Kamis, 06 November 2014

TARIAN HUJAN (Tamat)



Saat malam menjelang aku dan Moon memanjat loteng rumah yang jika musim panen selalu penuh dengan jagung kering. Dari jerjak kayu yang mengarah ke depan, kami bisa memerhatikan jalanan desa yang lengang tanpa ada yang tahu. Loteng itu sangat gelap. Kami hanya diam saja sambil membaui sisa jagung kering yang telah lama tak lagi menyumpal loteng ini. Tanah desa kami sekarang hanya mau menumbuhkan belukar yang tak berguna. Para penduduk malas bercocok tanam sebab emas di pegunungan lebih menguntungkan.
Suara orang tertawa terdengar di kelokan jalan. Hanya dengan memejamkan mata aku tahu siapa dia. Tanpa dikomando kami menahan napas saat Tumper dan teman-temannya lewat di depan rumah. Mereka baru saja pulang dari gunung menjaga tambang emas. Tangan mereka memain-mainkan senapan dengan gaya yang memuakkan. Mereka tertawa lebih keras saat sampai di depan rumah kami. Ghande dan Puyang mendorong-dorong Tumper sambil sesekali menunjuk rumah kami. Hidungku mulai gatal. Rasanya ingin bersin. Segera kutekan telapak tanganku pada tonggak kayu yang tajam.
“Rasa sakit bisa mengalihkan perhatian,” kata ibuku setiap dia menasehati kami supaya tak mudah terbawa emosi membara masa remaja. Benar saja rasa sakit itu kini menguasaiku dan aku melupakan keinginan untuk bersin. Aku tak ingin Tumper tahu jika aku berada di atas sini, mengawasinya. Kudengar suara Ghande yang keras seperti kentut yang tak tahu malu.
“Kamu mengaku sajalah. Lagipula dia cantik seperti buah pir.” Puyang tertawa terpingkal-pingkal. Ghande mendorongnya lalu meninggalkan Tumper dalam ejekan dan selorohan. Dadaku makin sesak ketika Tumper memandang rumahku dengan tatapan yang sama saat menatapku di hutan pagi tadi. Tubuhku menggigil.
“Ada apa dengan Tumper?” tanya Moon.
“Kita di sini bukan untuk membicarakan Tumper. Kita di sini untuk mendengarkan apa yang Jaelani bilang padamu.”
Moon menggeser tubuhnya. Suara gemerisik punggungnya terdengar berat. Sepertinya berat bdan Moon naik beberapa kilo. Aku jadi teringat kendi-kendi susu yang harus kami habiskan besok.
“Dia bilang…” Moon tak meneruskan perkataannya.
“Moon jangan membodohi aku. Aku memang tak bisa bahasa gagak namun aku bisa mencium masalah.”
“Dia mengajakku menari di hutan saat pesta raya nanti dan dia akan merekamku.”
“Kalian gila.”
“Takkan ada yang melihat. Semua orang sedang asyik dengan pesta. Takkan ada yang pergi ke hutan. Dia mau Kakak ikut juga.”
“Buat apa dia merekamnya?”
“Kamu masih ingat kan dia menyebut soal youtube?”
Aku mendengus. Mana aku ingat istilah sebanyak itu. Lagipula saat itu Jaelani mencerocos cepat sekali.
“Entahlah, aku bahkan tak tahu apa yang dia omongkan waktu itu.”
“Dia akan memasang rekaman itu di youtube.”
“Untuk apa?”
“Supaya dunia tahu jika perempuan-perempuan desa kita bisa menari.”
“Kenapa dunia harus tahu sementara para tetua sangat repot menutupi dunia kepada kita, anak perempuan?”
“Dunia melihat desa kita sebagai desa yang jahat begitu kata Jaelani. Dia ingin menunjukkan bahwa apa yang dipikirkan dunia salah. Anak perempuan juga bisa menari di sini.”
“Ya anak perempuan memang bisa menari tapi mereka tidak boleh menari. Itu dua hal yang berbeda.”
“Kak, ini penting untukku.”
Aku mencium nada keputusasaan dalam suara Moon.
“Katakan terus terang apa yang Jaelani janjikan untukmu?”
“Dia bilang jika dunia menyukai tarianku ada banyak orang yang bisa membantuku untuk belajar menari dan menjadi penari terkenal.”
“Kamu tahu Moon, itu tak semudah apa yang dikatakan Jaelani.”
“Jaelani bercerita padaku tentang seorang gadis di kota yang suka menulis. Apa yang dia tulis sangat luar biasa. Menurutnya anak perempuan juga boleh bersekolah tinggi seperti laki-laki, membaca buku apapun, menulis sebebas apapun. Dunia sudah mengenal tulisan-tulisannya. Orang-orang itu menjadi resah. Mereka lalu memberondong gadis itu dengan tembakan saat dia pulang sekolah. Ajaib anak itu hidup. Dunia mendengarnya dan semua negara di seluruh dunia menawarkan bantuan untuk menyelamatkan gadis itu. Dia selamat dan sampai sekarang terus berjuang, terus menulis, terus bersuara. Dia seperti air yang sukar dibendung. Dia sudah pernah diberondong peluru dan kali ini tak ada peluru yang membuatnya takut.”
“Lalu apa hubungan gadis itu dengan tarian?”
“Gadis itu bisa saja aku. Bisa juga Kakak. Dalam diri kita tersimpan jiwa yang resah. Aku ingin menari agar dunia bisa menolongku agar aku bisa menari kapan dan dimana saja tanpa ketakutan. Dan Kakak bisa menjadi badut. Tersenyum dan tertawa sesuka Kakak.”
“Lalu bagaimana jika langit benar-benar runtuh, mata air mengering, dan emas tak ada lagi?”
“Kakak tahu benar emas itu pasti bakalan habis. Mereka menambangnya dengan kesetanan. Dan jikapun langit runtuh apa salahnya jika itu bayaran dari terlepasnya ketakutan kita?”
Aku mendesah. Bagaimana aku tak tahu Jaelani sudah meracuni adikku sedemikian rupa?
“Lalu apa rencanamu?”
“Pesta raya sebulan lagi. Aku akan berlatih menari supaya hasil rekamannya bagus.”
“Latihan menari? Dimana?”
“Di sini. Tiap malam.”
“Lalu dengan cara apa kamu bisa menyembunykannya dari ibu?”
“Jangan khawatir aku akan menari tanpa berisik. Ibu takkan tahu. Kamu akan membantuku supaya rahasia ini tetap terjaga.”
“Moon apa aku bisa mencegahmu?”
“Aku sendiri tak mampu mencegahnya lalu bagaimana Kakak bisa?”
***
Seminggu sebelum pesta raya Moon tetap berlatih tanpa lelah. Sesuai janjinya dia berlatih tanpa berisik. Malam ini Moon berkata jika dia tidak enak badan dan meringkuk di tempat tidur padahal sebetulnya dia sedang berlatih menari. Beberapa hari terakhir ini Moon kerap terjatuh. Dia pasti sedang melatih gerakan-gerakan yang sulit. Suara ribut mulai terdengar di loteng. Kuharap malam ini dia tidak memaksakan diri.
BRAKKK…
“Apa itu?” tanya ibu yang sedang memisahkan anggur terbaik dengan anggur jelek. Kami harus membuat minuman anggur untuk pesta raya. Para tetua selalu berkata anggur yang terbaik dan tercurah akan melimpahkan emas di pegunungan desa ini. Bagaimana emas bisa terus berlimpah jika mereka terus mengambilnya? Emas bukan tanaman yang bisa dipanen setiap musim. Emas hanya bongkahan batu yang takkan mengenyangkan jika dimakan.
“Ehmm sepertinya tikus-tikus itu semakin garang Bu,” kataku. Sebisa mungkin aku harus menjaga adikku.
“Bagaimana mungkin tikus bisa berada di atas. Sudah lama kita tidak menyimpan jagung di sana.”
“Mereka pasti kelaparan hingga jadi garang.”
Ibu mendesah. Badannya yang begap dan beberapa jumbil lemak bergelantungan di leher, pipi, dan perutnya tampak begitu besar di mataku. Layaklah ayahku mengambilnya sebagai istri kedua. Tubuh seperti ibuku adalah impian laki-laki dewasa di desa ini. Namun dia tak pernah terlihat bahagia. Ya baiklah, kami memang tak pernah tersenyum dan selalu memasang wajah dingin namun kebahagiaan takkan bisa menipu jika kalian melihat matanya.  Di sana hanya ada tanah gersang dan kerapuhan. Ibuku selalu bermimpi memiliki ladang luas penuh jagung dan tanaman lain. Tangannya yang berwarna akar itu sangat dingin. Sayang, ayah hanya mengijinkannya menanam anggur. Itu juga alasan ayah menikahinya sebab ibuku bisa menghasilkan anggur yang sangat banyak. Desa ini harus dibasuh dengan anggur pada pesta raya agar penuh kelimpahan. Begitu sabda ayahku yang selalu didengungkan ke setiap penjuru desa.
“Ibu muda, aku kemari untuk menanyakan soal persediaan anggur,” seru sebuah suara. Dia muncul dari pintu dapur. Wajahnya yang pucat dan mata merahnya itu selalu membuat mual perutku. Senapan itu juga terpanggul di punggungnya. Cuih, hanya untuk menanyakan persediaan anggur saja dia berjaga-jaga seperti singa lapar. Jangan-jangan tiap malam dia mengelus-elus senapan itu dalam peraduannya. Huh membayangkannya saja perutku kembali bergolak.
“Jangan khawatir Tumper Kasun. Ada banyak anggur untuk tahun ini,” kata ibuku.
BRAKKK…
Suara itu terdengar lagi. Tubuhku menegang. Moon jangan lakukan lagi. Tolong berhentilah, seruku dalam hati. Kulihat tubuh Tumper menjadi waspada. Secara spontan dia menyiapkan senapannya.
“Itu hanya tikus,” kataku dengan terbata.
“Suaranya dari loteng.”
“Apa kamu bersedia mencarinya untuk kami? Sudah pegal rasanya telingaku mendengarnya,” kata ibu.
“Biar aku yang mencarinya,” tukasku.
“Hah? Sejak kapan kamu berani dengan tikus?” kata ibuku.
“Biar aku saja,” kata Tumper berlagak seperti pahlawan di depan ibuku. Mau tak mau aku membuntutinya. Ngeri aku melihat senapannya yang membega ke depan. Moncongnya itu terlihat lapar.
Pelan-pelan Tumper naik ke tangga kayu yang mengarah ke loteng. Hatiku tak karuan. Semoga Moon sudah turun. Namun aku mendengar suara berderit. Sepertinya Moon masih di atas.
“Itu hanya tikus!” seruku memberi tanda pada Moon. Tumper menoleh dengan wajah galak
“Kamu bisa membuat mereka lari!” bentaknya.
Tumper bergerak ke atas lagi. Moncong senapannya terarah ke atas. Dadaku bergejolak kencang. Pikiranku terarah pada Moon. Bagaimana jika dia masih di sana dan Tumper mengiranya tikus? Loteng itu cukup gelap. Bagaimana Tumper bisa membedakannya?
Tiba-tiba Moon berteriak,”Jangan tembak. Ini hanya aku! Moon!”
Seketika aku menahan napas.
“Apa yang kamu lakukan di sana?” selidik Tumper.
“Jauhkan moncong senapanmu. Kamu membuatku takut!”
“Cepat keluar dari sana,” seru Tumper.
Tumper segera turun. Senapannya sudah terpanggul di punggungnya kembali. Meski senapan itu tak membidik namun hatiku masih tak karuan. Bagaimana jika dia mencari tahu apa yang dilakukan Moon di atas?
Lalu wajah Moon muncul. Dia mengacungkan sesuatu.
“Aku di atas mencari bangkai tikus. Lihat! Besar sekali kan?”
Kakiku menggigil melihat bangkai tikus yang terkulai lemas. Kepalanya hancur. Moon mencepit tubuhnya dengan dua kayu panjang.
“Cepat buang bangkainya!” seru Tumper jijik.
Moon turun lalu melewatiku sambil mengerlingkan matanya. Aku terkesiap. Betapa hidup matanya, betapa segar wajahnya. Latihan-latihan menari itu sudah mengubah jiwanya. Aku tak menyadarinya hingga saat dia mengerling padaku. Racun kotak cahaya itu pasti sudah membekapnya.
Tumper menoleh padaku yang masih gemetaran. Matanya menyelidiki seluruh tubuhku. Senyumnya menyungging dengan sinis.
“Hanya bangkai tikus. Lalu kenapa kamu masih gemetaran saat bangkainya sudah dibereskan?”
Aku memalingkan wajah.
“Jangan pernah menyembunyikan apa-apa dariku!”
***
Bau anggur mewangi di seluruh rumah kami. Semua kendi sudah terisi. Perayaan sudah siap di depan mata. Sementara itu Wajah Moon sesegar bunga bakung. Setiap hari aku mencekokinya dengan ramuan daun mondokaki namun tak ada perubahan di wajahnya. Dia seperti musim semi yang tepat waktu. Tak ada yang bisa menundanya. Niatnya sudah bulat. Dia ingin menari di hutan di bawah pohon trembesi. Seandainya aku bisa membunuh nyala api di matanya. Tapi bagaimana bisa? Kupikir matahari sudah mangkir di sana. Tak ada yang berani membunuh matahari di desa kami lalu bagaimana aku bisa membunuh matahari di matanya? Sama saja aku membunuh hidupnya, jiwanya. Moon adalah segalanya bagiku. Dia adik perempuanku. Seseorang yang tak pernah membuatku menangis atau tertawa. Dia alasan bagiku menjalani kehidupan di desa Tarian Hujan.
“Aku akan menari di sini besok,” kata Moon. Dia membuka cadarnya dan membiarkannya berjulai di lehernya. Matanya indah sekali dan tak lepas-lepas senyum itu melengkung. Aku hampir tak mengenal dia. Wajahnya bukanlah yang selama ini kukenal. Atau jangan-jangan justru selama ini wajah yang kukenal bukanlah dia yang sejati?
“Kamu ingin tahu tarianku?”
Aku cepat-cepat menggeleng.
“Tak usah takut. Orang-orang sedang sibuk mempersiapkan pesta raya untuk besok.”
“Moon, aku khawatir.”
Moon memegang tanganku lalu menyentuh wajahku,”Kak, ini sangat penting untukku. Aku lelah berdusta. Aku lelah memasang wajah yang bukan diriku.”
“Tapi ini sangat berbahaya. Tumper mengawasi kita.”
“Tidak. Dia mengawasi Kakak,” kata Moon dengan mantap.
“Kamu tahu?” tanyaku.
“Tentu saja aku tahu. Aku remaja seperti Kakak. Aku tahu apa yang dia inginkan dari kakak. Sungguh dia belatung sialan.”
“Jadi jangan menari sekarang. Dia pasti sedang mengawasiku. Aku besok juga takkan datang menemanimu. Ibu bisa curiga jika kita tak ada di dalam pesta. Aku akan berusaha menutupi jejakmu dan mengawasi Tumper.”
“Jadi hanya aku dan Jaelani?”
“Dengar Moon, jika dia macam-macam denganmu aku akan membunuhnya.”
Moon hampir tercekik karena berusaha menahan tawa.
“Jangan khawatir Kak. Dia tidak tertarik denganku. Ide soal kebebasan ini sudah membuatnya sibuk. Gadis kota yang ditembak itu sangat menginspirasinya. Jaelani selalu mengikuti tulisan-tulisannya. Dia takkan macam-macam. Lagipula dia tak tertarik padaku. Dia suka pada Kakak.”
Darah mengalir cepat dan berputar di pipiku.
“Moon…”
“Pipi Kakak merah,” kata Moon sambil menyentuh pipiku.
“Aku kedinginan,” jawabku.
“Tak apa Kakak menyembunyikan perasaan asal Kakak jangan bohong.”
Moon terkikik pelan.
“Sebegitu pentingkah ini untukmu Moon?”
“Sepenting napas yang kuhirup.”
“Hati-hati Moon. Hanya kamu satunya milikku.”
Moon memelukku dan bisa kudengar gemuruh di dadanya siap meledak.
“Berjanjilah untuk selalu memakai cadar.”
***
Pesta raya. Pesta untuk para laki-laki dan tetua desa. Para perempuan adalah pelayan yang menumpahkan anggur di dalam gelas mereka. Saat malam merayap laki-laki dewasa akan mendekap istri-istri mereka dalam rayuan malam yang berbau anggur. Semakin nikmat malam berbalut anggur mereka pikir alam akan ikut mabuk. Batu akan berubah menjadi emas saking girangnya. Kemakmuran akan mengalir seperti air gunung segar. Antara kebenaran dan omong kosong tak terasa bedanya di desaku.
Pagi sampai sore adalah saat para laki-laki menari dengan tubuh limbung dan mulut bau. Tawa mereka memecah sunyi dan menghalau angin pegunungan. Aku sejak pagi berjaga-jaga, mengawasi Tumper dan teman-temannya. Mereka telah mabuk dan mengoceh seperti gagak. Sungguh liar hari ini. Keliaran yang selalu membuat perutku mulas.
Moon sudah sejak pagi tadi menyelinap ke hutan. Beberapa saat kemudian kulihat Jaelani mulai mundur perlahan dan berlari ke hutan. Mereka sudah berjanji dalam keriuhan pesta yang buta ini mereka akan membuat sejarah. Sepertinya Tumper tak melihat mereka. Dia sibuk dengan mabuk kepayang yang melenakan ini. Anggur ibuku adalah anggur terbaik yang dibuat dari tangan terbaik. Tanganku.
Hatiku berdetak kencang saat Tumper melirikku. Sepertinya dia tahu aku mengawasinya. Cepat-cepat aku membuang muka dan pura-pura sibuk dengan kendi-kendi anggurku. Rupanya tidak berhasil. Tumper malah mendatangiku. Predikatnya sebagai kakak tiri membuatnya leluasa mendekatiku. Tak masalah bagi tetua karena kami satu darah. Darah ayahku.
“Kenapa kamu mengawasiku? Apa kamu sudah melihatku dengan lebih jelas,” katanya dengan nada sombiong.
“Sebagai apa?”
“Sebagai laki-laki.”
Aku mendengus.
“Kenapa kamu tidak hentikan pikiran najis itu dari kepalamu?”
“Aku tak ingin menghilangkannya. Terlalu nikmat untuk dihilangkan. Pastilah kamu senikmat anggur yang kamu buat. Manis dan memabukkan.”
“Aku perempuan terhormat. Berhentilah bicara kotor padaku,” sentakku.
“Justru itulah kamu pantas bagiku. Jaelani hanya pemuda bodoh yang mabuk dengan dunia dan kebebasan. Dia pikir dia lebih pintar dari senapanku. Cuih!”
“Tidak ada hubungannya dengan Jaelani.”
“Kamu pikir aku tak punya mata? Kamu pikir aku bukan laki-laki yang tak paham bagaimana Jaelani menatapmu?”
“Bukankah kalian laki-laki bisa bebas menatap apapun yang kalian suka. Aku tak ada urusannya dengan ini. Pergilah. Kamu mengganggu pekerjaanku. Ayah bisa murka jika kendi-kendi ini tak diisi anggur.”
Tumpar terkekeh. Dia hendak melangkah namun dia membatalkannya. Matanya mengedar ke sekelilingnya. Tubuhku menggigil.
“Dimana Moon?”
“Dia mencari kayu bakar.”
“Tanpamu?”
“Aku harus mengurusi anggur-anggur ini,” jawabku setenang mungkin.
“Ehmmm aku bisa menemanimu untuk menyusulnya.”
“Tak perlu. Moon sudah besar. Dia bisa sendiri.”
Tumper terkekeh lalu menyambar kendi di depanku dan menenggaknya langsung. Kakiku gemetaran dari balik baju panjangku. Langit sepertinya mengetahuinya dan mencurahkan hujan. Tumper malah kegirangan. Dia mengangkat tangan dan mengguyurkan anggur ke dalam mulutnya. Air berwarna jerau yang menetes dari pinggir mulutnya seperti darah. Mendadak hatiku jeri. Mataku menoleh ke arah hutan. Moon belum muncul.
Kuhabiskan sisa hari dengan langkah berat. Kecemasan terus menggerogoti jiwaku. Tumper sekarang ganti mengawasiku. Layaknya kendi anggur yang terus menempel di mulutnya. Matanya juga lekat padaku. Kupikir kecemasanku akan usai saat tiba-tiba Moon muncul dari arah hutan dengan baju basah. Dia pasti kehujanan. Kupandang wajahnya. Dia benar-benar berubah. Sesuatu telah melepas rantai-rantai jiwanya dengan sempurna. Dia seperti seorang dewi yang berlari di antara hujan yang tumpah. Seharusnya aku lega melihatnya. Sayang sekali kecemasan ini tidak juga pergi malah semakin mendesak-desak tulang rusukku hingga ngilu.
***
Pesta usai sebelum waktunya. Seharusnya pesta ini berlangsung selama tujuh malam namun tiga hari saja umurnya. Sebuah kabar buruk segera mencekam desa. Tetua baru mendapat surat dari pemerintah. Isinya adalah perintah untuk menghentikan segera penambangan emas. Mulai hari ini tambang-tambang ini akan diambil alih negara. Di sepanjang jalan semua orang berubah tegang dan murung. Anggur yang tertumpah kala pesta tak bisa menghentikan kabar buruk ini.
Satu orang yang paling geram tentu saja ayahku. Dia bahkan meninggalkan peraduan istri ketiganya demi mengumpulkan semua laki-laki dewasa di desa ini lengkap dengan para tetua. Kudengar suara teriakan-teriakan mereka dari arah rumah musyawarah yang terletak di depan rumahku. Aku dan Moon mengintip dari loteng.
“Ini akibat karena kamu menari Moon,” gumamku.
“Ini tak ada hubungannya dengan tarianku. Salah mereka sendiri merusak pegunungan dengan membabi buta. Lama-kelamaan mata air itupun bisa teracuni gara-gara ulah mereka. Mereka juga saling bunuh dengan penduduk desa tetangga hanya untuk mempertahankan emas di pegunungan.  Sudah waktunya pemerintah ambil alih.”
“Moon, aku takut.”
“Kak, seharusnya kamu melihat aku menari. Indah sekali. Aku melihat rekamannya. Mungkin tarianku sudah membius dunia. Mereka akan tahu siapa aku. Lihatlah langit tidak runtuh dan sumber tidak kering. Itu semua hanya isapan jempol belaka untuk menutupi kehormatan mereka yang palsu.”
“Moon hentikan. Kamu bicara seperti orang gila.”
“Aku bicara tentang kebebasan Kak. Di saat orang-orang di bagian lain bumi ini bisa menikmati kebebasan kenapa tidak dengan kita?”
“Kita punya aturan. Kita punya agama.”
“Mereka juga. Sama seperti kita. Lalu apa bedanya?”
“Jaelani sudah meracunimu. Kotak cahaya itu juga.”
“TIdak ada yang meracuniku. Merekalah yang telah meracuni kita dengan keserakahan. Lihat apa yang mereka dapat sekarang? Lihat!”
Airmataku meleleh saat melihat api di mata adikku. Betapa segar masa mudanya. Betapa rekah bunga di hatinya. Kebebasan adalah humus bagi ladang-ladang jiwanya. Moon hendak melap airmataku namun tiba-tiba pintu kami digebrak dari luar.
“Moon! Mana gadis terkutuk itu! Mana?”
Tanganku spontan mencengkeram lengan Moon.
“Mereka tahu Moon! Mereka tahu!”
“Aku sudah tahu risikonya biarlah mereka mencambukku. Aku akan terus menari.”
“Moon hentikan. Biar aku yang menghadapi mereka. Kamu diamlah di sini. Biarlah aku yang mengaku.”
“Kak..”
“Ini perintah.”
Aku segera turun ke bawah. Di sana aku mendapati ibuku menangis. Tubuh begapnya tampak kerdil di mataku.
“Sangre…mana Moon?” bentak Tumper.
“Dia tak ada. Ada masalah apa?”
“Diam-diam dia menari di hutan.”
“Bukan, itu bukan Moon. Itu aku,” belaku.
Tumper tertawa. Tangannya menunjukkan kotak cahaya di hadapanku. Di sana Moon menari dengan sangat indah. Kakinya mengentak di antara lumpur dan air hujan. Tangannya melukis hujan. Wajahnya tengadah dan bersuka. Tanpa cadar. Ya, dia memang Moon.
“Kamu mau membela siapa? Semua sudah jelas di sini.”
Aku melihat di belakang Tumper para tetua berdiri dengan angkuh. Ayahku juga berada di sana dengan wajah berang. Mereka semua berkerbat kain putih di kepala. Ini sebuah tanda penyucian bagi desa.
“Lepaskan aku!Lepaskan aku!”
Aku menoleh. Moon meronta. Kedua tangannya dipegang Puyang dan Gandhe.
“Lepaskan dia! Aku mau menggantikan hukumannya.”
“Bawa dia!” seru Tumper tanpa mempedulikanku. Mereka menyeret Moon tanpa ampun.
Ibuku tak kuasa mencegah. Dia memilih ambruk daripada mempertahankan Moon. Cerita tentang telur di atas paku itu memang benar. Ibu ingin membersihkan kehormatan keluarga dengan hukuman atas Moon.
“Ayah, jangan lakukan ini pada Moon. Dia hanya anak kecil,” seruku.
“Justru itu karena dia masih kecil semua ini harus ditangani lebih dini. Semakin cepat semakin baik. Sebelum nyala api itu membesar dan menghanguskan dia dalam dosa.”
“Dia hanya menari. Dia tidak menyakiti orang.”
“Dia sudah merampas emas-emas kita.”
“Kakak!” jerit Moon. Aku menoleh. Ghande dan Puyang menyeretnya di tanah yang becek. Gaun panjangnya telah lengket dengan lumpur.
“Moon!”
Aku mengejarnya. Semua penduduk desa turut mengikuti. Mereka membawa Moon ke arah hutan. Mataku jelalatan. Dimana Jaelani? Dia seharusnya di sini dan mempertanggungjawabkan kerusuhan ini. Apa dia lari seperti pengecut. Dasar belatung.
“Kakak!”
Aku menerjang semua orang dan buru-buru meraih tubuh Moon saat Ghande dan Puyang menjatuhkannya di bawah pohon trembesi.
“Moon, jangan takut,” bisikku.
“Aku tidak takut Kak. Jangan gantikan hukumanku. Dunia akan tahu. Itu pasti,” bisik Moon.
“Dimana  Jaelani? Harusnya dia ada di sini dan menjelaskan semuanya.”
“Dia sudah berubah menjadi gagak. Itu keinginannya. Bebas.”
“Moon…” desisku
“Lepaskan dia Sangre! Menyingkir dari situ!” bentak Tumper.
“Apa yang akan kalian lakukan padanya?”
“Tanah ini harus dibasuh lagi dengan darah agar kehormatan kita kembali. Kutukan ini harus dilepaskan,” kata Tumper. Kulihat para tetua mengangguk-angguk seperti burung hantu.
“Kalian akan mencambuknya? Tolong tubuhnya takkan kuat menahan ini semua. Pakai tubuhku. Darah kami sama. Bukan begitu Ayah?” seruku meradang.
Tiba-tiba Moon mengelak dari pelukanku. Dia berdiri dan memasang badan di bawah pohon trembesi sesaat setelah merenggut cadarnya. Puyang dan Ghande segera mengikat tubuhnya di pohon itu. Aku berusaha menyusul namun Tumper sudah menyeretku ke pinggir. Dia menyuruh beberapa orang untuk memegangiku.
Laki-laki belatung berkerbat kain putih di kepalanya itu tersenyum licik dan berjalan menuju arah Puyang dan Gandhe. Mereka berbicara pelan. Aku terkesiap. Baru kusadari Tumper tidak membawa cambuk. Ada apa ini? Seharusnya Moon menerima hukuman cambuk tapi mana cambuknya? Mataku mengedar ke sekeliling. Para tetua juga tak bawa. Mereka menyembunyikan tangan di sela-sela saku baju mereka.
Belum genap pikiranku jernih aku melihat Tumper mengokang senapan.
“Apa yang akan kamu lakukan Tumper? Apa?!”
Tumper melirikku dengan tatapan yang liar. Ada nyala api di sana. Nyala yang sama dengan nyala di mata Moon dan membuatnya hidup. Jika nyala api Moon bersumber dari tarian lalu sumber apakah yang menyalakan api di mata Tumper? Aku meronta. Terus meronta.
Moon menantang Tumper tanpa takut. Api melawan api. Pada saat itu Moon menggerakkan tangannya yang terikat. Kakinya mengetuk tanah dalam irama. Dia mencoba menari dalam belenggu. Moon apa yang kamu lakukan? Wajah Tumper memanas. Dia segera membega senapannya. Moncong senapan itu sudah benar-benar lapar. Moon tak takut dan tak pernah takut. Dia terus berusaha menari. Kepalanya bergerak lembut. Tumper kesetanan. Secepat cahaya dia menembak. Bunyi jlegur memekak. Peluru-peluru berdesingan. Justru itu menjadi irama bagi Moon. Dalam sekarat dia terus menari. Sementara itu Tumper terus menembak seakan dia tidak sedang menghadapi gadis kecil tapi satu batalyon pasukan bersenjata. Sesukar itukah membunuh kemerdekaan?
Moon tak lagi bergerak. Kematiannya disambut kaokan ribuan gagak. Darahnya merembes ke dalam tanah.
“Dasar belatung!” pekikku.
Jeritanku mengundang hujan yang tanpa didahului gerimis. Semua orang berlarian dan meninggalkan hutan. Tumper pergi lebih akhir tanpa meninggalkan kata. Kepuasan terpancar jelas di wajahnya. Itu wajah yang sama saat Moon pulang dari hutan sehabis menari di hari pesta raya itu. Wajah Kebebasan.
Segera kutangkap tubuh Moon setelah kulepas ikatannya. Kupeluk dalam dendam yang bara.
“Moon,” bisikku. “Apakah kebebasan itu beraroma darah?”
***
Sebulan telah berlalu setelah pembunuhan atas Moon. Aku menguburnya sendiri di bawah pohon trembesi. Aku menggali tanah basah dengan tanganku di tengah guyuran hujan. Darah Moon tidak melepas kutukan apapun. Pegunungan itu tetap diambil alih pemerintah. Semua tambang telah ditutup dan puluhan regu pasukan pemerintah berjaga di sana.
Tumper tak lagi mendekatiku. Dia sudah disibukkan dengan pemberontakan terhadap pemerintah. Bagaimanapun dia tak rela tambang emas itu direbut pemerintah. Dia dan gerombolannya bersembunyi di hutan-hutan, di atas gunung, dan tak pernah kembali.  Dia seperti halnya Jaelani yang tak terlihat sejak pembunuhan Moon. Aku mulai percaya jika Jaelani memang berubah menjadi gagak.
Sementara itu orang-orang mulai berdatangan di desa kami, membawa kamera dan peralatan yang tak kukenal. Entah darimana datangnya. Mereka ingin melihat pohon trembesi kuburan Moon. Katanya mereka ingin melihat sendiri tempat dimana tarian hujan pernah ada. Moon benar. Dunia sudah tahu tariannya.
Seminggu setelah kematian Moon, air di sumber Sebutir Mata Tuhan telah berubah warna menjadi kerau, seperti darah gelap. Kata orang-orang kota yang berdatangan ke desa, air itu sudah tercemar logam berat sehingga warnanya seperti darah. Mereka salah. Menurutku itu darah Moon yang terbasut untuk membasuh desa ini.
Pagi ini aku sudah bersiap dengan membawa pacul dan sabit. Ibuku yang telah kehilangan separuh berat badannya hanya melirikku lalu memandang jendela tanpa ekspresi. Langkahku mantap ke ladang anggur. Sampai di sana mataku menatap rimbunan anggur yang mulai terbengkalai. Ibuku tak lagi ke ladang setelah pembunuhan itu. Dia memilih untuk kalah. Dua ekor gagak menatapku dari dahan pohon. Kepala mereka terayun-ayun sambil sesekali mengaok. Segera kuayun-ayunkan sabit dengan senyum merekah di bibirku. Sudah saatnya menanam jagung. Sudah saatnya menanam apapun yang kusuka.

Ponorogo, 28 November 2013





Tidak ada komentar:

Posting Komentar