Setiap hari Sabtu
Gladys dan Dien akan menghabiskan sepanjang sore untuk mengobrol. Kadang mereka
pergi ke taman, kadang ke toko buku, kadang hanya duduk-duduk di teras rumah
Dien yang asri. Sore itu saat hawa panas tidak bisa diusir hanya dengan
mengipasi diri mereka dengan majalah remaja, mereka memutuskan untuk pergi ke
Kafe Gold. Sebenarnya kafe itu sangat nyaman. Ada book corner
dengan koleksi lengkap, desain interior serba emas dengan nuansa bunga matahari
di sana sini. Kafe itu berkesan
hangat meski di dalamnya terasa sejuk.
Hanya saja minuman dan makanan di kafe itu tergolong mahal. Tadinya Gladys hendak menolak ajakan Dien tapi setelah Dien memastikan dia yang akan membayar, Glady menurut.
Hanya saja minuman dan makanan di kafe itu tergolong mahal. Tadinya Gladys hendak menolak ajakan Dien tapi setelah Dien memastikan dia yang akan membayar, Glady menurut.
Gladys melirik minuman pesanan Dien. Segelas air jeruk nipis tanpa
gula dengan hiasan potongan stroberi di pinggir gelas. Betapa Dien, sahabat
karibnya itu sangat suka minuman berasa asam. Gladys sebaliknya, dia suka manis. Segelas
milkshake rasa cokelat dengan taburan chocho chip sudah terhidang di depannya,
bersanding dengan es jeruk nipis tanpa gula. Sungguh pemandangan yang bertolak
belakang. Sama halnya dengan nasib Gladys dan Dien.
Gladys adalah anak dari keluarga
sederhana. Untuk membeli segelas milkshake cokelat di kafe ini dia harus
menyisihkan uang jajannya selama beberapa hari. Sementara Dien takkan bakalan
pusing membeli apa saja di kafe ini dengan uang jajannya yang selalu berlebih. Dien
adalah anak keluarga kaya. Uang jajannya dalam sehari sama dengan uang jajan
Gladys selama seminggu. Nongkrong di kafe untuk anak elit seperti ini bagi
Gladys adalah hal yang istimewa meski dia harus menabung dulu untuk membeli
minuman.
Namun hari ini Gladys boleh berlega
hati sebab Dien menraktirnya. Gladys bisa menyimpan uangnya namun tetap bisa
nongkrong bersama Dien.
“Kita ini terbalik
ya Dien,” desah Gladys sembari menyedot minumannya.
“Terbalik
apanya? Perasaan kaki kita masih di
bawah.”
Gladys
tersenyum. Dia menunjuk dua gelas minuman berbeda pesanan mereka.
“Asam
dan manis.”
“Ah, itu
karena selera kita yang berbeda.”
“Bukan
soal selera.”
“Lalu
apa?”
“Alam bawah
sadar kita yang berbicara.”
“Heh?” Dien mengerutkan dahinya.
“Begini, aku sudah terbiasa hidup
berkekurangan. Setiap hari harus ngirit. Makan seadanya. Lauknya itu itu saja.
Tidak pernah ada yang istimewa. Milkshake ini adalah keinginan bawah sadarku.
Bahwa sepanjang hidupku yang selalu berkekurangan dan terasa pahit aku
membutuhkan sesuatu yang manis.”
Dien tersenyum.
Kerutan di dahinya memudar. Sepertinya dia mulai mengerti arah pembicaraan
Gladys.
“Ah,
jadi karena aku serba berkecukupan. Apa yang kuinginkan selalu kudapat maka
alam bawah sadarku membutuhkan sesuatu yang asam. Itu sebabnya aku menyukai
minuman asam. Begitu?” kata Dien penuh semangat.
“Yah,
semacam itu.”
Dien tertawa terbahak-bahak. Gladys hanya
mengedikkan bahunya.
“Ada-ada saja.”
Dien meneguk
es jeruk nipisnya, mengambil potongan stroberi penghias gelasnya lalu memasukkannya di mulut.
“Kenapa
kamu memilih stroberi sebagai penghias gelasmu? Seharusnya kan potongan jeruk
nipis juga.”
“Sebab
ada macam-macam rasa asam di dunia ini. Asamnya jeruk nipis tidak sama dengan
asamnya stroberi.”
“Lalu?”
“Setiap
masalah punya tingkatan yang berbeda. Seperti halnya rasa asam juga punya level
yang berbeda. Jeruk nipis ini lebih asam dari stroberi tadi. Saat aku meminum
habis es jeruk lalu memakan stroberi, aku sudah tidak merasakan asamnya
stroberi. Yang ada di mulutku masih rasa asam jeruk nipis.”
Gladys
mendesah,”Ah, ternyata kamu lebih berbelit daripada aku.”
Dien
tersenyum, “Intinya jika kamu bisa melampaui masalah yang besar maka masalah-masalah
kecil tidak akan terasa lagi bagimu.”
Gladys memandang Dien tanpa kedip. Ya,
Dien benar. Tak lama kemudian seorang pelayan membawakan makanan untuk mereka. Dien
meminta segelas air putih sebab es jeruk nipisnya sudah habis. Pelayan mengangguk
dan berlalu. Tiba-tiba Gladys tertawa. Dien menoleh dengan tatapan bertanya. Gladys menunjuk dua piring spageti yang
masih hangat dengan taburan keju dan bola-bola daging.
“Jadi bisa kamu jelaskan kenapa kita
selalu memilih makanan yang sama?” kata Gladys. Dien mengerutkan dahinya.
“Karena selera kita
soal makanan sama?”
“Lagi-lagi bukan,” seru Gladys.
“Lalu apa?”
“Sebab kita
sama-sama menginginkan umur persahabatan kita panjang dan penuh variasi rasa.
Seperti spageti ini.”
Kali ini
Dien tertawa lebih keras,”Ya kamu benar, Gladys. Kamu selalu benar.”
Jadi inget sahabat aku
BalasHapus