Jumat, 05 Desember 2014

Rasa Kehidupan


Setiap hari Sabtu Gladys dan Dien akan menghabiskan sepanjang sore untuk mengobrol. Kadang mereka pergi ke taman, kadang ke toko buku, kadang hanya duduk-duduk di teras rumah Dien yang asri. Sore itu saat hawa panas tidak bisa diusir hanya dengan mengipasi diri mereka dengan majalah remaja, mereka memutuskan untuk pergi ke Kafe Gold. Sebenarnya kafe itu sangat nyaman. Ada book corner dengan koleksi lengkap, desain interior serba emas dengan nuansa bunga matahari di sana sini. Kafe itu berkesan hangat meski di dalamnya terasa sejuk.
Hanya saja minuman dan makanan di kafe itu tergolong mahal. Tadinya Gladys hendak menolak ajakan Dien tapi setelah Dien memastikan dia yang akan membayar, Glady menurut.
Gladys melirik minuman pesanan Dien. Segelas air jeruk nipis tanpa gula dengan hiasan potongan stroberi di pinggir gelas. Betapa Dien, sahabat karibnya itu sangat suka minuman berasa asam. Gladys sebaliknya, dia suka manis. Segelas milkshake rasa cokelat dengan taburan chocho chip sudah terhidang di depannya, bersanding dengan es jeruk nipis tanpa gula. Sungguh pemandangan yang bertolak belakang. Sama halnya dengan nasib Gladys dan Dien.
            Gladys adalah anak dari keluarga sederhana. Untuk membeli segelas milkshake cokelat di kafe ini dia harus menyisihkan uang jajannya selama beberapa hari. Sementara Dien takkan bakalan pusing membeli apa saja di kafe ini dengan uang jajannya yang selalu berlebih. Dien adalah anak keluarga kaya. Uang jajannya dalam sehari sama dengan uang jajan Gladys selama seminggu. Nongkrong di kafe untuk anak elit seperti ini bagi Gladys adalah hal yang istimewa meski dia harus menabung dulu untuk membeli minuman.
            Namun hari ini Gladys boleh berlega hati sebab Dien menraktirnya. Gladys bisa menyimpan uangnya namun tetap bisa nongkrong bersama Dien.
            “Kita ini terbalik ya Dien,” desah Gladys sembari menyedot minumannya.
            “Terbalik apanya? Perasaan  kaki kita masih di bawah.”
            Gladys tersenyum. Dia menunjuk dua gelas minuman berbeda pesanan mereka.
            “Asam dan manis.”
            “Ah, itu karena selera kita yang berbeda.”
            “Bukan soal selera.”
            “Lalu apa?”
            “Alam bawah sadar kita yang berbicara.”
            “Heh?” Dien mengerutkan dahinya.
            “Begini, aku sudah terbiasa hidup berkekurangan. Setiap hari harus ngirit. Makan seadanya. Lauknya itu itu saja. Tidak pernah ada yang istimewa. Milkshake ini adalah keinginan bawah sadarku. Bahwa sepanjang hidupku yang selalu berkekurangan dan terasa pahit aku membutuhkan sesuatu yang manis.”
            Dien tersenyum. Kerutan di dahinya memudar. Sepertinya dia mulai mengerti arah pembicaraan Gladys.
            “Ah, jadi karena aku serba berkecukupan. Apa yang kuinginkan selalu kudapat maka alam bawah sadarku membutuhkan sesuatu yang asam. Itu sebabnya aku menyukai minuman asam. Begitu?” kata Dien penuh semangat.
            “Yah, semacam itu.”
            Dien tertawa terbahak-bahak. Gladys hanya mengedikkan bahunya.
            “Ada-ada saja.”
            Dien meneguk es jeruk nipisnya, mengambil potongan stroberi penghias  gelasnya lalu memasukkannya di mulut.
            “Kenapa kamu memilih stroberi sebagai penghias gelasmu? Seharusnya kan potongan jeruk nipis juga.”
            “Sebab ada macam-macam rasa asam di dunia ini. Asamnya jeruk nipis tidak sama dengan asamnya stroberi.”
            “Lalu?”
            “Setiap masalah punya tingkatan yang berbeda. Seperti halnya rasa asam juga punya level yang berbeda. Jeruk nipis ini lebih asam dari stroberi tadi. Saat aku meminum habis es jeruk lalu memakan stroberi, aku sudah tidak merasakan asamnya stroberi. Yang ada di mulutku masih rasa asam jeruk nipis.”
            Gladys mendesah,”Ah, ternyata kamu lebih berbelit daripada aku.”
            Dien tersenyum, “Intinya jika kamu bisa melampaui masalah yang besar maka masalah-masalah kecil tidak akan terasa lagi bagimu.”
            Gladys memandang Dien tanpa kedip. Ya, Dien benar. Tak lama kemudian seorang pelayan membawakan makanan untuk mereka. Dien meminta segelas air putih sebab es jeruk nipisnya sudah habis. Pelayan mengangguk dan berlalu. Tiba-tiba Gladys tertawa. Dien menoleh dengan tatapan bertanya. Gladys menunjuk dua piring spageti yang masih hangat dengan taburan keju dan bola-bola daging.
            “Jadi bisa kamu jelaskan kenapa kita selalu memilih makanan yang sama?” kata Gladys. Dien mengerutkan dahinya.
            “Karena selera kita soal makanan sama?”
            “Lagi-lagi bukan,” seru Gladys.
            “Lalu apa?”
            “Sebab kita sama-sama menginginkan umur persahabatan kita panjang dan penuh variasi rasa. Seperti spageti ini.”
            Kali ini Dien tertawa lebih keras,”Ya kamu benar, Gladys. Kamu selalu benar.”
           
           


1 komentar: