Senin, 18 Agustus 2014

DIBUANG SAYANG #Kaliluna :Luka di Salamanca

Saya ingin membagi satu bab yang saya edit di novel Kaliluna :Luka di Salamanca. Pertimbangan saya waktu itu bab ini akan membuat novel ini berjalan lambat di awal. Nah, daripada dibuang saya posting saja di blog ini.




Perjalanan Yang Beku

Awal bulan Maret ini masih terasa dingin. Perjalanan  dengan bus Avanza menuju Salamanca semakin beku bagi Frida. Khaliluna tak pernah berbicara jika terpaksa. Jika anggukan atau gelengan bisa mewakili perkataan maka dia lebih memilih melakukan kedua hal itu. Frida sebenarnya juga bukan jenis wanita yang suka bicara namun demi mencairkan suasana dia rela mengobral kata-kata. Hingga dia merasa bukan lagi dirinya. Demi Khaliluna dia mau melakukannya meski dia tahu apa yang dilakukannya saat ini takkan sanggup membayar 17 tahun kekosongan.
Khaliluna tidak tahu menahu tentang dirinya. Hanya sebatas informasi terbatas jika Frida adalah ibu biologisnya. Tapi Frida tahu segalanya tentang Khaliluna. Lewat sahabat karibnya, Nadia yang selalu memberi kabar perkembangan Khaliluna dari hari ke hari. Seorang Nadia yang tak lain tak bukan adalah ibu tiri Khaliluna. Setahun setelah kepergian Frida ke Spanyol, Nadia menjadi lebih dekat dengan mantan suaminya, Ferdi. Nadia juga yang sering direpoti si kecil Khaliluna jika Fredi sedang bekerja. Hubungan mereka menjadi semakin intim karenanya, hingga Ferdi melamarnya.
Tanpa sepengetahuan Ferdi, Nadia selalu memberi kabar lewat email, mengirimkan foto-foto Khaliluna, dan kadang CD rekaman kelucuan Khaliluna yang dikirim lewat pos kepada Frida. Saat internet sudah menjadi sesuatu yang murah maka Nadia membuat akun di youtube dan mengupload video-video Khaliluna yang lebih didominasi saat Khaliluna bertanding dalam pertandingan olahraga panahan.
Nadia memang sahabat yang baik. Frida bersyukur Ferdi memilihnya. Menurut Nadia tak ada yang bisa memutus hubungan antara ibu kandung dan anaknya dan dia berupaya keras untuk terus menyambung garis merah antara Frida dan Khaliluna. Frida sangat berterimakasih karenanya. Meski apa yang diketahuinya bertahun-tahun ternyata tak bisa membuatnya mampu memahami Khaliluna hanya dalam waktu singkat. Lagipula mereka baru satu jam meninggalkan Madrid. Mereka masih punya waktu tak terbatas sebab Nadia baru saja mengirimnya sms jika Khaliluna tak pernah berniat untuk pulang.
Tapi kenapa Khaliluna memilihnya? Bukankah seharusnya dia membencinya?
“Jika kamu berniat pergi dengan laki-laki itu jangan bawa Khaliluna. Pilih salah satu. Dia atau Khaliluna. Jika kamu memilih dia maka lupakan segalanya tentang Khaliluna. Lupakan kalau kamu pernah punya anak. Aku akan mengurusnya sendiri.”
Kala itu Ferdi menetapkan dua pilihan yang sulit. Fredi merasa sudah tak ada dirinya dalam diri Frida. Maka dia mencari pilihan lain yang bisa menghancurkan Frida. Khaliluna atau Jose. Dua pilihan itu sangat berat bagi Frida dan Jose, laki-laki itu berhasil membuatnya tidak memilih Khaliluna. Pada waktu itu memilih Jose adalah hal paling baik dan paling memungkinkan bagi Frida. Lalu Fredi menutup semua kemungkinan untuk berhubungan dengan Khaliluna. Namun Nadia tidak tega. Dia membuka saluran yang semula ditutup oleh Ferdi. Berkat Nadia, Frida bisa menyentuh Khaliluna dalam gambar-gambar, video, dan kliping berita koran.
Frida menghela napas panjang bertepatan dengan Khaliluna yang mendengus pendek. Suasana  memang benar-benar membosankan. Sepanjang jalan hanya pemandangan gersang carretera[1] yang bernuansa monoton. Menuju Salamanca berarti menjauhi laut. Tak ada pemandangan biru eksotis di kejauhan.
“Kamu akan menyukai apartemenku. Letaknya di tepi sungai Tormes. Kamu bisa menghabiskan banyak waktu di sana. Menyenangkan pokoknya. Aku punya sepeda dan kamu bisa mengitari sepanjang sungai dengan bersepeda,” kata Frida dengan berusaha lebih santai,
Khaliluna tak bereaksi. Dia masih dalam posisi sama: duduk dengan memeluk ransel, memalingkan wajah ke arah jendela, mendengus beberapa kali dan jari jempol saling bergesekan dengan jari telunjuknya. Kulitnya sudah mulai terkelupas.
“Aku bekerja di restoran. Kamu bisa ikut jika kamu mau. Bosku orangnya sangat menyenangkan. Namanya Mikel .Kalau bicara sangat keras dan terus terang namun sebenarnya dia hangat dan baik hatinya.” Khaliluna hanya mendengus kecil. Frida hanya mengangkat bahu. Mungkin sudah saatnya dia menutup mulut. Khaliluna tidak terlihat nyaman dengan kecerewetannya. Frida menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang nyaman. Membicarakan Mikel membuatnya teringat dengan perbincangan mereka sebelum Frida berangkat ke Madrid.
“Sebaiknya kamu kuantar dengan mobil supaya tidak repot,” kata Mikel setengah memaksa.
“Tak perlu. Bagaimana dengan restoran?”
“Kita bisa tutup.”
“Ah tidak-tidak, aku tidak ingin restoran tutup gara-gara aku.” Tukang masak di restoran itu adalah Mikel dan Frida. Jika salah satu dari mereka tak ada restoran tetap bisa buka. Namun jika keduanya tak ada banyak langganan yang bakalan kecewa. Frida berusaha keras menolak tawaran Mikel. Dia tidak ingin membuat Khaliluna tidak nyaman dengan kehadiran Mikel sebab bagaimanapun Mikel tak hanya sekedar meminjamkan mobil. Mikel harus menyetir pula. Frida tak pernah lagi bisa menyetir sejak kejadian itu. Yah, kejadian lima tahun lalu yang membuatnya tak punya kekuatan untuk hidup. Mikellah yang membuatnya bangkit dan bertahan.
Tak terdengar lagi suara dengusan kecil dari Khaliluna. Frida meliriknya. Anak gadisnya tertidur dengan masih memeluk ransel. Frida yakin Khaliluna tidak membawa banyak barang. Frida masih punya pakaian-pakaian yang pasti muat untuk Khaliluna seandainya dia kehabisan pakaian. Frida yakin Khaliluna memang sengaja melakukannya. Gadis itu berusaha sedikit mungkin membawa barang yang hanya mengingatkannya dengan tempat asalnya. Frida paham akan hal itu. Pada dasarnya mereka dua orang wanita berbeda generasi yang memiliki kepahitannya sendiri. tanpa mereka sadar hanya itulah satu-satunya yang menghubungkan mereka terlepas dari hubungan biologis mereka.
Frida mengatur napasnya satu satu. Mereka sudah hampir memasuki Salamanca. Dari jauh sungai Tormes sudah menghadang dikangkangi jembatan kokoh Puentes Romano yang mengingatkan akan masa lampau. Tak lama kemudian bangunan-bangunan tua bermunculan layaknya sebuah kota yang muncul dari kedalaman lubang waktu dan disemaikan bersama kehangatan awal bulan April yang menenangkan. Sayang, Khaliluna tidak melihat pemandangan yang menakjubkan itu. Dia terlelap dalam mimpi tentang apel di atas kepalanya. Seseorang yang tak terlihat wajahnya sedang membidiknya dengan busur dan panah. Sebuah anak panah melesat dan membelah apel itu. Belahan apel jatuh di kedua tangannya yang teracung. Di dalam daging apel yang putih kekuningan Khaliluna menemukan sebuah mata panah dengan ukiran daun waru.





[1] Jalan tol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar