Kamis, 20 November 2014

MELUKIS LUKA








Grace melemparkan remah kue kering ke dalam kolam ikan. Sekumpulan ikan mas melahapnya dengan ganas, tanpa menyisakan sisa. Seekor ikan mas bergaris hitam di punggung terlambat dalam pergulatan itu. Pelan dia berenang menuju karang buatan.
            “Hei Belang, kamu kurang cepat hari ini. “
        Grace mencelupkan jarinya di permukaan kolam. Belang memasukkan badannya ke dalam lengkung karang. Bersembunyi.
       “Ehm…itu kelemahanmu, Belang. Kamu terlalu takut untuk maju. Ketika kamu bimbang hendak memutuskan maju atau mundur, kesempatan itu sudah direbut orang lain.”
            Grace memerhatikan Belang yang berenang maju lalu berbaur dengan teman-temannya. Tangan Grace meremas kue kering lalu melemparkannya lagi. Kali ini Belang tidak membuang kesempaan.. Dia bergerak dengan gesit melahapnya. Grace tersenyum.
            Angin meyapu poni Grace dengan lembut. Seketika tangan Grace membetulkan poninya dengan sedikit gugup. Sebuah bekas luka menggaris jelas di kening. Grace selalu tidak percaya diri sehingga dia menggunakan poni untuk menutupinya. Biasnya dia akan menutupinya dengan syal yang dibuatnya menjadi bandana. Hari ini sangat dingin. Syal itu melingkar di leher dan membuatnya hangat. Matanya melirik seorang laki-laki di pojok taman yang sedang asyik menggambar.
            “Belang, apa dia melihatku tadi?” bisik Grace gugup. Dulu Grace datang ke taman ini untuk sekedar membaca buku atau menenangkan diri. Namun saat dia menyadari jika ada seorang laki-laki yang juga datang setiap hari ke taman, alasan Grace mulai berubah. Dia penasaran dengan laki-laki itu. Wajahnya selalu serius dan terlihat dingin. Matanya tidak pernah lepas dari buku gambar berukuran lumayan besar di tangannya. Dia sama sekali tidak memerhatikan lingkungan taman. Hanya gambar itu yang menjadi perhatiannya.
            Seperti halnya Grace, laki-laki itu selalu datang sendiri. Grace selalu ingin tahu apa yang digambar laki-laki itu, sayangnya dia tidak punya nyali untuk bertanya langsung padanya. Laki-laki itu lumayan tampan tapi bukan tipe Grace. Wajahnya terlalu tirus. Jika dia menambah sedikit berat tubuhnya mungkin wajah yang serius itu lebih kelihatan segar.
            Lagipula Grace melihat dua orang gadis mendekati laki-laki itu beberapa hari ini. Grace tahu mereka pasti tertarik dengan laki-laki itu. Mereka tertawa dengan renyah dan seseorang dari mereka menyebut laki-laki itu El. Dari nama itu Grace terus menebak-nebak nama panjang El. Bisa jadi Elmo, Elkana, Elia, Mikhael, Daniel, atau mungkin Elvis, Jaelani. Grace hanya bisa menebak. Seharusnya dia punya nyali untuk bertanya langsung. Dia jadi ingat ucapannya barusan kepada Belang. Sekian lama Grace menimbang-nimbang untuk bertegur sapa dengan El dan saat dia terlalu lama memutuskan dua gadis itu datang. Sebetulnya ucapan itu lebih cocok ditujukan pada Grace sendiri daripada Belang. Nyatanya Belang tetap mau maju tidak melewatkan kesempatan kedua meski dia gagal di kesempatan pertama. Sedangkan Grace hanya bisa mencuri pandang dari pinggir kolam bersenjatakan buku yang akhir-akhir ini hanya sekedar pemanis tangan.
            Suara tawa gadis-gadis itu terdengar lagi. Spontan Grace menoleh namun cepat-cepat mengalihkan pandangan ke bukunya. Dadanya berdebar. Tak sengaja pandangannya bersirobok dengan mata El. Saat El tidak menggambar, wajahnya menjadi sangat berbeda. Dia lebih segar dengan mata jenaka. Nyatanya kedua gadis itu tidak henti-hentinya tertawa. Grace menutup buku. Dia memutuskan mengisi perutnya ke kafe kebun yang berada di tengah taman. Paling tidak segelas coklat panas bisa meredakan debaran di dadanya.
            Grace menyeruput kopi panas sembari menanti pancake yang dipesannya. Dia baru saja menoleh ke samping dan menyadari bahwa dia akan butuh bergelas-gelas cokelat panas untuk meredakan debaran di dadanya. El berjalan mendekatinya. Grace sangat berharap El hanya melewatinya.
            “Hai,” sapa El. Grace tidak segera menjawab. Dia masih tidak percaya El berdiri tepat di depan mejanya.
            “Ya?” kata Grace ragu-ragu.
            “Boleh aku duduk di sini?”
            “Oke,” jawab Grace.
            El menarik kursi, meletakkan buku gambar di meja lalu duduk.
            “Maaf, jika aku mengganggu. Sebenarnya aku harus mengumpulkan keberanian untuk mendatangimu. Soalnya aku ingin meminta sesuatu yang mungkin akan membuatmu marah.”
            “Heh?” Grace serasa linglung.
            “Aku tidak bisa menyelesaikan gambarku,” kata El.
            “Hubungannya denganku apa?”
            El membuka buku gambarnya dan menunjukkan pada Grace. Gadis itu terpana. Ada Grace di kertas gambar itu. Grace dengan posisi sedang membaca buku sementara rambutnya diterbangkan oleh angin. Syal yang biasa dia gunakan sebagai bandana melingkar di leher.
            “Ini…”
            “Eh maaf, aku menggambarmu diam-diam.”
            “Tapi kelihatannya gambar ini sudah selesai. Bagus,” kata Grace dengan nada bergetar.
            “Tidak…tidak. Gambar ini belum selesai. Ada yang kurang.”
            “Apa?”
            “Bekas luka di keningmu. Ehm…maaf aku sempat melihatnya saat angin menyibak ponimu tapi biasanya kamu cepat-cepat membetulkan ponimu. Bahkan saat membaca kamu punya kebiasaan untuk merapikan poni. Seakan kamu takut seseorang akan melihat bekas luka itu. Aku tidak bisa menggambar bekas lukamu kalau kamu tutupi terus.”
            Grace terdiam. Dia tidak tahu apakah dia harus marah atau tersanjung. Mungkin saat ini dia merasakan keduanya.
            “Maaf, ini memang tidak pantas. Aku hanya berpikir jika aku tidak menggambar bekas lukamu maka gadis di gambar ini bukan kamu.”
            Grace masih diam. Dia tidak tahu harus bicara apa.
            “Aku sudah mengatakan pada mereka kalau kamu pasti tersinggung. Ah mereka itu. Selalu memaksa.”
            “Siapa?”
            “Dua gadis itu. Adik-adikku. Mereka memaksaku untuk menemuimu. Dengar, tak apa jika kamu tak mau. Aku minta maaf.” El berdiri. Dia hendak pergi.
            “Tunggu!” seru Grace. El menoleh. Kulit wajahnya terlihat seperti tembaga saat lampu di atasnya menyala. Petang telah tiba.
            “Kamu benar. Gadis di gambar ini bukan aku sebab tidak ada bekas luka. Jika kamu mau kamu bisa menggambarnya.”
            El tersenyum.. Dia kembali lagi menuju meja. Lalu tangannya membuka tas dan menyiapkan peralatannya. Pelan-pelan Grace menyibakkan poninya. Belum pernah ada orang yang melihat bekas lukanya sedekat ini. El adalah orang pertama. Dan dia hendak melukis bekas luka.
            “Jangan tegang. Rileks. Kamu selalu terlihat santai saat baca buku…” El berhenti melukis. Dia menatap Grace,”Maaf, aku belum tahu namamu.”
            “Grace,” kata gadis itu.”Kamu?”
            “El. Hanya itu. Sebab nama panjangku hanya lelucon.”
            “O ya? Kupikir kamu harus memberitahuku sebab aku sudah mengijinkanmu melukis bekas lukaku,” protes Grace.
         “Baiklah…anggap kita impas. Namaku Love tapi aku lebih suka dipanggil El sesuai huruf depan namaku.”
        Grace tertawa. Dia tidak bisa menahannya.
        “Tertawalah Grace. Kamu memang butuh itu. Semua orang juga tertawa saat tahu namaku. Ngomong-ngomong seharusnya kamu harus lebih sering menyibakkan ponimu. Bentuk dahimu sangat bagus. Kamu lebih cantik tanpa poni.”
            Grace tidak tertawa lagi saat mendengar kalimat terakhir El. Grace merasa malu dan sepertinya El harus menambahkan warna merah di pipi Grace pada lukisan itu.

###

Ponorogo, 20 November 2015

Kali ini saya berkolaborasi dengan anak saya Ima. Dia suka sekali menggambar. Jadi gambar-gambarnya saya jadikan ilustrasi untuk cerpen mini yang akan saya posting secara berkala. Semoga kolaborasi ini akan membawa manfaat. Terimakasih sudah membaca.
           

1 komentar:

  1. Bagus dan bikin gemes Mbak. Menebak-nebak, namun tidak tertebak dan berakhir manis. Belokan-belokannya keren. Pengen belajar yang model seperti ini.

    BalasHapus