Selasa, 30 September 2014

TARIAN HUJAN (Bagian Kedua)




Keesokan paginya ibuku memberikan cadar kepada kami berdua supaya insiden senyum yang brutal itu tak terjadi lagi. Ibu takut para tetua desa memergoki kami seandainya kami tak bisa menahan diri. Mereka ini seperti hantu, muncul tiba-tiba pada saat tak terduga. Mereka juga selalu tahu segalanya. Sia-sia menyembunyikan apapun sebab mereka selalu bisa mengendusnya. Hidung mereka setajam penciuman anjing
dan mereka akan berkaok seribut gagak saat mengetahui satu kesalahan yang akan menghancurkan kehormatan desa ini. Kehormatan itu terletak pada senyum para lelaki, pada kesenangan, dan kebebasan mereka. Semua telah diambil oleh mereka dan tidak menyisakan apapun bagi kami anak perempuan.
Ibu-ibu di desa kami lebih bahagia jika memiliki anak laki-laki daripada anak perempuan. Memiliki anak perempuan seperti menjaga sebutir telur di atas paku. Para ibu harus yakin telur itu tetap pada tempatnya, tak boleh bergoyang sedikitpun apalagi terjatuh. Namun jika telur itu sudah terlanjur bergoyang biasanya para ibu lebih suka membiarkan telur jatuh dan pecah daripada berusaha menyelamatkan telur itu dengan risiko tangan terluka karena paku. Satu telur pecah akan membersihkan nama baik keluarga sementara telur yang bergoyang dan diselamatkan hanya akan mencoreng nama baik keluarga. Itu semua kata-kata ibuku. Moon Sikula selalu berusaha menahan tawa setiap ibu menceritakan tentang telur di atas paku. Baginya kata-kata ibu lelucon terhebat sepanjang masa. Setiap ibu bercerita Moon pasti masuk kamar dan menggigit selimut, hanya supaya dia tidak tertawa.
Moon Sikula lebih lincah daripada aku. Usia kami terpaut dua tahun namun Moon Sikula telah mengalahkan aku soal postur tubuh. Dia tinggi, lebih berisi, bermata coklat kekuningan, dan berkaki panjang. Sementara aku lebih pendek satu kepalan tangan darinya, mataku hitam legam, kulitku berwarna coklat tua, dan bagian atas tubuhku lebih panjang dari kakiku. Tubuhku kurus dan susah gemuk meski aku minum berliter-liter susu.
“Kak, tahukah kamu kenapa ibu memaksa kita memakai cadar?” tanya Moon Sikula padaku saat kami melepas lelah di hutan. Tak ada lengkung pelangi dan kami berdua saja di tengah hutan tepat di bawah pohon trembesi, itulah yang kami sebut dengan tempat rahasia.
“Supaya kecelakaan senyum itu tidak terjadi lagi,” jawabku sambil mencoret-coret seuatu di tanah dengan ranting kayu kering. Moon Sikula mengernyitkan matanya.
“Tidak sepenuhnya benar kakakku, Sangre Sikula. Ibu melakukannya agar kita tidak dilirik anak laki-laki. Saat mereka melirik kita sesungguhnya itulah yang akan membuat kita tersenyum. Itulah letak bahayanya. Terbenamnya wajahku ke dalam tai sapi hanyalah alasan bagi ibu supaya kita tak bertanya macam-macam kenapa kita harus memakai cadar. Lagipula jatuh ke dalam tai sapi tidak terlalu mengerikan. Aku bisa menyembunyikan senyumku dalam belepotan tai sapi itu. Sesungguhnya tai sapi lebih baik daripada sebuah cadar,” katanya tanpa bernapas. Seakan dia baru saja puasa bicara dan meluapkan seluruh kata hatinya ketika berbuka.”Kita berbohong setiap hari, sadarkah kamu, Kak?”
Tubuhku mengaku. Mataku jelalatan kesana kemari, memastikan tak ada orang lain di hutan ini. Aku tak menyangka Moon Sikula akan mengatakan sesuatu yang pasti membuat kegilaan di desa kami.
“Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu?”
“Tak ada.”
“Kamu bohong.”
Moon menatapku pasrah. Dia takkan pernah bisa bohong padaku.
“Jaelani,” bisiknya.
“Apa yang dikatakannya?”
“Banyak hal.”
“Misalnya?”
“Misalnya menari takkan membuat langit runtuh.”
“Kamu tak ingat kejadian langit jatuh itu?”
Moon Sikula menggigit bibirnya. Dia sedang menghalau tawa.
“Apa-apaan ini? Kamu sembunyikan apa lagi Moon?”
“Langit takkan runtuh hanya karena kita menari. Percayalah.”
Sepertinya Moon Sikula tak berniat membicarakannya. Aku jadi geregetan.
“Moon Sikula binti Bawar Kasun ceritakan padaku sekarang apa yang kamu tahu,” kataku dengan nada tegas. Biasanya Moon akan menurut jika aku sudah memasang nada demikian. Moon menatapku lalu memalingkan muka. Sepertinya dia mati-matian menahan tawa.
“Moon,” ucapku dengan nada lebih tinggi.
“Baik…baik… jangan marah. Aku akan menceritakannya.”
Moon menjulurkan kakinya dan menyandarkan punggungnya pada batang trembesi yang melekuk-lekuk. Aku duduk di hadapannya dan mendekatkan telingaku padanya. Dia pasti akan menceritakannya dengan lirih jadi aku harus mendengar lebih baik.
“Sesungguhnya apa yang kita lihat itu adalah kapas Bu Mariyam yang diempas angin lalu terbang sampai ke hutan.”
“Moon! Aku tidak suka kamu berbohong. Bu Mariyam terkenal sangat hati-hati dengan kapasnya. Dia selalu meletakkan kapas-kapas itu di gudangnya. Bagaimana mungkin diterbangkan angin. Dia bilang kapasnya dicuri orang bukannya diterbangkan angin.”
“Dua-duanya benar. Kapasnya memang dicuri dan pencurinya menerbangkannya saat angin berembus kencang.”
“Orang gila mana yang melakukan hal itu.”
“Orang gila seperti Jaelani.”
“Apa?” Aku nyaris terpekik namun Moon segera menyumpal mulutku dengan tangannya.
“Jangan ribut. Ini rahasia.”
“Kapan kamu bertemu Jaelani?”
“Sering kok.”
“Kenapa aku tak pernah tahu? Bukannya kita selalu bersama.”
“Ketemunya bukan yang begituan. Kakak kan tahu aku paham bahasa gagak. Jaelani mengajakku ngobrol dengan bahasa gagak. Dia pintar sekali. Dan aku mengerti semua yang dia ucapkan.”
“Kamu pasti mabuk susu. Ibu terlalu banyak mencekokimu dengan susu,” desisku. Di desa kami seorang gadis dianggap cantik jika tubuhnya berisi. Lebih gemuk lebih baik. Sementara kami yang kurus ini selalu membuat khawatir ibu. Dia pikir kami pastilah susah jodoh. Itulah alasan ibuku menyuruh kami minum susu berliter-liter setiap hari. Hari ini Moon minum dua kendi. Pasti itu sebabnya dia ngelantur.
“Aku serius Kak. Kalau tak percaya aku bisa berbicara dengan Jaelani dari sini.”
Moon segera berdiri dan memanjat pohon. Baju panjangnya berjerambai di antara ranting-ranting. Saat berada di atas dia mencopot cadar dan mengeluarkan suara-suara gagak yang ribut. Aku menggigil jeri. Tak lama kemudian hening. Tak ada jawaban apapun.
“Turunlah!” seruku. Moon menoleh ke bawah lalu menyuruhku diam. Dari arah utara kudengar suara kaok yang tipis.
“Itu Jaelani. Katanya dia baru memberi minum sapinya di sumber Sebutir Mata Tuhan.”
“Ya sudah. Turunlah. Aku percaya kok,” kataku berusaha membujuknya untuk turun.
“Dia mau kemari,” kata Moon sambil tersenyum. Ya ampun bagaimana dia bisa tersenyum sebesar itu. Apa yang merasukinya?
“Cepat turun. Kamu tak sadar kamu sedang tersenyum?”
“Tak apa. Tak ada yang melihat kita di sini. Jaelani sudah dekat. Dia membawa sesuatu untuk kita.”
“Hentikan ceracauanmu Moon. Kita pulang sekarang,” bentakku.
“Lihat dia sudah datang.” Moon menunjuk sebuah arah dan aku mengikutinya. Di sana aku melihat Jaelani berdiri dengan mengacungkan sebuah kotak yang memendarkan cahaya. Mulutku terbuka. Mataku membelalak.
“Moon pasang cadarmu!” perintahku.
***
Tiga hari berikutnya Moon tak bisa tidur. Dia gelisah bukan karena pertemuan dengan Jaelani di hutan. Dia memikirkan kotak cahaya itu sampai jauh dalam tidurnya. Kupikir ada hantu perayu yang bersemayam di dalam kotak itu dan telah mencengkeram seluruh tulang-tulang Moon. Buktinya dia tidur dengan mengentakkan kaki dan tangan. Kotak cahaya itu betul-betul meracuninya. Mungkin aku harus mencari daun mondokaki untuk menawarkan racun itu.
Pagi itu aku pergi ke hutan tanpa Moon. Aku mencari daun mondokaki untuk membuat ramuan anti racun. Aku tak menyangka antara Jaelani dan Moon terhubung suatu komunikasi yang unik. Jaelani anak seorang tabib di desa kami. Seorang tabib modern yang pernah mengenyam pendidikan di kota. Kakeknya dulu juga seorang tabib terkenal dan pandai berkomunikasi dengan bahasa binatang. Seperti Nabi Sulaiman layaknya. Jaelani diajari oleh kakeknya dan Jaelani sangat fasih berbahasa gagak. Sementara kemampuan Moon adalah bakat alami. Tak ada seorangpun yang mengajarinya. Dia hanya suka mendengar gagak dan menurutnya gagak-gagak itu yang mengajarinya.
Jaelani dibelikan kotak cahaya itu oleh ayahnya yang sering ke kota untuk membeli keperluan obat-obatan. Ayahnya tak lagi menumbuk daun herbal seperti kakeknya dulu. Dia lebih suka obat-obat yang sudah jadi dan banyak dijual di kota. Kotak cahaya itu bernama HP. Dari sanalah dia tahu banyak hal dan menceritakannya pada kami. Tentang youtube, tentang Harlem Shake, tentang facebook, tentang burung yang lebih ajaib daripada gagak bernama twitter. Dia berkotbah seharian dan memaksa kami mencerna semuanya itu dengan cepat. Moon lebih cepat mencernanya daripadaku hingga dia membiarkan hantu yang bercokol di kotak cahaya itu mencengkeramnya. Tak bisa kulupa bagaimana dia membelalakkan mata saat Jaelani mengeluarkan suara musik tradisional desa kami. Kulihat tangannya langsung tegang. Moon sudah jatuh cinta dengan kotak cahaya itu. Sementara Jaelani? Ah, dia hanya suka ditemani menari. Seperti laki-laki dewasa di desa ini yang suka menari dengan ditemani tuak, anggur, dan candu.
Langkahku hati-hati saat melewati jalan setapak yang becek. Di sana sudah ada gerombolan tanaman mondokaki yang menungguku. Bunga-bunganya yang seputih susu bermekaran dengan indah. Segera kupetik daunnya dan kumasukkan dalam saku bajuku.
“Siapa yang tersengat kalajengking?” sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh. Di sana Tumper Kasun berdiri. Kali ini tanpa cambuk kebesarannya. Dia sudah punya mainan baru yang lebih mengerikan. Sebuah senapan laras panjang yang dibelikan ayah untuknya. Semua petugas keamanan desa memiliki senapan. Mereka sekarang tak lebih seperti gerombolan perampok. Aku muak melihat rasa bangga yang bergelayut di wajah mereka saat lewat di jalan-jalan desa.
“Tak ada,” sahutku. Aku buru-buru memasukkan daun terakhir ke saku dan hendak pergi. Tumper Kasun menghadang langkahku. Aku menunduk. Bukan tak berani menatap matanya. Aku hanya tak ingin dia menyakitiku lagi.
“Lalu mau kamu apakan daun-daun itu?”
“Hanya untuk main-main.”
“Kamu terlalu besar untuk main-main dengan daun-daun mondokaki.”
“Bukannya lebih menguntungkan bagimu? Aku hanya memainkan mainan anak kecil. Jadi tak perlu kamu mengawasiku terlalu keras. Aku sudah meringankan pekerjaanmu.”
Tumper Kasun tertawa.
”Kamu tak ingin tumbuh rupanya?”
“Jika tumbuh dewasa hanya menyusahkanku lalu untuk apa menjadi dewasa?”
“Sayang sekali. Padahal akan ada banyak laki-laki yang senang jika kamu tumbuh dewasa.”
Aku segera mengambil ancang-ancang untuk pergi. Kucium samar bau tuak di mulutnya. Dia pasti mabuk semalam. Tiba-tiba dia mencekal tanganku. Aku terpaksa menantang matanya.
“Salah satunya aku,” katanya. Perutku langsung mual. Kukibaskan tangannya. Jangan dia kira dia kakak tiriku lalu dia bisa memegangku dengan leluasa. Aku mendengus kesal dan berlari cepat. Bisa kudengar suara tawanya yang mengejek. Dia pasti kegirangan karena telah menakutiku. Dia memang berhasil. Sampai rumahpun lututku masih bergetar hebat. Moon yang sedang menenggak susu sekendi menatapku heran.
“Dari mana Kak?”
“Dari hutan.”
“Tanpaku?”
“Aku mencari daun mondokaki.”
“Untuk siapa?”
“Untuk siapa lagi? Tentu saja untuk kamu. Sikapmu persis saat kamu tersengat kalajengking. Mengigau, meracau, dan blingsatan saat tidur.”
“Tapi aku tak tersengat kalajengking.”
“Memang bukan kalajengking tapi kotak cahaya itu. Lagu-lagu di dalamnya sudah menyengatmu.”
Moon menatapku. Ibu datang dengan membawa kendi susu untukku lalu meletakkan di mejaku. Kami tak berani bicara lagi. Dari jauh kudengar suara gagak. Tubuh Moon menegang. Saat ibu masuk ke dapur lagi aku berbisik
“Apa yang dikatakan Jaelani padamu barusan?”
Moon hanya terdiam dan menghabiskan susunya dengan lambat-lambat.

Cerber ini dimuat di majalah Femina edisi 37 20-26 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar