Saat malam menjelang
aku dan Moon memanjat loteng rumah yang jika musim panen selalu penuh dengan
jagung kering. Dari jerjak kayu yang mengarah ke depan, kami bisa memerhatikan
jalanan desa yang lengang tanpa ada yang tahu. Loteng itu sangat gelap. Kami
hanya diam saja sambil membaui sisa jagung kering yang telah lama tak lagi
menyumpal loteng ini. Tanah desa kami sekarang hanya mau menumbuhkan belukar
yang tak berguna. Para penduduk malas bercocok tanam sebab emas di pegunungan
lebih menguntungkan.
Suara orang tertawa
terdengar di kelokan jalan. Hanya dengan memejamkan mata aku tahu siapa dia.
Tanpa dikomando kami menahan napas saat Tumper dan teman-temannya lewat di
depan rumah. Mereka baru saja pulang dari gunung menjaga tambang emas. Tangan
mereka memain-mainkan senapan dengan gaya yang memuakkan. Mereka tertawa lebih keras saat sampai di
depan rumah kami. Ghande dan Puyang mendorong-dorong Tumper sambil sesekali
menunjuk rumah kami. Hidungku mulai gatal. Rasanya ingin bersin. Segera kutekan
telapak tanganku pada tonggak kayu yang tajam.
“Rasa sakit bisa mengalihkan perhatian,”
kata ibuku setiap dia menasehati kami supaya tak mudah terbawa emosi membara
masa remaja. Benar saja rasa sakit itu kini menguasaiku dan aku melupakan
keinginan untuk bersin. Aku tak ingin Tumper tahu jika aku berada di
atas sini, mengawasinya. Kudengar suara Ghande yang keras seperti kentut yang
tak tahu malu.
“Kamu mengaku
sajalah. Lagipula dia cantik seperti buah pir.” Puyang tertawa
terpingkal-pingkal. Ghande mendorongnya lalu meninggalkan Tumper dalam ejekan
dan selorohan. Dadaku makin sesak ketika Tumper memandang rumahku dengan
tatapan yang sama saat menatapku di hutan pagi tadi. Tubuhku menggigil.
“Ada apa dengan
Tumper?” tanya Moon.
“Kita di sini bukan
untuk membicarakan Tumper. Kita di sini untuk mendengarkan apa yang Jaelani
bilang padamu.”
Moon menggeser
tubuhnya. Suara gemerisik punggungnya terdengar berat. Sepertinya berat bdan
Moon naik beberapa kilo. Aku jadi
teringat kendi-kendi susu yang harus kami habiskan besok.
“Dia bilang…” Moon tak meneruskan
perkataannya.
“Moon jangan membodohi aku. Aku memang
tak bisa bahasa gagak namun aku bisa mencium masalah.”
“Dia mengajakku
menari di hutan saat pesta raya nanti dan dia akan merekamku.”
“Kalian gila.”
“Takkan ada yang melihat. Semua orang
sedang asyik dengan pesta. Takkan ada yang pergi ke hutan. Dia mau Kakak ikut
juga.”
“Buat apa dia merekamnya?”
“Kamu masih ingat kan dia menyebut soal
youtube?”
Aku mendengus. Mana aku ingat istilah
sebanyak itu. Lagipula saat itu Jaelani mencerocos cepat sekali.
“Entahlah, aku bahkan tak tahu apa yang
dia omongkan waktu itu.”
“Dia akan memasang
rekaman itu di youtube.”
“Untuk apa?”
“Supaya dunia tahu
jika perempuan-perempuan desa kita bisa menari.”
“Kenapa dunia harus
tahu sementara para tetua sangat repot menutupi dunia kepada kita, anak
perempuan?”
“Dunia melihat desa
kita sebagai desa yang jahat begitu kata Jaelani. Dia ingin menunjukkan bahwa
apa yang dipikirkan dunia salah. Anak perempuan juga bisa menari di sini.”
“Ya anak perempuan
memang bisa menari tapi mereka tidak boleh menari. Itu dua hal yang berbeda.”
“Kak, ini penting
untukku.”
Aku mencium nada
keputusasaan dalam suara Moon.
“Katakan terus
terang apa yang Jaelani janjikan untukmu?”
“Dia bilang jika
dunia menyukai tarianku ada banyak orang yang bisa membantuku untuk belajar
menari dan menjadi penari terkenal.”
“Kamu tahu Moon, itu
tak semudah apa yang dikatakan Jaelani.”
“Jaelani bercerita
padaku tentang seorang gadis di kota yang suka menulis. Apa yang dia tulis
sangat luar biasa. Menurutnya anak perempuan juga boleh bersekolah tinggi
seperti laki-laki, membaca buku apapun, menulis sebebas apapun. Dunia sudah
mengenal tulisan-tulisannya. Orang-orang itu menjadi resah. Mereka lalu
memberondong gadis itu dengan tembakan saat dia pulang sekolah. Ajaib anak itu
hidup. Dunia mendengarnya dan semua negara di seluruh dunia menawarkan bantuan
untuk menyelamatkan gadis itu. Dia selamat dan sampai sekarang terus berjuang,
terus menulis, terus bersuara. Dia seperti air yang sukar dibendung. Dia sudah
pernah diberondong peluru dan kali ini tak ada peluru yang membuatnya takut.”
“Lalu apa hubungan
gadis itu dengan tarian?”
“Gadis itu bisa saja
aku. Bisa juga Kakak. Dalam diri kita tersimpan jiwa yang resah. Aku ingin
menari agar dunia bisa menolongku agar aku bisa menari kapan dan dimana saja
tanpa ketakutan. Dan Kakak bisa menjadi badut. Tersenyum dan tertawa sesuka
Kakak.”
“Lalu bagaimana jika
langit benar-benar runtuh, mata air mengering, dan emas tak ada lagi?”
“Kakak tahu benar
emas itu pasti bakalan habis. Mereka menambangnya dengan kesetanan. Dan jikapun
langit runtuh apa salahnya jika itu bayaran dari terlepasnya ketakutan kita?”
Aku mendesah.
Bagaimana aku tak tahu Jaelani sudah meracuni adikku sedemikian rupa?
“Lalu apa rencanamu?”
“Pesta raya sebulan
lagi. Aku akan berlatih menari supaya hasil rekamannya bagus.”
“Latihan menari?
Dimana?”
“Di sini. Tiap
malam.”
“Lalu dengan cara
apa kamu bisa menyembunykannya dari ibu?”
“Jangan khawatir aku
akan menari tanpa berisik. Ibu takkan tahu. Kamu akan membantuku supaya rahasia
ini tetap terjaga.”
“Moon apa aku bisa mencegahmu?”
“Aku sendiri tak
mampu mencegahnya lalu bagaimana Kakak bisa?”
***
Seminggu sebelum
pesta raya Moon tetap berlatih tanpa lelah. Sesuai janjinya dia berlatih tanpa
berisik. Malam ini Moon berkata jika dia tidak enak badan dan meringkuk di
tempat tidur padahal sebetulnya dia sedang berlatih menari. Beberapa hari terakhir
ini Moon kerap terjatuh. Dia pasti sedang melatih gerakan-gerakan yang sulit. Suara
ribut mulai terdengar di loteng. Kuharap malam ini dia tidak memaksakan diri.
BRAKKK…
“Apa itu?” tanya ibu
yang sedang memisahkan anggur terbaik dengan anggur jelek. Kami harus membuat
minuman anggur untuk pesta raya. Para tetua selalu berkata anggur yang terbaik
dan tercurah akan melimpahkan emas di pegunungan desa ini. Bagaimana emas bisa
terus berlimpah jika mereka terus mengambilnya? Emas bukan tanaman yang bisa
dipanen setiap musim. Emas hanya bongkahan batu yang takkan mengenyangkan jika
dimakan.
“Ehmm sepertinya
tikus-tikus itu semakin garang Bu,” kataku. Sebisa mungkin aku harus menjaga adikku.
“Bagaimana mungkin
tikus bisa berada di atas. Sudah lama kita tidak menyimpan jagung di sana.”
“Mereka pasti kelaparan hingga jadi
garang.”
Ibu mendesah. Badannya yang begap dan
beberapa jumbil lemak bergelantungan di leher, pipi, dan perutnya tampak begitu
besar di mataku. Layaklah ayahku mengambilnya sebagai istri kedua. Tubuh
seperti ibuku adalah impian laki-laki dewasa di desa ini. Namun dia tak pernah
terlihat bahagia. Ya baiklah, kami memang tak pernah tersenyum dan selalu
memasang wajah dingin namun kebahagiaan takkan bisa menipu jika kalian melihat
matanya. Di sana hanya ada tanah gersang
dan kerapuhan. Ibuku selalu bermimpi memiliki ladang luas penuh jagung dan
tanaman lain. Tangannya yang berwarna akar itu sangat dingin. Sayang, ayah
hanya mengijinkannya menanam anggur. Itu juga alasan ayah menikahinya sebab
ibuku bisa menghasilkan anggur yang sangat banyak. Desa ini harus
dibasuh dengan anggur pada pesta raya agar penuh kelimpahan. Begitu sabda
ayahku yang selalu didengungkan ke setiap penjuru desa.
“Ibu muda, aku
kemari untuk menanyakan soal persediaan anggur,” seru sebuah suara. Dia muncul
dari pintu dapur. Wajahnya yang pucat dan mata merahnya itu selalu membuat mual
perutku. Senapan itu juga terpanggul di punggungnya. Cuih, hanya untuk
menanyakan persediaan anggur saja dia berjaga-jaga seperti singa lapar.
Jangan-jangan tiap malam dia mengelus-elus senapan itu dalam peraduannya. Huh
membayangkannya saja perutku kembali bergolak.
“Jangan khawatir
Tumper Kasun. Ada banyak anggur untuk tahun ini,” kata ibuku.
BRAKKK…
Suara itu terdengar
lagi. Tubuhku menegang. Moon jangan lakukan
lagi. Tolong berhentilah, seruku dalam hati. Kulihat tubuh Tumper menjadi
waspada. Secara spontan dia menyiapkan senapannya.
“Itu hanya tikus,”
kataku dengan terbata.
“Suaranya dari
loteng.”
“Apa kamu bersedia
mencarinya untuk kami? Sudah pegal rasanya telingaku mendengarnya,” kata ibu.
“Biar aku yang
mencarinya,” tukasku.
“Hah? Sejak kapan
kamu berani dengan tikus?” kata ibuku.
“Biar aku saja,”
kata Tumper berlagak seperti pahlawan di depan ibuku. Mau tak mau aku membuntutinya. Ngeri aku
melihat senapannya yang membega ke depan. Moncongnya itu
terlihat lapar.
Pelan-pelan Tumper
naik ke tangga kayu yang mengarah ke loteng. Hatiku tak karuan. Semoga Moon sudah turun.
Namun aku mendengar suara berderit. Sepertinya Moon masih di atas.
“Itu hanya tikus!” seruku memberi tanda
pada Moon. Tumper menoleh dengan wajah galak
“Kamu bisa membuat mereka lari!”
bentaknya.
Tumper bergerak ke atas lagi. Moncong
senapannya terarah ke atas. Dadaku bergejolak kencang. Pikiranku terarah pada
Moon. Bagaimana jika dia masih di sana dan Tumper mengiranya tikus? Loteng itu cukup gelap. Bagaimana Tumper
bisa membedakannya?
Tiba-tiba Moon berteriak,”Jangan tembak.
Ini hanya aku! Moon!”
Seketika aku menahan napas.
“Apa yang kamu lakukan di sana?” selidik
Tumper.
“Jauhkan moncong senapanmu. Kamu
membuatku takut!”
“Cepat keluar dari
sana,” seru Tumper.
Tumper segera turun.
Senapannya sudah terpanggul di punggungnya kembali. Meski senapan itu tak membidik namun
hatiku masih tak karuan. Bagaimana jika dia mencari tahu apa yang
dilakukan Moon di atas?
Lalu wajah Moon
muncul. Dia mengacungkan sesuatu.
“Aku di atas mencari
bangkai tikus. Lihat! Besar sekali kan?”
Kakiku menggigil
melihat bangkai tikus yang terkulai lemas. Kepalanya hancur. Moon mencepit
tubuhnya dengan dua kayu panjang.
“Cepat buang bangkainya!” seru Tumper
jijik.
Moon turun lalu melewatiku sambil
mengerlingkan matanya. Aku terkesiap. Betapa hidup matanya, betapa
segar wajahnya. Latihan-latihan menari itu sudah mengubah jiwanya. Aku tak
menyadarinya hingga saat dia mengerling padaku. Racun kotak cahaya itu pasti
sudah membekapnya.
Tumper menoleh
padaku yang masih gemetaran. Matanya menyelidiki seluruh tubuhku. Senyumnya
menyungging dengan sinis.
“Hanya bangkai
tikus. Lalu kenapa kamu masih gemetaran saat bangkainya sudah dibereskan?”
Aku memalingkan
wajah.
“Jangan pernah
menyembunyikan apa-apa dariku!”
***
Bau anggur mewangi
di seluruh rumah kami. Semua kendi sudah terisi. Perayaan sudah siap di depan
mata. Sementara itu Wajah Moon sesegar bunga bakung. Setiap hari aku
mencekokinya dengan ramuan daun mondokaki namun tak ada perubahan di wajahnya.
Dia seperti musim semi yang tepat waktu. Tak ada yang bisa menundanya. Niatnya
sudah bulat. Dia ingin menari di hutan di bawah pohon trembesi. Seandainya aku
bisa membunuh nyala api di matanya. Tapi bagaimana bisa? Kupikir matahari sudah
mangkir di sana. Tak ada yang berani membunuh matahari di desa kami lalu
bagaimana aku bisa membunuh matahari di matanya? Sama saja aku membunuh
hidupnya, jiwanya. Moon adalah segalanya bagiku. Dia adik perempuanku.
Seseorang yang tak pernah membuatku menangis atau tertawa. Dia alasan bagiku
menjalani kehidupan di desa Tarian Hujan.
“Aku akan menari di sini
besok,” kata Moon. Dia membuka cadarnya dan membiarkannya berjulai di lehernya.
Matanya indah sekali dan tak lepas-lepas
senyum itu melengkung. Aku hampir tak mengenal dia. Wajahnya bukanlah yang
selama ini kukenal. Atau jangan-jangan justru selama ini wajah
yang kukenal bukanlah dia yang sejati?
“Kamu ingin tahu tarianku?”
Aku cepat-cepat menggeleng.
“Tak usah takut. Orang-orang sedang sibuk
mempersiapkan pesta raya untuk besok.”
“Moon, aku khawatir.”
Moon memegang tanganku lalu menyentuh
wajahku,”Kak, ini sangat penting untukku. Aku lelah berdusta. Aku lelah
memasang wajah yang bukan diriku.”
“Tapi ini sangat
berbahaya. Tumper mengawasi kita.”
“Tidak. Dia
mengawasi Kakak,” kata Moon dengan mantap.
“Kamu tahu?”
tanyaku.
“Tentu saja aku
tahu. Aku remaja seperti Kakak. Aku tahu apa
yang dia inginkan dari kakak. Sungguh dia belatung sialan.”
“Jadi jangan menari sekarang. Dia pasti
sedang mengawasiku. Aku besok juga takkan datang menemanimu. Ibu bisa curiga jika
kita tak ada di dalam pesta. Aku akan berusaha menutupi jejakmu dan mengawasi
Tumper.”
“Jadi hanya aku dan
Jaelani?”
“Dengar Moon, jika dia macam-macam
denganmu aku akan membunuhnya.”
Moon hampir tercekik
karena berusaha menahan tawa.
“Jangan khawatir
Kak. Dia tidak tertarik denganku. Ide soal kebebasan ini sudah membuatnya
sibuk. Gadis kota yang ditembak itu sangat menginspirasinya. Jaelani selalu
mengikuti tulisan-tulisannya. Dia takkan macam-macam. Lagipula dia tak tertarik
padaku. Dia suka pada Kakak.”
Darah mengalir cepat
dan berputar di pipiku.
“Moon…”
“Pipi Kakak merah,” kata Moon sambil
menyentuh pipiku.
“Aku kedinginan,” jawabku.
“Tak apa Kakak menyembunyikan perasaan asal
Kakak jangan bohong.”
Moon terkikik pelan.
“Sebegitu pentingkah ini untukmu Moon?”
“Sepenting napas yang kuhirup.”
“Hati-hati Moon. Hanya kamu satunya
milikku.”
Moon memelukku dan bisa kudengar gemuruh
di dadanya siap meledak.
“Berjanjilah untuk
selalu memakai cadar.”
***
Pesta raya. Pesta
untuk para laki-laki dan tetua desa. Para perempuan adalah pelayan yang
menumpahkan anggur di dalam gelas mereka. Saat malam merayap laki-laki dewasa
akan mendekap istri-istri mereka dalam rayuan malam yang berbau anggur. Semakin nikmat malam berbalut anggur
mereka pikir alam akan ikut mabuk. Batu akan berubah menjadi emas saking
girangnya. Kemakmuran akan mengalir seperti air gunung segar. Antara kebenaran dan
omong kosong tak terasa bedanya di desaku.
Pagi sampai sore
adalah saat para laki-laki menari dengan tubuh limbung dan mulut bau. Tawa
mereka memecah sunyi dan menghalau angin pegunungan. Aku sejak pagi
berjaga-jaga, mengawasi Tumper dan teman-temannya. Mereka telah mabuk dan
mengoceh seperti gagak. Sungguh liar hari ini. Keliaran yang selalu membuat
perutku mulas.
Moon sudah sejak
pagi tadi menyelinap ke hutan. Beberapa saat kemudian kulihat Jaelani mulai
mundur perlahan dan berlari ke hutan. Mereka sudah berjanji dalam keriuhan
pesta yang buta ini mereka akan membuat sejarah. Sepertinya Tumper tak melihat mereka. Dia sibuk
dengan mabuk kepayang yang melenakan ini. Anggur ibuku adalah anggur terbaik
yang dibuat dari tangan terbaik. Tanganku.
Hatiku berdetak kencang saat Tumper
melirikku. Sepertinya dia tahu aku mengawasinya. Cepat-cepat aku membuang muka
dan pura-pura sibuk dengan kendi-kendi anggurku. Rupanya tidak berhasil. Tumper
malah mendatangiku. Predikatnya sebagai kakak tiri membuatnya leluasa
mendekatiku. Tak masalah bagi tetua karena kami satu darah. Darah ayahku.
“Kenapa kamu mengawasiku? Apa kamu sudah
melihatku dengan lebih jelas,” katanya dengan nada sombiong.
“Sebagai apa?”
“Sebagai laki-laki.”
Aku mendengus.
“Kenapa kamu tidak
hentikan pikiran najis itu dari kepalamu?”
“Aku tak ingin menghilangkannya. Terlalu
nikmat untuk dihilangkan. Pastilah kamu senikmat anggur yang kamu buat. Manis dan
memabukkan.”
“Aku perempuan terhormat. Berhentilah
bicara kotor padaku,” sentakku.
“Justru itulah kamu
pantas bagiku. Jaelani hanya pemuda bodoh yang mabuk dengan dunia dan
kebebasan. Dia pikir dia lebih pintar dari senapanku. Cuih!”
“Tidak ada hubungannya
dengan Jaelani.”
“Kamu pikir aku tak
punya mata? Kamu pikir aku bukan laki-laki yang tak paham bagaimana Jaelani
menatapmu?”
“Bukankah kalian
laki-laki bisa bebas menatap apapun yang kalian suka. Aku tak ada urusannya
dengan ini. Pergilah. Kamu mengganggu pekerjaanku. Ayah bisa murka jika
kendi-kendi ini tak diisi anggur.”
Tumpar terkekeh. Dia hendak melangkah
namun dia membatalkannya. Matanya mengedar ke sekelilingnya. Tubuhku menggigil.
“Dimana Moon?”
“Dia mencari kayu
bakar.”
“Tanpamu?”
“Aku harus mengurusi anggur-anggur ini,”
jawabku setenang mungkin.
“Ehmmm aku bisa menemanimu untuk
menyusulnya.”
“Tak perlu. Moon sudah besar. Dia bisa sendiri.”
Tumper terkekeh lalu
menyambar kendi di depanku dan menenggaknya langsung. Kakiku gemetaran dari
balik baju panjangku. Langit sepertinya mengetahuinya dan mencurahkan hujan. Tumper
malah kegirangan. Dia mengangkat tangan dan mengguyurkan anggur ke dalam
mulutnya. Air berwarna jerau yang menetes dari pinggir mulutnya seperti darah.
Mendadak hatiku jeri. Mataku menoleh ke arah hutan. Moon belum muncul.
Kuhabiskan sisa hari
dengan langkah berat. Kecemasan terus menggerogoti jiwaku. Tumper sekarang
ganti mengawasiku. Layaknya kendi anggur yang terus menempel di mulutnya.
Matanya juga lekat padaku. Kupikir kecemasanku akan usai saat tiba-tiba Moon
muncul dari arah hutan dengan baju basah. Dia pasti kehujanan. Kupandang
wajahnya. Dia benar-benar berubah. Sesuatu telah melepas rantai-rantai jiwanya
dengan sempurna. Dia seperti seorang dewi yang berlari di antara hujan yang
tumpah. Seharusnya aku lega melihatnya. Sayang sekali kecemasan ini tidak juga
pergi malah semakin mendesak-desak tulang rusukku hingga ngilu.
***
Pesta usai sebelum
waktunya. Seharusnya pesta ini berlangsung selama tujuh malam namun tiga hari
saja umurnya. Sebuah kabar buruk segera mencekam desa. Tetua baru mendapat
surat dari pemerintah. Isinya adalah perintah untuk menghentikan segera
penambangan emas. Mulai hari ini tambang-tambang ini akan diambil alih negara.
Di sepanjang jalan semua orang berubah tegang dan murung. Anggur yang tertumpah
kala pesta tak bisa menghentikan kabar buruk ini.
Satu orang yang paling geram tentu saja
ayahku. Dia bahkan meninggalkan peraduan istri ketiganya demi
mengumpulkan semua laki-laki dewasa di desa ini lengkap dengan para tetua.
Kudengar suara teriakan-teriakan mereka dari arah rumah musyawarah yang
terletak di depan rumahku. Aku dan Moon mengintip dari loteng.
“Ini akibat karena
kamu menari Moon,” gumamku.
“Ini tak ada
hubungannya dengan tarianku. Salah mereka sendiri merusak pegunungan dengan
membabi buta. Lama-kelamaan mata air itupun bisa teracuni gara-gara ulah
mereka. Mereka juga saling bunuh dengan penduduk desa tetangga hanya untuk
mempertahankan emas di pegunungan. Sudah
waktunya pemerintah ambil alih.”
“Moon, aku takut.”
“Kak, seharusnya
kamu melihat aku menari. Indah
sekali. Aku melihat rekamannya. Mungkin tarianku sudah membius dunia. Mereka
akan tahu siapa aku. Lihatlah langit tidak runtuh dan sumber tidak kering. Itu
semua hanya isapan jempol belaka untuk menutupi kehormatan mereka yang palsu.”
“Moon hentikan. Kamu
bicara seperti orang gila.”
“Aku bicara tentang
kebebasan Kak. Di saat orang-orang di bagian lain bumi ini bisa menikmati kebebasan
kenapa tidak dengan kita?”
“Kita punya aturan.
Kita punya agama.”
“Mereka juga. Sama
seperti kita. Lalu apa bedanya?”
“Jaelani sudah
meracunimu. Kotak cahaya itu juga.”
“TIdak ada yang
meracuniku. Merekalah yang telah meracuni kita dengan keserakahan. Lihat apa
yang mereka dapat sekarang? Lihat!”
Airmataku meleleh
saat melihat api di mata adikku. Betapa segar masa mudanya. Betapa rekah bunga
di hatinya. Kebebasan adalah humus bagi ladang-ladang jiwanya. Moon hendak
melap airmataku namun tiba-tiba pintu kami digebrak dari luar.
“Moon! Mana gadis terkutuk
itu! Mana?”
Tanganku spontan
mencengkeram lengan Moon.
“Mereka tahu Moon!
Mereka tahu!”
“Aku sudah tahu
risikonya biarlah mereka mencambukku. Aku akan terus menari.”
“Moon hentikan. Biar aku yang menghadapi
mereka. Kamu diamlah di sini. Biarlah aku yang mengaku.”
“Kak..”
“Ini perintah.”
Aku segera turun ke bawah. Di sana aku
mendapati ibuku menangis. Tubuh begapnya tampak kerdil di mataku.
“Sangre…mana Moon?”
bentak Tumper.
“Dia tak ada. Ada
masalah apa?”
“Diam-diam dia
menari di hutan.”
“Bukan, itu bukan Moon. Itu aku,” belaku.
Tumper tertawa.
Tangannya menunjukkan kotak cahaya di hadapanku. Di sana Moon menari dengan
sangat indah. Kakinya mengentak di antara lumpur dan air hujan. Tangannya
melukis hujan. Wajahnya tengadah dan bersuka. Tanpa cadar. Ya, dia memang Moon.
“Kamu mau membela
siapa? Semua sudah jelas di sini.”
Aku melihat di
belakang Tumper para tetua berdiri dengan angkuh. Ayahku juga berada di sana
dengan wajah berang. Mereka semua berkerbat kain putih di kepala. Ini sebuah
tanda penyucian bagi desa.
“Lepaskan aku!Lepaskan aku!”
Aku menoleh. Moon meronta. Kedua
tangannya dipegang Puyang dan Gandhe.
“Lepaskan dia! Aku
mau menggantikan hukumannya.”
“Bawa dia!” seru
Tumper tanpa mempedulikanku. Mereka menyeret Moon tanpa ampun.
Ibuku tak kuasa
mencegah. Dia memilih ambruk daripada mempertahankan Moon. Cerita tentang telur
di atas paku itu memang benar. Ibu ingin membersihkan kehormatan keluarga
dengan hukuman atas Moon.
“Ayah, jangan
lakukan ini pada Moon. Dia hanya anak kecil,” seruku.
“Justru itu karena
dia masih kecil semua ini harus ditangani lebih dini. Semakin cepat semakin
baik. Sebelum nyala api itu membesar dan menghanguskan dia dalam dosa.”
“Dia hanya menari.
Dia tidak menyakiti orang.”
“Dia sudah merampas
emas-emas kita.”
“Kakak!” jerit Moon. Aku menoleh. Ghande dan Puyang
menyeretnya di tanah yang becek. Gaun panjangnya telah lengket dengan lumpur.
“Moon!”
Aku mengejarnya.
Semua penduduk desa turut mengikuti. Mereka membawa Moon ke arah hutan. Mataku
jelalatan. Dimana Jaelani? Dia seharusnya di sini dan mempertanggungjawabkan
kerusuhan ini. Apa dia lari seperti pengecut. Dasar belatung.
“Kakak!”
Aku menerjang semua
orang dan buru-buru meraih tubuh Moon saat Ghande dan Puyang menjatuhkannya di
bawah pohon trembesi.
“Moon, jangan takut,” bisikku.
“Aku tidak takut Kak. Jangan gantikan
hukumanku. Dunia akan tahu. Itu pasti,” bisik Moon.
“Dimana Jaelani? Harusnya dia ada di sini dan
menjelaskan semuanya.”
“Dia sudah berubah menjadi gagak. Itu
keinginannya. Bebas.”
“Moon…” desisku
“Lepaskan dia
Sangre! Menyingkir dari situ!” bentak Tumper.
“Apa yang akan
kalian lakukan padanya?”
“Tanah ini harus
dibasuh lagi dengan darah agar kehormatan kita kembali. Kutukan ini harus
dilepaskan,” kata Tumper. Kulihat para tetua mengangguk-angguk seperti burung
hantu.
“Kalian akan
mencambuknya? Tolong tubuhnya takkan kuat menahan ini semua. Pakai tubuhku.
Darah kami sama. Bukan begitu Ayah?” seruku meradang.
Tiba-tiba Moon
mengelak dari pelukanku. Dia berdiri dan memasang badan di bawah pohon trembesi
sesaat setelah merenggut cadarnya. Puyang dan Ghande segera mengikat tubuhnya
di pohon itu. Aku berusaha menyusul namun Tumper sudah menyeretku ke pinggir. Dia
menyuruh beberapa orang untuk memegangiku.
Laki-laki belatung
berkerbat kain putih di kepalanya itu tersenyum licik dan berjalan menuju arah
Puyang dan Gandhe. Mereka berbicara pelan. Aku terkesiap. Baru kusadari Tumper
tidak membawa cambuk. Ada apa ini? Seharusnya Moon menerima hukuman cambuk tapi
mana cambuknya? Mataku mengedar ke sekeliling. Para tetua juga tak bawa. Mereka
menyembunyikan tangan di sela-sela saku baju mereka.
Belum genap pikiranku jernih aku melihat
Tumper mengokang senapan.
“Apa yang akan kamu
lakukan Tumper? Apa?!”
Tumper melirikku
dengan tatapan yang liar. Ada nyala api di sana. Nyala yang sama dengan nyala
di mata Moon dan membuatnya hidup. Jika nyala api Moon bersumber dari tarian lalu sumber apakah yang
menyalakan api di mata Tumper? Aku meronta. Terus meronta.
Moon menantang Tumper tanpa takut. Api
melawan api. Pada saat itu Moon menggerakkan tangannya yang terikat. Kakinya
mengetuk tanah dalam irama. Dia mencoba menari dalam belenggu. Moon apa yang
kamu lakukan? Wajah Tumper memanas. Dia segera membega senapannya.
Moncong senapan itu sudah benar-benar lapar. Moon tak takut dan tak pernah takut. Dia terus
berusaha menari. Kepalanya bergerak lembut. Tumper kesetanan. Secepat cahaya
dia menembak. Bunyi jlegur memekak. Peluru-peluru berdesingan. Justru itu
menjadi irama bagi Moon. Dalam sekarat dia terus menari. Sementara itu Tumper
terus menembak seakan dia tidak sedang menghadapi gadis kecil tapi satu
batalyon pasukan bersenjata. Sesukar itukah membunuh kemerdekaan?
Moon tak lagi bergerak. Kematiannya
disambut kaokan ribuan gagak. Darahnya merembes ke dalam tanah.
“Dasar belatung!” pekikku.
Jeritanku mengundang hujan yang tanpa
didahului gerimis. Semua orang berlarian dan meninggalkan hutan. Tumper pergi
lebih akhir tanpa meninggalkan kata. Kepuasan terpancar jelas di wajahnya. Itu wajah yang sama
saat Moon pulang dari hutan sehabis menari di hari pesta raya itu. Wajah Kebebasan.
Segera kutangkap
tubuh Moon setelah kulepas ikatannya. Kupeluk dalam dendam yang bara.
“Moon,” bisikku.
“Apakah kebebasan itu beraroma darah?”
***
Sebulan telah
berlalu setelah pembunuhan atas Moon. Aku menguburnya sendiri di bawah pohon
trembesi. Aku menggali tanah basah dengan tanganku di tengah guyuran hujan.
Darah Moon tidak melepas kutukan apapun. Pegunungan itu tetap diambil alih pemerintah.
Semua tambang telah ditutup dan puluhan regu pasukan pemerintah berjaga di
sana.
Tumper tak lagi
mendekatiku. Dia sudah disibukkan dengan pemberontakan terhadap pemerintah.
Bagaimanapun dia tak rela tambang emas itu direbut pemerintah. Dia dan
gerombolannya bersembunyi di hutan-hutan, di atas gunung, dan tak pernah
kembali. Dia seperti halnya Jaelani yang tak terlihat
sejak pembunuhan Moon. Aku mulai percaya jika Jaelani memang berubah menjadi
gagak.
Sementara itu orang-orang mulai
berdatangan di desa kami, membawa kamera dan peralatan yang tak kukenal. Entah
darimana datangnya. Mereka ingin melihat pohon trembesi kuburan Moon. Katanya
mereka ingin melihat sendiri tempat dimana tarian hujan pernah ada. Moon benar.
Dunia sudah tahu tariannya.
Seminggu setelah kematian Moon, air di
sumber Sebutir Mata Tuhan telah berubah warna menjadi kerau, seperti darah
gelap. Kata orang-orang kota yang berdatangan ke desa, air itu sudah tercemar
logam berat sehingga warnanya seperti darah. Mereka salah. Menurutku itu darah
Moon yang terbasut untuk membasuh desa ini.
Pagi ini aku sudah
bersiap dengan membawa pacul dan sabit. Ibuku yang telah kehilangan separuh
berat badannya hanya melirikku lalu memandang jendela tanpa ekspresi. Langkahku
mantap ke ladang anggur. Sampai di sana mataku menatap rimbunan anggur yang
mulai terbengkalai. Ibuku tak lagi ke ladang setelah pembunuhan itu. Dia
memilih untuk kalah. Dua ekor gagak menatapku dari dahan pohon. Kepala mereka terayun-ayun
sambil sesekali mengaok. Segera kuayun-ayunkan sabit dengan senyum merekah di
bibirku. Sudah saatnya menanam jagung. Sudah saatnya menanam apapun yang kusuka.
Ponorogo, 28 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar