Senin, 04 Januari 2016

MENDESAIN NOVEL HOROR YANG FILMIS (1)


Pernahkah kamu membaca sebuah novel dan setelah selesai membacanya kamu merasa puas dan berkata dalam hati,”Gila, aku seperti menonton sebuah film di dalam kepalaku.”? Novel semacam ini seakan hidup dan bernapas sehingga membuatmu enggan untuk melepaskannya. Bagaimana membuat novel seperti ini? Bagaimana menulis sesuatu yang bisa menjadi film di kepala pembaca?
Pertanyaan ini juga sering menghantui saya. Kebetulan saya termasuk movie freak, terutama untuk film yang berbau thriller, horor, detektif. Film sering menjadi media pengamatan saya.
Saya lalu mencoba mengajukan pertanyaan lain. Apa sih komposisi sebuah film sehingga bisa menjadi tontonan yang menghipnotis? Akhirnya saya tidak lagi hanya sekadar menonton film. Saya lalu mencari formulanya. Saya mencari resepnya. Hal ini seumpama saya mengupas kulit jeruk lalu memisahkan satu demi satu jeruknya. Saat semua sudah terpisah saya mencoba menyatukannya kembali bahkan menempel kulitnya kembali, mencoba membuat jeruk itu bulat seperti semula. Beginilah cara kerja saya saat saya mengamati film. Dari sini saya berpikir untuk mengaplikasikannya dalam penulisan novel. 
Pada dasarnya desain untuk film dan novel sama hanya saja eksekusi dan tekniknya yang berbeda. Film lebih pada bahasa visual (visual fiction) sementara novel lebih pada bahasa narasi. Film ada pada tataran indera penglihatan, pendengaran, sementara novel sanggup mencakup semua indera sebab dia berada pada tataran imajinasi (dengan catatan novelnya harus benar-benar bagus). Jadi kali ini kita akan mencoba membahas bagaimana mendesain novel dengan bumbu seperti dalam film. Kita juga akan memfokuskan diri dalam genre horor.
Pada dasarnya semua film memiliki teori tiga babak seperti halnya teori drama. Babak 1 (Pembukaan), Babak 2 (Konflik), dan Babak 3 (penutup/solusi). Ketiganya ini memiliki variasi yang beragam tergantung dari selera kreatornya. Dalam genre horor biasanya didahului dengan konflik awal. 

A : Konflik awal (Prolog/Initial Incident)
B : Babak 1/Pembukaan
C : Babak 2/Konflik 
D : Babak 3/Penutup (Solusi)


KONFLIK pada awal disebut juga Initial incident jika dalam novel maka kita mengenalnya sebagai prolog. Initial incident merupakan suatu kejadian yang mengguncang penonton secara emosional, dalam, dan merangsang respon. Dalam film SINISTER initial incident berupa rekaman satu keluarga yang digantung bersama di sebuah pohon. Dari sini akan timbul pertanyaan siapa yang menggantung mereka? Siapa yang merekam kejadian itu? Kenapa mereka digantung? Initial incident merupakan PERTANYAAN PALING MENDASAR dari cerita tersebut. Initial incident harus dibuat sependek mungkin agar pertanyaan mendasar itu sampai kepada penonton. Apa yang terjadi selanjutnya? 
Pada perpindahan setiap babak ada garis mendatar yang merupakan transisi. Jadi seandainya kita naik motor itu semacam pindah kopling untuk selanjutnya bersiap mengegas. Dalam film, transisi ini bisa menggunakan teknik dalam perfilman yaitu dalam teknik editing. Di sini penonton akan dibiarkan bernapas sejenak sebelum akhirnya adrenalinnya digenjot kembali. 
Pada PEMBUKAAN lebih mengacu pada pengenalan si tokoh, dimana dia tinggal, tahun berapa, kondisi keluarganya, ketertarikannya. Dari situ tokoh utama bertemu dengan tokoh-tokoh lain sehingga mulai muncul masalah. Pada dasarnya karakter tiap tokoh yang berbeda akan menggerakkan plot. Di sinilah peran tokoh antagonis berperan. Dia bertugas untuk memunculkan sisi lain dari tokoh utama dan menempatkan tokoh utama pada situasi sulit. Tidak ada jalan lain kecuali tokoh utama harus keluar dari “situasi nyaman” yang tadinya dimilikinya. Dia harus memilih untuk pergi keluar, menghadapi masalahnya, menghadapi dunia barunya.
KONFLIK adalah jiwa dari cerita. Di sinilah KRISIS dan KLIMAK terbesar dari tokoh utama. Pada bagian konflik tokoh utama menghadapi masalahnya, berkonfrontasi, dan berjuang untuk meraih tujuan. Pada genre horor konflik haruslah komplek, menempatkan tokoh utama pada konflik personal dan antar personal. Sebuah krisis adalah sebuah dilema, keharusan untuk memilih. Pada saat ini tokoh utama berkonfrontasi (face to face) dengan tokoh antagonis sehingga dia harus memilih satu keputusan untuk mengambil tindakan sebagai usaha paling akhir mencapai tujuan meskipun akan mengubah seluruh hidupnya. Sementara sebuah klimak tidak harus penuh dengan adegan berdarah, keributan, bunuh-bunuhan, penuh dengan spesial efek, fotografi yang keren. Pada dasarnya klimak harus penuh dengan makna. MEANING PRODUCES EMOTION. Klimaks merupakan perubahan nilai dari negatif menuju positif, positif menjadi negatif, tanpa ironi menjadi ironi. Krisis dan klimak pada sebuah film biasanya terletak di akhir scene babak kedua (konflik).
Dan bagian terakhir adalah PENUTUPAN dimana pelaku utama menemukan solusi untuk masalah yang dihadapinya. Bisa dengan memunculkan orang ketiga sebagai deux et machina bisa juga dengan kekuatan lain misalnya dalam film Insidious 3 deux et machina adalah arwah ibu si tokoh utama. Dalam penutupan ada false solution dan true solution. False solution adalah sesuatu yang nampak seperti solusi namun bukanlah solusi sebenarnya (true solution).

1 komentar: