Aku akan menghabiskan akhir minggu ini layaknya seorang pencuri.
Maksudku bukan dalam artian sebenarnya. Hanya saja aku harus bersikap hati-hati
karena aku ingin menghindari seseorang. Percayalah dia layak untuk dihindari dan dia tidur di
depan kamar kosku. Jadi, kunci dari sukses petualanganku hari ini dimulai dari
membuka pintu kamar. Aku harus melakukannya secara hati-hati.
“Sedang
menghindari seseorang, Chino?”
Aku
hampir saja terjatuh mendengar suara itu. Aku menoleh ke samping. Marta berdiri
di sana dengan senyum lebar. Dia tukang masak di rumah kos ini. Namaku bukan
Chino tapi karena Marta kesulitan memanggil nama asliku dia memilih memanggilku
Chino (sebutan untuk laki-laki Cina). Dia
pikir semua orang Asia itu orang Cina.
“Joder,
kamu mengagetkanku.”
Mata Marta terbelalak lalu sedetik kemudian
dia menyemburkan suara tawanya yang khas.
“Apa
di universitas kamu diajari mengumpat?” tanya Marta.
“Ehm…tidak.
Aku mendengar dari orang-orang.”
“Lalu
kenapa kamu pergi sepagi ini?”
“Aku
ingin berjalan kaki ke Benteng Santa Barbara dari sini.”
“Itu
jauh sekali Chino. 13 kilometer dari sini. Pantas saja tasmu kelihatan berat. Kamu
pasti membawa galon air di sana,” ejeknya. “Jadi, kenapa kamu tidak mengajak
China?” Nah, inilah bagian yang paling tidak kusuka. Seperti halnya Marta yang
memanggilku Chino dia juga memanggil Seseorang Yang Kuhindari itu China.
Bedanya Marta itu adalah sekutu China. Dia selalu saja membelanya.
Nama aslinya sebenarnya Ratih. Kami sama-sama
penerima beasiswa kursus musim panas belajar bahasa Spanyol di Alicante. Tahun
ini ada empat orang yang diterima. Rico dan Dahlan, dua teman kami yang lain
memilih Santander untuk tempat kursus. Mungkin aku tidak selalu mencari alasan
untuk menghindarinya jika saja sikapnya tidak membuatku alergi. Menurutku Ratih
itu seperti putri negeri dongeng yang suka merengek dan manja sekali.
“Aku
harus pergi, Marta. Chao,” kataku tanpa menjawab pertanyaannya. Aku
bergegas keluar dari rumah kos berlantai dua yang terletak di daerah San
Vicente del Raspeigh. Aku melihat ke jalan. Perayaan Las Hogueras de San Joan
mulai terasa. Di setiap distrik mereka mendirikan hoguera atau semacam seni
instalasi yang diajukan untuk lomba. Aku jadi ingat dengan perayaan 17 Agustus
di kampungku. Setiap gang masuk pasti dipasangi umbul-umbul dan hiasan.
Aku
melewati jalan Alicante, jalan Novelda, jalan Alcoy, Calderon de la Barca,
hingga sampai di Alfonso del Sabio. Satu setengah jam kuhabiskan dengan
berjalan kaki. Dari titik terakhir itu aku hanya tinggal berjalan beberapa
menit sampai tiba di pantai berpasir putih San Juan yang nyaris tanpa ombak dan
bersuhu hangat. Biasanya jika ingin berjalan di kota Alicante aku naik bus
jalur 24 dan aku menghabiskan waktu sekitar 17 menit. Aku harus berhemat sebab setelah kursus berakhir aku ingin
melakukan traveling sampai Santander menemui kedua temanku yang lain. Di utara
udaranya lebih bersahabat.
Seseorang menepuk
bahuku saat aku duduk melepas lelah di depan ayuntamiento yang menghadap laut. Aku tersenyum lebar saat temanku, Javier yang
berasal dari Puerto rico datang. Segera aku mengambil bungkusan di dalam tasku
dan menyerahkan padanya.
“Seperti
kesepakatan,” kataku
“De
acuerdo, chao,” katanya lalu menghilang ke arah Puerto.
Aku
menghela napas panjang. Bayangan keuntungan meliuk-liuk di mataku lalu aku
melihat ke atas bukit Benacantil. Di sana benteng Santa Barbara berdiri megah
siap untuk kujelajahi.
“Gempar,
sepertinya kamu suka membuat ulah seperti namamu ya?”
“Kamu?
Ngapain pagi-pagi sudah ada di sini. Dan bagaimana kamu bisa kemari?”
“Aku
menumpang mobil Carlos. Dia mau ke Benidorm. Jika kamu pergi tidak terlalu pagi
mungkin kamu tak perlu jalan kaki.”
Sial,
umpatku dalam hati. Carlos adalah pemilik kos kami. Ratih mengerling penuh
kemenangan. Aku yakin dia sedang menertawakan jerih payahku yang berjalan dari
San Vicente del Raspeigh sampai Alicante.
“Jadi
apa isi bungkusan tadi?”
“Bukan urusanmu,” kataku sambil berdiri. Ratih menjejeriku.
“Aku
tahu kamu menjual sesuatu untuk tambahan dana buat pergi traveling bersama Rico
dan Dahlan. Kalian tidak mengajakku?”
Aku
melirik payung lipat yang dipegangnya lalu menggelengkan kepala. Setiap hari dia
selalu membawa payung seakan dia takut musim panas yang suhunya bisa sampai 40
derajat ini bisa membakar tubuhnya. Tapi ini Alicante. Semua orang menyukai
matahari. Berjalan dengan payung mekar di tengah jalan hanya membuatmu terlihat
seperti orang bodoh. Dan aku tidak
mau berjalan di samping orang bodoh.
“Chao, China,”
kataku sambil melambaikan tangan. Bibir Ratih langsung terlipat dan dia
menggeram,”Namaku Ratih bukan China.”
Aku meninggalkan
Ratih begitu saja. Dengan santai aku berjalan mengelilingi Plaza Mayor lalu mengitari Casco
Viejo sebelum mulai mendaki bukit Benacantil. Aku tidak terlalu buru-buru hari
ini. Berjalan menaiki bukit Benacantil tidak terlalu berat. Ada jalan melingkar
yang melilit di punggung bukit. Setengah perjalanan saja aku bisa melihat
pantai pasir putih yang panjang dengan deretan kapal berwarna putih.
“Ngapain cewek centil itu di sana?” desisku. Aku melihat sebuah payung
mekar di bawahku. Ratih sedang bercakap-cakap dengan seseorang pasangan lanjut
umur. Mereka tertawa-tawa sementara Ratih menggambar sesuatu di buku sketsa. Kemana-mana dia selalu membawa buku itu selain
payungnya tentu saja. Aku melengos dan melanjutkan perjalananku. Selama tiga
jam aku mengitari benteng. Sengaja aku berlama-lama sebab aku menunggu jam
makan siang. Aku janjian dengan Javier di pantai San Juan.
Lima
menit sebelum jam makan siang aku sudah sampai di pantai. Dari jauh Javier
melambaikan tangan. Namun tiba-tiba tanganku dicekal seseorang.
“Gempar,
Jangan ke sana!”
“Kamu
lagi! Nguntit aku ya!” seruku marah. Putri dari negeri dongeng itu sudah ada di
depanku.
“Siapa
yang nguntit kamu! Lihat tuh!” Ratih menunjuk
ke arah Javier. Dia sudah lari tunggang langgang bersama penjual lain. Sebagian
barang dagangannya masih ada yang tertinggal. Aku melihat barang yang
kutitipkan padanya ada di sana. Dadaku bergemuruh. Dari arah lain beberapa polisi wisata
mengejar mereka. Memang, lebih baik meninggalkan dagangan daripada harus
dideportasi jika tertangkap. Seorang polisi lain membawa barang dagangan yang
masih tertinggal. Badanku langsung lemas. Bayangan keuntungan lenyap sudah.
“Menitipkan
barang dagangan pada penjual ilegal itu bodoh sekali. Kamu mau dideportasi huh?
Emang apa sih yang kamu titipin ke dia?”
“Bukan
urusanmu,” desisku. Aku memang sengaja kulakan gelang dan kalung di Yogya
sebelum berangkat ke Spanyol. Gelang dan kalung itulah yang kutitipkan ke Javier.
Minggu lalu aku membawa sedikit barang dan Javier bisa menjualnya semua. Hari
ini aku membawa semua barang yang kupunya. Tapi sungguh apes nasibku. Javier pernah
bilang dia tidak bisa kembali berjualan di tempat yang sama selama dua minggu
setelah razia. Padahal aku tidak tahu dimana dia tinggal dan seminggu lagi aku
sudah harus pergi dari Alicante. Ratih hanya mengedikkan bahu lalu dia
menghitung recehan dan beberapa lembar uang kertas di tangannya dengan gaya
dibuat-buat.
“Minggu
lalu aku cuma dapat separuh. Tapi karena tadi ada pasangan dari Swiss baik hati
dan membeli sketsaku 20 euro jadi aku berhasil mengumpulkan 35 euro.
Fantastis.”
“Tunggu
dulu? Jadi kamu juga cari tambahan uang? Huh dasar licik.”
‘Tapi cerdik. Nggak kaya kamu. Seharusnya kalian ajak aku juga
untuk traveling. Aku selalu punya cara untuk cari uang tambahan. Hanya modal pensil, buku gambar, keahlian menggambar,
dan ilmu komunikasi.”
Aku semakin mengumpat dalam hati. Hari ini dia mengalahkanku dengan telak.
Semula Ratih menatapku dengan cara yang meremehkan namun kemudian pandangannya
berubah. Lebih lunak.
“Begini, aku juga kepengen keliling Spanyol
dan melukis setiap tempat di buku sketsaku tapi aku terlalu takut pergi
sendirian. Ajaklah aku.”
“Apa keuntunganku mengajakmu?”
“Kamu baru saja tahu keahlianku cari uang. Itu
sangat membantu perjalanan kita nantinya.”
Aku benci mengakuinya tapi dia memang benar.
“Ada syaratnya?”
“Apa?”
“Jangan merengek kepanasan dan jangan ada
payung.”
“Tapi…”
“Setuju atau tidak sama sekali.”
Ratih mengulurkan tangan dan aku menyambutnya.
Aku tidak percaya telah setuju bepergian dengan Putri perengek. Apa yang akan
terjadi bulan depan aku tidak bisa membayangkannya. Semoga saja menjadi
perjalanan yang paling hebat dalam hidupku.
CATATAN : dimuat di Majalah HAI no 40 6-12 Oktober 2014
Salam kenal mbak ruwi, saya suka jalan ceritanya
BalasHapus