang meneruskan S2-nya di Perancis”
            “Nayla sudah melahirkan?”
            “Iya, sepasang bayi kembar lucu dan montok. Mereka baru saja beli rumah baru.”
            “Ando sudah selesai ambil spesialis?”
            “Ya, baru saja. Sekarang jadi direktur rumah sakit.”
            “Dedi?”
            “Dia sibuk menerbangkan pesawatnya.”
            Semuanya selalu berujung pada nada kepuasan. Namun saat tiba giliran Selena, bapaknya menjawabnya dengan suara tertahan tanpa membumbui jawabannya dengan cerita-cerita lain yang menyilaukan. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah pengalihan perhatian agar mereka tak lagi bertanya tentang Selena yang malang.
            Satu-satunya yang mengerti Selena adalah Nawitri, sahabat yang selalu menemaninya dalam suka dan duka semenjak mereka SMP. Selena menganggap Nawitri adalah seorang saudara perempuan terbaik dalam hidupnya seandainya mereka sekandung. Bahu Nawitri selalu tersedia untuk Selena. Baginya Selena adalah seseorang yang selalu nampak di matanya entah dalam kondisi membahagiakan atau memprihatinkan. Selama ini Nawitri selalu mendukung apa yang ingin Selena lakukan. Kadang Selena berpikir bahwa Nawitri adalah alasan terpenting untuk membuat dirinya kuat selama ini.
            Apesnya hidup Selena tak juga menguntungkan posisinya sebagai orang yang tidak menonjol. Kisah hidupnya menyeretnya menjadi semakin tak tampak di mata keluarganya. Dia tak ada, sosoknya hanyalah semacam formalitas dari suatu esksistensi- konsekuensi dari sembilan bulan dia dikandung dan dilahirkan. Namun suaranya tak pernah didengar, suara langkah kakinya seperti suara angin yang tidak penting. Selena hanyalah bayangan yang bersembunyi pada bayangan. Gelap. Tak ada cahaya yang bisa menembusnya. Dia hanyalah debu yang beterbangan di aspal yang panas.
            Selena menikah dengan orang yang salah. Seseorang yang menurut ayahnya sangat mengecewakan. Mereka berbeda keyakinan dan ini dianggap bapaknya sebagai kesalahan besar. Semula Selena mengira pilihannya ini tidak berpengaruh pada keluarganya yang tak pernah memandangnya sebagai bagian dari mereka. Dia mengira tak ada yang peduli. Tapi Selena salah. Tiba-tiba saja semua mata memandangnya. Pilihannya yang dianggap salah itu langsung menarik perhatian. Dia merasa disorot paksa dengan lampu panggung yang menyilaukan. Tiba-tiba dia menjadi kelihatan meski tetap saja tak didengar. Semua jari menuding dirinya. Semua mata melotot padanya.
“Memilih suami saja tidak becus.” Seru ayahnya saat itu.
“Pernikahan beda agama itu sama saja dengan berzina. Kenapa kamu tidak bisa mencontoh saudara-saudaramu? Apa laki-laki itu cuma si Bramanto saja? Pekerjaannya saja tidak jelas. Yang kaya itu bapaknya bukan dia. Memangnya bapaknya mau ngurusi kalian berdua? Lalu kalau kamu punya anak mau dikasih makan apa? Puisi? Kanvas?”
Dan semuanya makin parah saat apa yang mereka tuduhkan menjadi kenyataan. Pernikahan mereka tidak semulus yang diinginkan Selena. Bramanto adalah seorang pelukis angin-anginan. Dia hanya melukis tergantung mood padahal jarang sekali dia mendapatkannya. Dia lebih suka keluar rumah, nongkrong di warung kopi atau galeri temannya. Saat Selena melahirkan pun Bramano tidak menemani. Kehidupan ekonomi mereka bertambah parah saat Selena hampir tidak punya waktu untuk menulis karena harus mengurusi anaknya yang baru saja lahir. Sementara itu Bramanto masih tetap bersantai dengan kebiasaan lama. Dia menjadi lebih sering keluar rumah dengan alasan tidak bisa melukis karena terganggu suara tangisan anaknya. Diam-diam Nawitri sering memberi Selena uang untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Saat anak Selena sudah bisa ditinggal menulis, Selena mulai bisa memperbaiki ekonomi mereka meski masih sangat pas-pasan. Suaminya tak pernah menghasilkan sesuatu dan keluarganya sepertinya tidak peduli dengan rumah tangga mereka. Selena mencoba bertahan namun tak bisa. Dia mengajukan tuntutan perceraian. Walaupun perceraian itu tidak ada kaitannya dengan masalah beda agama namun bapaknya tetap saja menuduhnya begitu.
Bramanto yang semula bersantai-santai dengan kesenangan dan kemalasannya tiba-tiba tersentak saat mendapatkan surat panggilan dari pengadilan. Dia merasa disodok dari belakang, ego laki-lakinya berontak. Tiba-tiba saja dia menjadi rukun dengan bapaknya yang kaya itu. Mereka sepertinya merencanakan pelajaran buat Selena yang telah berani berontak. Akhirnya mereka bercerai dan mantan suaminya berhasil mengambil hak asuh perwalian anaknya yang baru berumur lima tahun dengan menggunakan uang dan kekuasaan bapaknya. Sebagai balas dendam atas perceraian itu mantan suaminya membatasi Selena untuk bertemu dengan anaknya. Selena terpuruk. Dia semakin terpuruk saat mendengar selentingan kabar bahwa anaknya hanya diasuh oleh baby sitter dan dikurung dalam rumah besar dengan dua satpam dan anjing penjaga.
Kembali dia menjadi kelihatan kembali di mata keluarganya, bukan untuk dihibur namun untuk dipersalahkan. Kalimat yang sering didengarnya adalah apa kubilang. Selena tak pernah memasukkannya dalam hati sebab hatinya terlanjur berkeping-keping semenjak dia kehilangan anaknya. Tak lama setelah perceraiannya Nawitri datang kepadanya untuk mengabarkan berita gembira sekaligus menyedihkan. Dia akan menikah dengan seorang laki-laki berkebangsaan Australia yang sudah dipacarinya selama tiga tahun. Nawitri meninggalkan Selena untuk mengikuti suaminya yang tugasnya sudah selesai di Indonesia. Mereka tinggal di Australia.
Selena berusaha bersikap bahwa semua akan baik-baik saja namun dia tak bisa mengelak bahwa Selena merasa sangat sendirian. Semua tiba-tiba tak lagi berwarna. Dia malas untuk melakukan apapun. Dia tak lagi menonton televisi, jalan pagi, pergi ke bioskop, membeli sayur, membaca buku, atau bahkan keluar rumah yang baru saja dikontraknya setelah peceraian. Rumah itu sangat kecil dengan satu kamar dan ruang tamu. Kalau mandi dia mesti antri di kamar mandi umum. Waktunya dihabiskan untuk duduk di tepi ranjang dan berdiam diri sembari melipat jari-jarinya yang diletakkan di pangkuan. Jika tidak dia akan chating sampai subuh di warnet depan rumahnya. Di dunia maya Selena bisa menjadi apa saja dan bisa menentukan alur ceritanya. Tak ada yang nyata dalam dunia chating. Ini adalah dunia tanpa peta dan ketidakpastian. Pelarian bagi Selena. Pengalihan perhatian saat Selena lelah menangis.
  
Suatu hari dia menemukan seorang laki-laki di dunia maya tak berujung itu. Seseorang yang terlalu jujur untuk bermain di dunia maya. Mereka akhirnya melanjutkan hubungan lewat telpon hingga bertemu darat. Selena menemukan kekasih impiannya, pangeran hati yang akan membuatnya bahagia. Semenjak menjalin hubungan dengan pangerannya Selena mempunyai banyak alasan untuk kembali menggairahkan hidupnya. Dia mulai menulis dan terus menulis. Namanya kian dikenal. Editornya makin senang dengan perubahan Selena. Tawaran untuk menulis bertambah banyak. Selena bisa menabung dari royalti yang dia peroleh.
Namun sebuah masalah klasik kembali menghantui Selena. Keyakinan mereka berbeda dan mereka belum bisa menentukan dengan cara apa mereka menikah nanti. Selena lelah dituding dan menjadi perhatian keluarganya. Dia ingin menjadi benar di mata keluarganya meski untuk beberapa saat. Sementara pangerannya juga ingin menyenangkan keluarganya. Selena kadang berpikir bahwa menikah itu tidak hanya menikahi pasangan namun juga menikahi keluarganya. Dan itu memang benar.
Mereka berpacaran sampai enam tahun dengan masih saling menunggu dan berpikir dengan cara apa mereka menikah. Mereka menunggu untuk tidak lagi menunggu. Pada keputusasaannya Selena akhirnya mengatakan pada kekasihnya untuk mencari wanita yang seiman meski Selena masih mencintainya. Di luar dugaan kekasihnya melakukan hal itu. Dia menemukan seorang wanita dalam perjalanan pulang naik kereta ke kampung halaman. Wanita itu kebetulan duduk di sebelahnya dan menarik perhatiannya. Pertanyaan pertama yang dilontarkan pangerannya kepada wanita itu adalah agamanya. Lalu mereka bercakap-cakap dan seakan-akan ilmu kimia sedang berpihak kepada mereka. Kekasihnya tak berpikir lama dan langsung melamar wanita itu. Mereka menikah dan Selena tak pernah diundang. Sekali lagi Selena dihujani kalimat apa kubilang dari seluruh keluarganya. Selena kembali terpuruk. Enam tahun dia menjalani harapannya hanya untuk memetik kesia-siaan.
Selena memutuskan pindah ke desa kecil dan mengontrak sebuah rumah di tengah sawah. Tetangganya yang paling dekat jaraknya 500 meter. Selena harus pergi ke kota kecil yang berjarak 25 km untuk membeli keperluan sehari-hari, bayar listrik, atau pulsa-meski pada kenyataannya dia tak pernah menelpon siapapun. Dia hidup dari royalti buku-buku lamanya yang masih laku terjual. Dia benar-benar seorang diri. Kadang dia berpikir bahwa rumah itu berada pada jalur daerah yang tidak dipetakan. Selena pun semakin mengabur dan gencar mempertanyakan keberadaannya pada dirinya sendiri. Hingga akhirnya dia membeli kursi malas itu untuk memikirkan rencana bunuh dirinya.
Dia memasang kursi itu di ruang depan di dekat jendela yang menghadap langsung ke sawah. Dia suka berayun-berayun di sana sembari memandang hamparan kuning yang mungkin minggu depan akan dipanen. Pikirannya melayang-layang. Dia merindukan anak, pangerannya, dan Nawitri. Saking rindunya dia jadi lupa memikirkan rencana bunuh dirinya. Di pangkuannya ada sebuah laptop untuk menulis pesan-pesan bunuh diri namun kenyataannya dia malah menulis tentang ketiga orang yang ada dalam hatinya. Tangannya menulis dengan cepat, seakan digerakkan oleh sesuatu yang kuat. Dia berkisah tentang hidupnya. Saat dia kelelahan dia meletakkan laptop di meja kecil sampingnya dan membiarkan tubuhnya terayun-ayun di kursi malas. Pikirannya mendengingkan pelan suatu niatan bahwa besok dia akan memikirkan rencana bunuh diri itu. Dia tertidur di kursi malas itu. Hal itu terjadi keesokan harinya dan terus berlanjut selama tiga bulan ke depan. Tulisannya telah mencapai halaman 250 dengan fond times new roman 12 satu spasi. Tanpa dia sadar kursi malas itu telah melenakan dirinya, menunda hasrat bunuh dirinya. Selena terkejut bahwa pesan bunuh dirinya demikian panjang. Dia membacanya lalu tergugu pelan. Sebuah kisah sedih yang berusaha untuk tidak cengeng. Selena kemudian beranjak dari kursi dan mencari hp. Dia menghubungkan kabel data dari hp ke laptop. Tak beberapa lama dia sudah konek dengan internet. Selena mengetik Selena_73 di sebuah kotak lalu menuliskan pasword di kotak bawahnya. Tak beberapa lama emailnya muncul. Ratusan pesan tak terbaca masuk di inbox. Sebagian besar adalah surat-surat dari fans, editor, dan Nawitri. Selena mendesah pelan. Dia segera mengklik bagian compose menulis pesan dan menyimpan tulisannya dalam attach file. Bagian akhirnya Selena menuliskan alamat email lalu mengirimkannya. Setelah selesai Selena segera mencopot kabel data dari hpnya dan men-dial sebuah nomer. Sebuah suara yang berat menyambutnya dari ujung sana.
“Selena? Sudah lama kamu tidak menghubungi aku.”
“Aku punya cerita Tom. Sudah kukirim ke emailmu.”
“Benarkah? Kebetulan aku sedang membuka internet, aku cek sekarang.” Terdengar suara tuts keyboard komputer di ujung telpon.
“Aku sudah menunggu debutmu lama Len. Aku mengira kamu tidak lagi menulis. Ini berita bagus. Aku kadang kewalahan menjawab fans-fansmu yang mempertanyakan kapan karyamu berikutnya akan terbit. Syukurlah Len.”
“Aku juga terkejut dengan apa yang kualami.”
“Aku baru saja membuka kiriman tulisanmu. Hmm...sepertinya kamu lupa memberinya judul.”
“Oh ya?”
“Apa judulnya Len?”
Selena terpekur. Dia mengedarkan pandangannya ke arah kursi goyang itu. Mengamatinya cukup lama. Dia baru sadar bahwa rencananya telah buyar. Seharusnya dia sudah mati sejak dia membeli kursi itu namun kenyataan berkata lain. Dia hanya bisa berencana namun ada sesuatu lebih besar yang menentukannya: kuasa Tuhan.
“Len?”
Lamunan Selena buyar.
“Ya Tom?”
“Judulnya...?”
“Pesan Bunuh Diri Selena.” Sahut Selena cepat.
“Menarik. Kamu menggunakan namamu sendiri. Tapi bukan berarti kamu akan bunuh diri kan?”
“Dulunya.” Jawab Selena lirih sekali.
“Apa Len?” rupanya Tom tak mendengarnya.
“Ah nggak. Bukan apa-apa.”
“Baik. Aku akan pelajari novel ini sekarang juga. Nanti aku kabari. Senang kamu kembali, Len.”
Selena menutup telpon. Matanya terasa panas. Bulir airmata menggantung di sudut mata. Dia berjalan menuju kursi goyang dan menjauhkan pandangannya ke luar. Selena baru sadar bahwa musim panen padi hampir dimulai kembali. Ini adalah panen ketiga semenjak Selena tinggal di desa ini. Satu hal yang disadari Selena bahwa ternyata dia lebih kuat mengarungi hidup daripada yang diduganya selama ini. Diam-diam Selena tersenyum di tengah tangisnya. Sore nanti dia berniat membalas email-email Nawitri yang sudah lama tak dibukanya. Untuk berbagi kehidupan.

Bantul, November 2007

2 komentar: