Savitri baru saja menurunkan kameranya saat
terdengar keributan di belakang kelas. Kepalanya menoleh dengan ragu-ragu. Lagu
band pembuka sudah terdengar di kejauhan. Seharusnya Savitri harus segera ke
panggung untuk melaksanakan tugasnya tapi keributan itu lebih memancing rasa
penasarannya.
“Apa,
sih, masalahmu?” bentak Savira sambil membuka ikatan udeng[1] di
kepalanya. Savitri yang mengintip di balik tembok terkesiap. Di sana Savira
berdiri menantang Karin. Mereka berdua sudah memakai kostum lengkap penari
jathil. Seharusnya mereka bersiap pentas sebab setelah band pembuka, grup reog SMA
mereka akan tampil. Tapi kenapa mereka malah bertengkar di sini?
“Bukan
aku yang bermasalah Ra, tapi kamu!” sentak Karin. Nada suaranya meninggi. Belum pernah Savitri melihat Karin semarah itu. “Kenapa sih kamu
tidak mendengarku? Sejak kamu pacaran sama Gilang…”
“Ah,
jadi soal itu? Sebenarnya kamu iri, kan, aku pacaran
dengan Gilang?”
“Aku
tidak iri sama kamu. Buat apa?”
“Semua
orang juga tahu dulu kamu naksir Gilang,” kata Savira dengan nada suara yang menikam.
“Ya
ampun, Ra. Itu dulu.”
“Siapa tahu sekarang masih suka.” Savira tersenyum sinis.
“Terserahlah
apa katamu. Yang jelas aku bicara seperti ini juga untuk kebaikanmu.”
“Dengar
Rin, Aku tidak suka diatur-atur.” Savira melemparkan udeng miliknya ke arah Karin, “Jadi jangan atur-atur aku.” Savira melangkah
pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.
“Hei,
kamu mau kemana? Sebentar lagi kita pentas.”
“Peduli amat dengan pentas.”
“Tapi
bagaimana dengan formasi tarinya?”
Savira
tidak menjawab dan terus berlalu. Karin memandangnya dengan wajah marah.
Savitri yang melihat percecokan itu hanya bisa menggelengkan kepala. Savira
memang terkenal sangat keras kepala. Savitri tahu betul sebab Savira adalah kakak
perempuannya.
@@@
“Mbak Karin tidak pernah ke sini, Mbak?” tanya Savitri sambil membersihkan lensa
kameranya. Savira hanya menggeleng tanpa komentar. Dia memoles lipgloss pada bibirnya.
“Mbak Vira, mau kemana?” tanya Savitri.
“Les,”
jawabnya kesal.
“Bukannya
besok, Mbak?”
“Les
tambahan. Rese amat sih kamu.”
Savira
menyisir rambutnya. Lengannya terangkat dan Savitri sempat menangkap lebam di
sana. Bentuknya bundar seperti bulan biru yang menyakitkan untuk dipandang.
“Kenapa
lengan Mbak Vira?”
“Jatuh.”
Savira membuang muka saat menjawab.
“Akhir-akhir
ini Mbak Vira sering jatuh, ya?”
Dengan
cepat Savira menyambar tas dan tidak menghiraukan adiknya. Savitri hanya
menatap kakaknya dengan prihatin. Karin benar. Savira memang berubah banyak.
@@@
Kepala
para penari jathil macak gulu[2]
sementara mata mereka berkedip-kedip. Tangan mereka memegang kepala jaranan dan pinggul mereka bergoyang bersamaan. Savitri beberapa
kali membekukan gerakan mereka dalam jepretan-jepretannya. Senyumnya
mengembang. Savitri bergerak lincah di sekitar arena panggung. Dia tidak akan
melewatkan momen terbaik dalam Festival Reog Internasional di alun-alun
Ponorogo. Foto-foto itu akan terpampang di majalah sekolahnya. Savitri bergerak
ke arah kanan. Dia membidik ke bawah panggung. Sebuah wajah menguasai lensanya.
“Mbak
Karin,” desis Savitri.
@@@
Karin
mengambil mangkuk dawet jabung yang diacungkan penjualnya. Mangkok dawet itu
dialasi tatakan. Karin mengambil mangkok sekaligus tatakannya. Terjadilah
tarik-ulur dengan penjual hingga akhirnya penjualnya berkata,”Ambil mangkoknya
saja, Mbak,”
Karin
mengambilnya dengan wajah bingung.
“Memang
seharusnya ambil mangkoknya saja. Aturannya begitu,” kata Savitri geli. ”Katanya
kalau ada yang ambil mangkok sekaligus tatakannya itu tandanya dia masih belum
berumah tangga alias masih gadis.”
“Kan, memang begitu,” kata Karin. Savitri tertawa. “Kak Karin ini orang sini
tapi nggak tahu yang beginian.”
“Aku
nggak pernah beli dawet jabung,Tri.”
Mereka
berdua lalu menikmati dawet Jabung sambil memerhatikan alun-alun yang masih
riuh. Grebeg Suro setiap tahun memang selalu memikat siapa saja.
“Mbak
Karin, kenapa sekarang jarang ke rumah? Dulu malah sering nginep,” tanya
Savitri. Wajah Karin berubah. Matanya berubah sendu.
“Sebenarnya
ada apa sih, Mbak?”
“Aku
bosan jadi tameng kakakmu.”
“Tameng?”
“Savira
sering mengatasnamakan aku untuk ijin keluar rumah. Ya belajar di rumahku lah, les
tambahan lah. Padahal sebenarnya dia tidak sedang bersamaku.”
“Bersama
Mas Gilang?”
“Aku
tidak ingin terus-menerus menutupi kebohongan kakakmu.”
“Ya,
kami memang belum boleh pacaran, Mbak. Bapak pasti akan marah kalau tahu Mbak Savira punya
pacar. Mungkin itu sebabnya dia bohong.”
“Sementara
itu kakakmu mengira aku sebenarnya cuma cemburu. Percayalah, aku tidak kepikiran lagi nama Gilang sejak aku
tahu dia bukan cowok yang baik.”
Savitri
menatap Karin lekat. Ada kesungguhan di mata Karin.
“Maksud
Mbak Karin?”
“Aku
tidak ingin menceritakannya.”
Savitri
menggelengkan kepala,”Tapi, Mbak…”
Karin
memegang lengan Savitri,”Aku tidak ingin menceritakannya sebab aku ingin kamu
menyaksikannya sendiri.”
@@@
Savitri
menepuk kakinya. Nyamuk-nyamuk sedang berpesta pora di sana. Kembali dia
membidikkan kamera sementara kakinya tidak bisa diam karena rasa gatal. Agak susah juga memfokuskan kameranya.
“Mbak,
sampai kapan, nih, kita di sini?”
“Bentar
lagi.”
Karin
dan Savitri berdiri di depan sebuah kafe. Mereka sedang mengintai seseorang.
Sudah satu jam mereka di sana. Savitri sebenarnya sudah tidak tahan dengan ulah
nyamuk-nyamuk yang rakus. Untunglah, tak lama kemudian dari pintu kafe keluar
sepasang remaja.
“Mereka
keluar, Tri,” bisik Karin. Savitri terus mengikuti sepasang remaja itu dengan
kameranya. Suara klik jepretannya terdengar berulangkali. Tiba-tiba dia merasakan keanehan. Kedua wajah
laki-laki dan perempuan itu berubah tegang. Si cewek sepertinya mengatakan
sesuatu yang membuat cowoknya marah. Cowok itu berteriak dan di luar dugaan.
Plakkk!! Dia menampar cewek itu. Savitri kaget bukan main. Dia hampir saja menjatuhkan
kameranya. Si cowok tanpa basa-basi langsung mengambil motor dan meninggalkan
ceweknya.
“Mbak Karin lihat yang tadi nggak?”
Karin
tidak menjawab tetapi justru memberi isyarat kepada Savitri untuk mengikutinya.
Mereka mendekati cewek yang masih tergugu di parkiran.
“Res?”
kata Karin. Cewek itu menoleh. Dia semakin tergugu saat melihat Karin.
“Karin,
aku sudah berusaha. Dia tidak mau putus. Dia justru menamparku,” katanya dengan
terbata-bata. Karin segera memeluknya. Savitri hanya diam mematung. Dia masih
tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Savitri mengenal cowok yang pergi tadi
tapi dia tidak mengenal gadis yang berada dalam pelukan Karin.
“Mbak Karin?” ucap Savitri.
“Savitri,
kamu sudah melihat semua. Kenalkan ini Resti, sepupuku.” Savitri menatap Resti
yang kelihatan rapuh dengan nanar. “Dia pacar Gilang,” lanjut Karin. Savitri
membeku dalam diam.
@@@
Savira
sedang mengompres matanya dengan es. Savitri meletakkan tasnya lalu duduk di
depan Savira.
“Jatuh
lagi Mbak?”
“Ehm...bukan.
Tadi mataku kejatuhan buku tebal di perpustakaan,” jawab Savira gugup. Savitri menghela
napas panjang lalu mengeluarkan kameranya dari dalam tas. “Mbak Vira, aku mau
curhat.”
“Curhat
apa?”
“Mbak,
aku punya teman nih. Dia punya cowok tapi sayangnya cowoknya ini posesif
sekali. Kalau cowok ini mengajak keluar, temanku ini harus bisa meski dia punya
jadwal lain yang lebih penting. Cowok ini tidak terima alasan apapun. Pokoknya
temanku ini harus menuruti kemauannya. Temanku ini akhirnya jadi sering bohong
sama orangtuanya. Dia ngaku kalau lagi belajar bareng atau les tambahan padahal
sebenarnya dia keluar sama cowoknya.”
Savira
mengubah posisi duduknya dengan gelisah. “Namanya juga orang pacaran, Tri.”
“Tapi
Mbak, temanku ini juga rela menutupi kelakuan cowoknya yang
kasar. Dia sering dipukul lho, Mbak. Kalau menurut Mbak
Vira temanku itu
harus bagaimana?”
Savira
memasang wajah bete,”Suruh putus aja kenapa? Gampang to?”
Savitri
mengacungkan kameranya pada kakaknya. “Itu hal sama yang ingin kusarankan sama
Mbak Vira.”
“Maksud
kamu apa?” kata Savira dengan nada tinggi.
“Lihat
saja sendiri.”
Savira
mengambil kamera itu dan melihat-lihat foto yang ada di sana. Tangannya
bergetar dan airmatanya mengalir. Savitri mendekati dan memeluknya.
“Lebam
di tubuh Mbak Vira bukan karena jatuh atau tertimpa buku tebal, kan? Nama cewek
di dalam foto itu Resti.
Dia mengalami apa yang Mbak Vira alami. Mas Gilang itu brengsek.”
Savira
tergugu di pelukan Savitri,”Aku nggak bisa, Tri. Aku nggak sanggup. Setiap aku
minta putus, Gilang akan marah. Tak hanya mulutnya yang
bicara, tangannya juga. Dia sangat temperamen.”
“Mbak
Vira pasti bisa.” Savitri melepaskan pelukannya.
“Andai
bisa semudah itu.”
Savitri
menyentuh mata Savira yang lebam. Matanya sendiri ikut merasa perih. Savitri melihat bulan
biru yang menyakitkan di mata kakaknya. Bulan biru yang ingin dilenyapkan untuk
selamanya.
“Sudah
cukup. Mulai sekarang tidak ada lagi yang tersakiti,” kata Savitri tegas.
@@@
“Bulannya
bagus ya, Tri,” kata Savira sambil menatap purnama di atas alun-alun Ponorogo.
Suara gamelan Reog bergemuruh di kejauhan. Savitri yang baru sibuk mengecek
hasil fotonya ikut menoleh ke langit.
“Seharusnya
cahaya seperti itu yang ada di mata mbak Vira.”
“Aku
tak yakin, Tri,”
Tak ada bulan biru di bagian manapun di tubuh
Savira selama sebulan ini. Namun ini sebenarnya belum berakhir. Savira belum sepenuhnya putus dengan Gilang. Dia hanya menghindari
Gilang saja. Savitri sudah berusaha membujuk kakaknya supaya bersikap tegas
namun Savira merasa tak mampu. Maka selama sebulan penuh Savitri selalu menemani kemana
kakaknya pergi agar bisa menjaganya. Pun saat Savira ingin melihat acara
Purnaman di alun-alun. Biasanya tiap bulan purnama selalu ada pentas Reog di
panggung alun-alun.
“Gilang
jadi kasar seperti itu karena sejak kecil dia melihat ayahnya memukul ibunya.
Jadinya dia merasa bahwa memukul perempuan itu adalah hal yang biasa.”
“Mas
Gilang itu sudah menyakiti mbak Vira secara fisik maupun batin. Soal Resti…”
“Aku sudah lama
tahu soal Resti,” potong Mbak Vira. Savitri menoleh cepat ke arah kakaknya.
“Sebenarnya saat
aku jadian sama Gilang sudah banyak yang ngasih tahu soal Resti. Hanya saja aku mengabaikannya karena aku jatuh
cinta sama Gilang. Aku brengsek ya, Tri?”
Savitri
hanya terdiam.
“Tapi
aku nggak tahu kalau Resti itu sepupu Karin. Bener.”
Savitri
menghela napas panjang. Pada saat itu bayangan bulan tiba-tiba berubah gelap. Seseorang
sudah berdiri di depan mereka.
“Ra,
aku mau ngomong sama kamu,” sentaknya. Savira
mendongak. Gilang sudah ada di hadapannya. Savitri langsung menghadang Gilang.
“Nggak ada yang perlu dibicarain. Mbak Vira tidak mau ketemu kamu lagi,” sentak Savitri.
“Heh, kamu anak kecil minggir aja deh.”
“Tapi aku tidak takut sama kamu. Kamu itu yang pengecut. Beraninya
mukul cewek.”
“Tri,” desis
Savira getir.
Wajah Gilang
berubah garang. Tangannya terangkat. Savira menjerit ketakutan. Sementara
Savitri masih geming. Tiba-tiba tangan Gilang terpelintir ke belakang lalu
dengan sekali sentak tubuh Gilang terjerembab. Orang-orang mulai berkerumun.
Savira memeluk adiknya. Tubuh mereka bergetar. Di depan mereka Karin berdiri
dengan kaki membentuk kuda-kuda. Gilang menyentuh bibirnya yang berdarah akibat
benturan dengan aspal. Dia langsung berdiri menantang. Kerumunan orang semakin
banyak.
“Jangan
macam-macam sama cewek. Itu balasanmu karena sudah menyakiti orang-orang yang
aku sayangi,” sentak Karin. Gilang menggeram.
“Jangan ikut
campur. Ini urusanku dengan Vira.”
“Gilang, sudah
cukup,” seru Savira. Nada suaranya masih gemetar. “Savitri dan Karin benar. Ini tidak bisa
begini terus. Kita putus,” lanjutnya dengan suara lebih tegas. Gilang menatap
Savira dengan nanar. Tangannya terkepal. Dia menendang kerikil di depannya lalu
berlalu diiringi suara sorakan orang-orang yang bubar satu persatu.
Savira
menatap Karin tak percaya,”Aku tidak tahu kamu bisa bela diri.”
“Semenjak
Resti curhat sama aku, aku memutuskan untuk belajar bela diri. Aku pikir suatu
hari nanti pasti akan berguna.”
“Itu tadi sih berguna banget, Mbak,” seru Savitri.
Lalu hening
menyeret mereka bersama bayangan bulan. Savira merasa canggung di depan Karin.
“Aku minta maaf,
Rin,” desah Savira. Karin tersenyum,”Aku sudah lama memaafkanmu, Ra.” Savira
memeluk Karin. Savitri tersenyum sambil membidikkan kameranya ke arah mereka. Dia
yakin bulan biru akan tetap hilang selama mereka saling menjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar