Selasa, 04 November 2014

Kesepakatan di Musim Panas



Aku akan menghabiskan akhir minggu ini layaknya seorang pencuri. Maksudku bukan dalam artian sebenarnya. Hanya saja aku harus bersikap hati-hati karena aku ingin menghindari seseorang. Percayalah dia layak untuk dihindari dan dia tidur di depan kamar kosku. Jadi, kunci dari sukses petualanganku hari ini dimulai dari membuka pintu kamar. Aku harus melakukannya secara hati-hati.
            “Sedang menghindari seseorang, Chino?”
            Aku hampir saja terjatuh mendengar suara itu. Aku menoleh ke samping. Marta berdiri di sana dengan senyum lebar. Dia tukang masak di rumah kos ini. Namaku bukan Chino tapi karena Marta kesulitan memanggil nama asliku dia memilih memanggilku Chino (sebutan untuk laki-laki Cina). Dia pikir semua orang Asia itu orang Cina.
            Joder, kamu mengagetkanku.”
            Mata Marta terbelalak lalu sedetik kemudian dia menyemburkan suara tawanya yang khas.
            “Apa di universitas kamu diajari mengumpat?” tanya Marta.
            “Ehm…tidak. Aku mendengar dari orang-orang.”
            “Lalu kenapa kamu pergi sepagi ini?”
            “Aku ingin berjalan kaki ke Benteng Santa Barbara dari sini.”
            “Itu jauh sekali Chino. 13 kilometer dari sini. Pantas saja tasmu kelihatan berat. Kamu pasti membawa galon air di sana,” ejeknya. “Jadi, kenapa kamu tidak mengajak China?” Nah, inilah bagian yang paling tidak kusuka. Seperti halnya Marta yang memanggilku Chino dia juga memanggil Seseorang Yang Kuhindari itu China. Bedanya Marta itu adalah sekutu China. Dia selalu saja membelanya.
Nama aslinya sebenarnya Ratih. Kami sama-sama penerima beasiswa kursus musim panas belajar bahasa Spanyol di Alicante. Tahun ini ada empat orang yang diterima. Rico dan Dahlan, dua teman kami yang lain memilih Santander untuk tempat kursus. Mungkin aku tidak selalu mencari alasan untuk menghindarinya jika saja sikapnya tidak membuatku alergi. Menurutku Ratih itu seperti putri negeri dongeng yang suka merengek dan manja sekali.
            “Aku harus pergi, Marta. Chao,” kataku tanpa menjawab pertanyaannya. Aku bergegas keluar dari rumah kos berlantai dua yang terletak di daerah San Vicente del Raspeigh. Aku melihat ke jalan. Perayaan Las Hogueras de San Joan mulai terasa. Di setiap distrik mereka mendirikan hoguera atau semacam seni instalasi yang diajukan untuk lomba. Aku jadi ingat dengan perayaan 17 Agustus di kampungku. Setiap gang masuk pasti dipasangi umbul-umbul dan hiasan.
            Aku melewati jalan Alicante, jalan Novelda, jalan Alcoy, Calderon de la Barca, hingga sampai di Alfonso del Sabio. Satu setengah jam kuhabiskan dengan berjalan kaki. Dari titik terakhir itu aku hanya tinggal berjalan beberapa menit sampai tiba di pantai berpasir putih San Juan yang nyaris tanpa ombak dan bersuhu hangat. Biasanya jika ingin berjalan di kota Alicante aku naik bus jalur 24 dan aku menghabiskan waktu sekitar 17 menit. Aku harus berhemat sebab setelah kursus berakhir aku ingin melakukan traveling sampai Santander menemui kedua temanku yang lain. Di utara udaranya lebih bersahabat.
            Seseorang menepuk bahuku saat aku duduk melepas lelah di depan ayuntamiento yang menghadap laut. Aku tersenyum lebar saat temanku, Javier yang berasal dari Puerto rico datang. Segera aku mengambil bungkusan di dalam tasku dan menyerahkan padanya.
            “Seperti kesepakatan,” kataku
            De acuerdo, chao,” katanya lalu menghilang ke arah Puerto.
            Aku menghela napas panjang. Bayangan keuntungan meliuk-liuk di mataku lalu aku melihat ke atas bukit Benacantil. Di sana benteng Santa Barbara berdiri megah siap untuk kujelajahi.
            “Gempar, sepertinya kamu suka membuat ulah seperti namamu ya?”
            “Kamu? Ngapain pagi-pagi sudah ada di sini. Dan bagaimana kamu bisa kemari?”
            “Aku menumpang mobil Carlos. Dia mau ke Benidorm. Jika kamu pergi tidak terlalu pagi mungkin kamu tak perlu jalan kaki.”
            Sial, umpatku dalam hati. Carlos adalah pemilik kos kami. Ratih mengerling penuh kemenangan. Aku yakin dia sedang menertawakan jerih payahku yang berjalan dari San Vicente del Raspeigh sampai Alicante.
            “Jadi apa isi bungkusan tadi?”
            “Bukan urusanmu,” kataku sambil berdiri. Ratih menjejeriku.
            “Aku tahu kamu menjual sesuatu untuk tambahan dana buat pergi traveling bersama Rico dan Dahlan. Kalian tidak mengajakku?”
            Aku melirik payung lipat yang dipegangnya lalu menggelengkan kepala. Setiap hari dia selalu membawa payung seakan dia takut musim panas yang suhunya bisa sampai 40 derajat ini bisa membakar tubuhnya. Tapi ini Alicante. Semua orang menyukai matahari. Berjalan dengan payung mekar di tengah jalan hanya membuatmu terlihat seperti orang bodoh. Dan aku tidak mau berjalan di samping orang bodoh.
            Chao, China,” kataku sambil melambaikan tangan. Bibir Ratih langsung terlipat dan dia menggeram,”Namaku Ratih bukan China.”
            Aku meninggalkan Ratih begitu saja. Dengan santai aku berjalan mengelilingi Plaza Mayor lalu mengitari Casco Viejo sebelum mulai mendaki bukit Benacantil. Aku tidak terlalu buru-buru hari ini. Berjalan menaiki bukit Benacantil tidak terlalu berat. Ada jalan melingkar yang melilit di punggung bukit. Setengah perjalanan saja aku bisa melihat pantai pasir putih yang panjang dengan deretan kapal berwarna putih.
            “Ngapain cewek centil itu di sana?” desisku. Aku melihat sebuah payung mekar di bawahku. Ratih sedang bercakap-cakap dengan seseorang pasangan lanjut umur. Mereka tertawa-tawa sementara Ratih menggambar sesuatu di buku sketsa. Kemana-mana dia selalu membawa buku itu selain payungnya tentu saja. Aku melengos dan melanjutkan perjalananku. Selama tiga jam aku mengitari benteng. Sengaja aku berlama-lama sebab aku menunggu jam makan siang. Aku janjian dengan Javier di pantai San Juan.
            Lima menit sebelum jam makan siang aku sudah sampai di pantai. Dari jauh Javier melambaikan tangan. Namun tiba-tiba tanganku dicekal seseorang.
            “Gempar, Jangan ke sana!”
            “Kamu lagi! Nguntit aku ya!” seruku marah. Putri dari negeri dongeng itu sudah ada di depanku.
            “Siapa yang nguntit kamu! Lihat tuh!” Ratih menunjuk ke arah Javier. Dia sudah lari tunggang langgang bersama penjual lain. Sebagian barang dagangannya masih ada yang tertinggal. Aku melihat barang yang kutitipkan padanya ada di sana. Dadaku bergemuruh. Dari arah lain beberapa polisi wisata mengejar mereka. Memang, lebih baik meninggalkan dagangan daripada harus dideportasi jika tertangkap. Seorang polisi lain membawa barang dagangan yang masih tertinggal. Badanku langsung lemas. Bayangan keuntungan lenyap sudah.
            “Menitipkan barang dagangan pada penjual ilegal itu bodoh sekali. Kamu mau dideportasi huh? Emang apa sih yang kamu titipin ke dia?”
            “Bukan urusanmu,” desisku. Aku memang sengaja kulakan gelang dan kalung di Yogya sebelum berangkat ke Spanyol. Gelang dan kalung itulah yang kutitipkan ke Javier. Minggu lalu aku membawa sedikit barang dan Javier bisa menjualnya semua. Hari ini aku membawa semua barang yang kupunya. Tapi sungguh apes nasibku. Javier pernah bilang dia tidak bisa kembali berjualan di tempat yang sama selama dua minggu setelah razia. Padahal aku tidak tahu dimana dia tinggal dan seminggu lagi aku sudah harus pergi dari Alicante. Ratih hanya mengedikkan bahu lalu dia menghitung recehan dan beberapa lembar uang kertas di tangannya dengan gaya dibuat-buat.
            “Minggu lalu aku cuma dapat separuh. Tapi karena tadi ada pasangan dari Swiss baik hati dan membeli sketsaku 20 euro jadi aku berhasil mengumpulkan 35 euro. Fantastis.”
            “Tunggu dulu? Jadi kamu juga cari tambahan uang? Huh dasar licik.”
‘Tapi cerdik. Nggak kaya kamu. Seharusnya kalian ajak aku juga untuk traveling. Aku selalu punya cara untuk cari uang tambahan. Hanya modal pensil, buku gambar, keahlian menggambar, dan ilmu komunikasi.”
Aku semakin mengumpat dalam hati. Hari ini dia mengalahkanku dengan telak. Semula Ratih menatapku dengan cara yang meremehkan namun kemudian pandangannya berubah. Lebih lunak.
“Begini, aku juga kepengen keliling Spanyol dan melukis setiap tempat di buku sketsaku tapi aku terlalu takut pergi sendirian. Ajaklah aku.”
“Apa keuntunganku mengajakmu?”
“Kamu baru saja tahu keahlianku cari uang. Itu sangat membantu perjalanan kita nantinya.”
Aku benci mengakuinya tapi dia memang benar.
“Ada syaratnya?”
“Apa?”
“Jangan merengek kepanasan dan jangan ada payung.”
“Tapi…”
“Setuju atau tidak sama sekali.”
Ratih mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. Aku tidak percaya telah setuju bepergian dengan Putri perengek. Apa yang akan terjadi bulan depan aku tidak bisa membayangkannya. Semoga saja menjadi perjalanan yang paling hebat dalam hidupku.

                        CATATAN : dimuat di Majalah HAI no 40 6-12 Oktober 2014

1 komentar: