Sabtu, 02 Agustus 2014

Pengalaman Riset Dalam Menulis Novel



Riset adalah kunci memenangkan sebuah peperangan. Begitu kata Robert Mckee dalam bukunya Story. Saya sudah memercayai hal ini bahkan sebelum menulis novel. Saking percayanya justru hal inilah yang dulu membuat saya tidak juga memulai menulis novel. Karena apa? Sebab saya pikir riset itu sangat berat dan memusingkan. Jika hanya menulis novel saja tanpa riset pasti hasilnya hampa, ringan, dan tidak akan memberi pengetahuan untuk pembaca. Namun keinginan menulis novel terlalu besar hingga akhirnya saya pun menyentuh tahapan ini : RISET.
Riset tidak hanya mencari fakta-fakta yang berkaitan dengan novel yang akan saya buat. Riset bisa berupa riset ingatan dan imajinasi. Untuk bisa menyentuh hati pembacamu riset ingatan bisa membantu untuk mendekati suasana yang hendak dibentuk. Misalnya dalam novel saya yang berjudul Rumah Lebah ada adegan dimana Alegra Kahlo begitu tak berdaya saat diperas oleh wartawan brengsek. Dia tidak punya pilihan selain membayar wartawan itu daripada rahasianya sebagai penderita bulimia terbongkar. Untuk bisa merasakan kejengkelan Alegra Kahlo lalu saya teringat dengan kondisi saya disaat pengadilan agama menyerahkan hak perwalian anak kepada mantan suami. Rasanya tanpa harapan, tanpa pilihan, tanpa pegangan, tanpa masa depan. Suasana dan perasaan itu saya ubah ke dalam perasaan Alegra Kahlo.  
                Lalu bagaimana dengan riset imajinasi? Saya selalu ingin membuat tokoh yang benar-benar hidup dan tidak terlupakan. Maka saya melukiskannya dalam imajinasi saya. Saya bahkan mewawancarai tokoh saya dari hal kecil sampai hal besar. Tentang bagaimana cara dia makan, apa dia selalu berdoa sebelum tidur, bagaimana dia menyikapi suatu masalah, kebiasaan buruknya, tayangan televisi favoritnya, apa dia suka menyembunyikan majalah porno di bawah kasur, dll.
                Kali ini saya akan berbagi bagaimana suka duka dan pengalaman saya saat menjalani riset demi kepentingan penulisan novel-novel saya. Semoga bisa memecahkan sebuah pemikiran kalau riset itu sangat membosankan dan susah. Pada dasarnya riset itu justru akan membawa kita pada tantangan, pengalaman, dan pengetahuan yang menyenangkan. Yah, kadang-kadang ada saat yang tidak mengenakkan namun pada saat kamu mengenang pengalaman itu percayalah kamu akan menyungging senyum.
1.     1. RUMAH LEBAH : Rahasia Wajah-Wajah Asing
Novel ini bercerita tentang seorang penderita multiple disorder dengan 6 kepribadian. Saya membaca buku-buku tentang kepribadian ganda yaitu 24 Wajah Billy dan Pikiran Yang Retak. Selain itu saya juga sering bertanya dengan anak-anak Psikologi dan mereka memfotokopikan diktat-diktat kuliah mereka yang berhubungan dengan kepribadian ganda. Hal yang menarik adalah saat saya berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa Pakem. Kebetulan teman SMA saya menjadi dokter di sana jadi saya bisa berjalan-jalan di rumah sakit dengan leluasa. Dia juga menerangkan soal penyakit kepribadian ganda yang di Indonesia susah dideteksi karena bias dengan kasus kesurupan. Melihat pasien dengan dekat bahkan mengajak ngobrol mereka membuat saya bisa menyentuh warna-warna kegilaan dan nuansanya.
Di dalam novel ini ada kasus pembunuhan. Saya ingin mengajak pembaca untuk masuk dalam suasana pembunuhan dan melihat kematian secara dekat. Karenanya saya mempelajari dan membaca apa yang terjadi pada tubuh manusia setelah mati. Buku Pedoman Kedokteran Forensik karya dr. Abdul Mun’im Idries adalah harta karun untuk riset saya selain Stiff karya Mary Roach.
Mara adalah salah satu tokoh dalam novel ini yang saya buat dengan sangat unik. Dia seorang anak dengan kecerdasan luar biasa namun sangat anti sosial. Cara bicaranya sangat formal dan dia seperti anak jebolan sekolah kepribadian yang selalu santun dan menginginkan semuanya serba teratur dan rapi. Dia juga tergila-gila dengan beruang. Saya membaca banyak hal tentang beruang untuk bisa menghidupkan tokoh Mara. Dari Beruang kutub sampai Winnie the Pooh.

2.       2.SEX ON CHATTING
Barangkali novel ini risetnya yang paling mendebarkan. Novel ini bercerita tentang polisi bernama Mahendra yang menyelidiki kasus pembunuhan yang menggiringnya pada kasus cyber Crime. Kencan yang bermula dari chatting kemudian dilanjutkan dengan jumpa darat adalah modus pelacuran gaya baru. Inilah yang diangkat dalam novel ini. Mau tak mau saya pun menyelami dunia chatting. Menemukan narasumber yang juga pemain dalam chatting erotis termasuk susah-susah gampang. Saya dibantu oleh teman-teman yang masuk dalam tim riset.
Diajak untuk jumpa darat di sebuah hotel, digiring pada percakapan erotis, adalah konsekuensi dalam riset ini. Namun ada satu hal menarik yang membuat saya bisa berkenalan dengan Older, seorang anak perempuan yang kala itu berumur 12 tahun. Sebenarnya dia masuk sebagai intermezo dalam riset saya. Older adalah seorang anak Itali dengan masa kanak-kanak yang buruk sehingga dia mengalami penyimpangan seksual. Older memiliki ayah dan ibu angkat yang termasuk golongan berada. Dia juga punya adik angkat bernama Enola. Hanya saja keluarga itu “tidak normal”. Ayah dan ibu angkatnya seorang paedofil. Older dan Enola bisa ditiduri oleh bapak dan ibunya secara bergantian. Bagi Older hal itu adalah sebuah kewajaran dan sesuatu yang tidak salah. Dia sangat menikmatinya. Dia menceritakan kepada saya setiap detil pengalaman seksualnya dengan ayah dan ibu angkatnya.
Waktu itu saya pikir Older mungkin seseorang yang menyaru dan merekayasa cerita. Dia mencium ketidakpercayaan saya. Lalu dia mengirim foto dirinya. Ternyata dia seorang gadis yang sangat cantik. Dia juga mengirim foto adiknya Enola yang tak kalah cantik. Dan yang terakhir karena dia masih merasa saya tidak percaya padanya dia mengirim sebuah foto yang membuat jantung saya hampir copot. Di foto itu dia sedang duduk di pangkuan seorang laki-laki dewasa (rekan bapaknya). Older memegang sebuah kertas yang bertuliskan “Ruwi, this is me”. Yang membuat jantung saya copot keduanya tanpa busana.
Older ingin saya menuliskan kisahnya. Saya tidak menjawab sampai sekarang. Di hari Natal dia pernah mengirimi saya uang 50 Euro via western union untuk membuat saya percaya lagi. Baginya uang itu hanya uang saku selama sehari tapi buat saya uang itu bisa membantu saya selama sebulan. Lalu karena kesibukan saya menulis novel dan kehidupan di luar dunia maya saya jadi jarang kontak dengan Older hingga akhirnya benar-benar putus. Terus terang jika saya harus menulis kisahnya saya tidak akan bisa menahan rasa mual di perut saya. Saya hanya tidak percaya bagaimana seorang gadis 12 tahun menganggap semua pengalaman seksual itu adalah sebuah kewajaran. Jujur saya tidak mampu menulisnya dalam bentuk novel sebab saya pasti teringat anak-anak saya. Lagipula saya sudah kehilangan kopian perbincangan kami di chatting dan foto-fotonya. Older, dimanapun kamu berada semoga kamu bahagia.
Kembali pada Sex On Chatting, akhirnya kami menemukan satu pemain yang bisa kami jadikan narasumber bahkan dia datang di launching novel tersebut, tanpa malu dan ragu menjawab semua pertanyaan pengunjung. Saat berseluncur di dunia chatting rasanya dada ini berdebar terus. Sebenarnya ada banyak hal di luar sana yang tidak saya mengerti.

(bersambung)

2 komentar:

  1. Mbak, saya juga jadi ikutan berdebar terus. Berasa dapet harta karun kalo bisa baca behind the scene proses kreatif penulis :)

    BalasHapus
  2. Huhhh benar2 Miris. Gak nyangka ada juga yang kayak gitu.
    Sukses terus Riset dan nulisnya Mbak. salam kenal..

    BalasHapus