Rabu, 24 September 2014

TARIAN HUJAN (bagian pertama)



Oleh Ruwi Meita
           
Namaku Sangre Sikula. Aku tinggal di sebuah desa yang melarang anak perempuan sepertiku menari atau tersenyum. Tak perlu kalian tahu dimana desaku berada. Lagipula kalian takkan mau tinggal di desaku selama kalian masih suka berseluncur di internet, bebas mengabadikan tulisan seliar apapun, menari ala Harlem Shake, atau mungkin sekedar berfoto di sebuah pantai berpasir putih saat sunset berhasil mengembangkan senyum kalian. Semua itu tak bisa kalian lakukan di sini jadi aku bisa dengan yakin berkata jika kalian takkan mungkin mau tinggal di tempat yang melarang kalian untuk melakukan semua hal yang kalian suka.
Tetapi aku tinggal di sini dan aku menyukainya sebab hanya tempat ini yang kukenal sejak aku lahir. Ada beberapa hal yang membuatku bahagia di sini meski aku selalu menelan kebahagiaan itu dalam wajah yang selalu serius dan dingin. Adat, norma, agama dan budaya memasung kami dengan pembenaran-pembenaran. Kebenaran yang membelenggu hanya ada di tanah kami. Kemerdekaan hanya noktah tak berarti. Dia hanya kawan sunyi yang ditiupkan angin pegunungan. Sebuah pegunungan yang menjadi rahim batu-batu emas selama ribuan tahun.
Sejak kecil aku memahami kemerdekaan sebagai setetes embun di rerumputan yang selalu menghilang saat matahari bersinar. Meskipun kemerdekaan datang setiap pagi namun dia tak lagi bernama kemerdekaan saat siang menjelang. Selama ada matahari maka kami anak perempuan harus bersikap seperti batu. Diam. Bisu. Aku sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Tempat ini pasti akan menjadi tempat yang lebih baik jika seseorang membunuh matahari. Tapi siapa yang bisa?
Aku tahu matahari tak selamanya bertengger di langit. Dia selalu bergulir ke bagian dunia yang lain. Terang di sana, gelap di sini. Aku bisa saja tersenyum atau menari dalam kegelapan dan tak perlu khawatir jika mereka melihatku. Namun binatang malam punya mata yang bisa menembus gelap dan burung hantu suka berkabar. Menjadi batu di dalam kegelapan adalah pilihan paling bijaksana jika tak ingin merasakan rasa sakit luar biasa.
Jika kalian masih penasaran dimana aku tinggal sebut saja desaku dengan Tarian Hujan. Aku suka menamai segala hal dengan imajinasiku sendiri. Desa Tarian Hujan berada di pinggir hutan dengan hujan yang kadang-kadang turun di musim panas. Ada sebuah mata air di dekatnya. Bentuknya seperti sumur besar. Airnya bening dengan dasar biru. Aku bisa turun ke dalam sumber mata air itu sebab ada tangga yang terjulur ke bawah dan berakhir pada sebuah papan kayu yang mirip dermaga kecil. Aku dan adikku Moon Sikula senang duduk-duduk di dermaga kecil itu sembari memerhatikan air tanah yang merembes turun dari pinggir dinding sumber di atas kami. Jika tidak ada orang, kami melepas kasut dan menjulurkannya ke bawah hingga jempol kaki kami menyentuh permukaan air.
Moon Sikula adalah adik sekaligus sahabat baikku. Kami tak pernah bertengkar namun juga tak pernah bergurau. Gurauan bisa membuat kami tersenyum bahkan tertawa. Kami tak berani membayangkan akibatnya jika kami melakukannya. Bisa-bisa Tumper Kasun, kakak tiri kami akan mencambuki kami habis-habisan. Anak sulung dari istri pertama ayah kami itu sangat memuja cambuk panjang berwarna merah dengan manik-manik kecil yang dipasang di ujungnya. Maniknya memang indah namun jika menyentak kulit rasanya panas dan perih. Aku pernah merasakannya gara-gara tak sengaja melihat teman laki-lakiku, Jaelani, lewat di depan rumah kami. Katanya aku bisa jadi perempuan nakal jika mataku terbiasa melihat laki-laki. Kelihatannya Tumper Kasun mendidikku namun aku tahu dia hanya ingin melecutkan cambuk itu. Matanya selalu bersinar dan senyumnya terselip setiap dia menyakiti orang.
Ketika umurku 13 tahun, Moon Sikula pernah menanyakan apa mimpi terbesarku dan aku menjawab kalau aku ingin menjadi badut. Moon Sikula hanya melengos kala itu. Dia tak bermaksud mengejek mimpiku. Melengos adalah salah satu caranya untuk menahan senyum atau tawa.
“Bagaimana kamu bisa jadi badut jika kamu tidak boleh tersenyum? Seorang badut akan terlihat jelek jika dia tidak tersenyum.” Di desa Tarian Hujan tidak pernah ada badut. Kami berdua pertama kali melihat badut di buku cerita anak di sekolah. Itupun kami baca sembunyi-sembunyi saat Bu Fayedra Limai mengunci kami di dalam kelas dan meninggalkan beberapa buku untuk kami baca. Bu Fayedra Limai adalah guru perempuan satu-satunya di desa kami. Dia mengunci kami bukan karena menghukum kami namun untuk melindungi kami agar tak seorangpun tahu kami telah membaca buku-buku itu.
Oh ya, aku lupa selain menari dan tersenyum anak perempuan juga tidak boleh membaca buku banyak-banyak. Para tetua sudah menentukan buku apa yang boleh kami baca dan sayangnya pilihan mereka sangat buruk sekali. Buku-buku bagus bukanlah bagian kami. Karena ibuku tidak berkata apa-apa soal membaca buku maka kami berdua terus melakukannya secara diam-diam, tentunya dengan bantuan Bu Fayedra Limai.
Sementara itu Moon Sikula mempunyai mimpi yang tak kalah mustahil dariku yaitu ingin menjadi penari. Aku selalu berkata padanya untuk mengganti mimpinya namun dia tetap saja melanturkan keinginan itu seperti igauan saat dia sedang demam tinggi. Bagaimana mungkin dia bisa menjadi penari jika menari saja dilarang di desa Tarian Hujan.
Kata ibuku, kaki-kaki anak perempuan yang menari bisa meledakkan langit dan melenyapkan senyum para tetua desa. Soal langit bisa meledak aku bisa memercayainya. Aku pernah melihat awan jatuh di tengah hutan saat aku dan Moon Sikula, adik perempuanku sedang mengambil air. Aku ketakutan setengah mati karena waktu itu aku memang sengaja menggoyang-goyangkan jempol kakiku.  Aku tak tahan sebab gemericik air dari atas tanah di sumber air itu membuatku ingin menggerakkan badanku. Tentu saja aku tidak berani menari, fatal akibatnya jika aku tak bisa menahan diri.
Badanku tersiksa semua gara-gara menahan diri cukup lama. Jadi aku memutuskan untuk menggoyang-goyangkan jari kaki yang tersembunyi pada kasutku yang rapat. Pada saat itulah aku melihat gumpalan putih melayang dan lesap di tengah hutan. Aku yakin itu sebuah awan. Moon Sikula juga melihatnya. Dia juga beranggapan awan telah jatuh sebab diam-diam dia mengembangkempiskan lubang hidungnya karena mendengar burung gagak berkaok-kaok. Aku tak berani mengingat-ingat kejadian itu lagi. Jika jempol yang bergoyang atau hidung yang kembang kempis  bisa menjatuhkan awan lalu bagaimana dengan seluruh tubuh yang bergerak dan menari?
“Mimpiku dan mimpimu itu mustahil,” kata Moon Sikula.
“Lebih baik punya mimpi yang mustahil daripada tidak punya mimpi sama sekali,” kataku kepada Moon Sikula. Sejak saat itu kami tidak pernah membicarakan mimpi mustahil kami sampai sekarang saat umurku sudah beranjak 17 tahun.
***
Tak ada yang menyangka jika hari di saat matahari menopangkan wajahnya pada pelangi kusebut sebagai insiden senyum yang brutal. Selepas hujan, ibu menyuruh kami mencari air sebab dia akan memasak untuk ayah yang akan bertandang di rumah kami. Biasanya ayah lebih banyak menghabiskan harinya di rumah istri pertama yang letaknya hanya selisih satu rumah dengan kami. Ibuku adalah istri kedua sedangkan rumah yang memisahkan rumah istri pertama dengan rumah kami adalah rumah istri ketiga.
Sudah berbulan-bulan ayah tidak bertandang sebab dia sedang sibuk dengan istri ketiga yang baru dinikahinya enam bulan yang lalu. Istri ketiganya adalah teman sekolahku. Bagaimanapun ayahku adalah orang terhormat di desa kami. Semua perempuan di desa kami takkan menolak jika ayah memperistri mereka. Apalagi ayah kami ada penguasa separuh pegunungan yang penuh emas itu.
Aku dan Moon Sikula menyunggi kendi di kepala kami. Sungguh bersyukur kendi itu menghalangi pandangan kami untuk tak tengadah ke langit. Pelangi seperti busur yang lengkung di sana. Aku takkan bisa bertahan untuk tidak tersenyum jika memandang pelangi. Begitu pula dengan Moon Sikula. Sejak tadi kulihat dia gelisah. Pemandangan indah ditambah suara gagak di kejauhan sungguh merayunya untuk menggerakkan badan. Sejak kecil dia percaya jika dia mengerti bahasa gagak. Saat ini gagak-gagak itu sedang menyanyi. Dalam kaokannya yang parau Moon mendengarnya sebagai untaian lagu. Dia menggigit bibirnya berusaha mencegah dendang di hatinya keluar dari mulutnya.
Soal menari aku lebih bisa menahan diri daripada Moon Sikula tapi soal senyum Moon Sikula lebih jago menahan diri daripada aku.  Kata ibuku senyum anak perempuan akan mengeringkan sumber mata air. Untuk yang satu itu tentu saja membuatku takut setengah mati sebab kami hanya punya satu sumber mata air di desa kami dan semua orang menumpukan kebutuhan hidup di sumber mata air itu. Kami sebenarnya punya sumur di rumah namun airnya jelek. Tambang emas itu sudah meracuni sumur-sumur kami. Air sumur hanya kami gunakan untuk mandi dan mencuci baju serta perkakas dapur. Air di sumber mata air kami gunakan untuk memasak dan minum. Jika sumber mata air itu kering lalu bagaimana kami bisa hidup? Bagaimana ternak-ternak kami bisa minum? Apapun kulakukan agar aku tak tersenyum supaya mata air itu tidak kering.
Bagaimanapun kebahagiaanku terletak pada sumber mata air yang selalu membuatku dan Moon Sikula tenang. Tak ada yang bisa menandingi sumber mata air di desa Tarian Hujan. Lubang mata air itu mirip lubang mata. Bagian tengah airnya berwarna biru gelap dan nyaris bundar sementara di sekeliling bagian biru gelap itu berwarna biru lembut, lebih terang. Aku dan Moon Sikula berandai-andai jika dilihat dari atas sumber mata air ini pastilah mirip sebiji mata. Dan karena saking indahnya maka kami menamainya Sebutir Mata Tuhan.
“Tahanlah Moon,” bisikku.
“Kamu memerintahku atau dirimu sendiri?” kata Moon.
“Apa bedanya?”
“Ya apa bedanya?”
“Jangan kamu gigit bibirmu seperti itu. Kamu bisa sariawan.”
“Lebih baik begitu. Biar aku tak bisa senyum.”
Moon Sikula turun ke bawah sumber air dan mulai mengisi kendinya. Aku mengikutinya dari belakang dengan berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat pelangi. Aku ini sebenarnya orang yang mudah tersenyum dan semua ini lebih mirip hukuman bagiku. Sangat berat. Hal sekecil apapun justru malah menggelitik bibirku untuk mengembang tanpa kusadari. Tebaran embun di rumput kala pagi menjelang bisa membuatku tersenyum atau ujung pelangi yang menghunjam Sebutir Mata Tuhan. Kadang keindahan lebih bisa membuatku tersenyum dari lelucon paling konyol sekalipun. Itulah sebabnya aku selalu berjalan sambil menutup mata saat melintasi padang rumput dan berjalan mundur ketika mengambil air saat pelangi melengkung.
Kami baik-baik saja saat berada di sumber air. Paling tidak kami bisa mempertahankan wajah dingin kami. Di sumber mata air itu ada beberapa orang yang juga mengambil air dan aku bisa melihat mereka sesekali mencuri pandang ke arah pelangi. Siapa yang tidak tergoda dengan keindahan di depan mata itu?
Aku menyenggol siku Moon dan dia tahu jika itu tanda supaya kami cepat-cepat pergi. Aku tadi sempat melihat kelebatan kakak tiri kami Tumper Kasun yang lewat di atas sumber. Aku muak dengan kakak kami itu. Umurnya sudah 25 tahun namun kelakuannya seperti anak umur lima tahun. Suka merengek dan memukul. Aku tak habis pikir kenapa ayah melimpahkan keamanan desa kepadanya?
Kami melewati Tumper Kasun yang sedang memberi minum kudanya tanpa tegur sapa. Dia melirikku dengan tatapan yang tajam. Aku tak terlalu ambil pusing dengan sikapnya. Dia memang selalu membenci kami. Mungkin karena ibuku istri kedua dan kami adalah anak-anak ayahnya. Tapi kenapa dia harus membenci kami toh warisan ayah akan jatuh ke tangannya. Dia anak laki-laki dari istri pertama. Takkan ada yang merebut tahtanya. Apalah daya anak-anak perempuan seperti kami?
Langkah kami semakin cepat. Pada saat kami hendak membelok ke arah jalan masuk rumah. Aku melihat Jaelani sedang menggerak-gerakkan badannya. Di telinganya tersumpal sesuatu. Aku takjub melihatnya. Moon Sikula hendak melihat juga namun terhalang tubuhku. Moon tak melihat ada batu di depannya. Dia jatuh terjerembab dan wajahnya terbenam pada bubur warna hijau dan bau.
Aku menoleh. Perutku sampai menegang dan rasanya sungguh sakit. Kram hebat. Aku memang berhasil tidak tertawa namun aku tak mampu menghalangi bibirku untuk tersenyum. Hanya sedikit saja. Tipis. Mungkin aku lebih terlihat seperti menyeringai. Campuran antara geli dan kesakitan. Meski begitu sensansi untuk tersenyum menanduk-nanduk di bibirku. Jika kubiarkan bisa-bisa aku tertawa ngakak. Cepat-cepat kugigit bibirku sampai berdarah agar aku bisa menghalau senyumku. Untung tak ada yang melihat kejadian itu kecuali ibuku.
“Ya ampun! Kenapa kalian lama sekali? Ayah kalian sebentar lagi datang. Cepat masuk rumah!”

(Cerita bersambung ini dimuat di majalah Femina edisi 36 13 September 2014) 

5 komentar:

  1. wow! ide ceritanya kereeennn...
    desa tarian hujaaan, cita2 jadi badut, larangan dan adat yang ... hummm... saya tak mau tinggal di sana :)

    BalasHapus
  2. diksinya indah. terpesona saat membacxanya. ditunggu kelanjutannya

    BalasHapus
  3. Terimakasih semuanya. Bagian keduanya sudah ada lho

    BalasHapus
  4. keren, bikin saya penasaran dengan akhir ceritanya :)

    BalasHapus