Novel horor identik dengan ketakutan dan tragedi.
Rasa takut sudah ada sejak manusia jatuh dalam dosa. Dan di sanalah awal dari
sebuah tragedi. Dua hal ini sangat dekat dengan kehidupan. Jika kita memutuskan
menulis horor itu artinya kita menulis tentang kehidupan ( sebab kadang hidup
itu menakutkan dan berakhir tragis) meskipun pada akhirnya kita akan menulis
begitu banyak kematian.
Pernah ada seseorang yang berkata pada saya,”Saya ini penakut. Saya sudah keder duluan sebelum menulis horor.” Justru itulah modal paling utama. Kamu harus mengenal ketakutan dulu atau paling tidak kamu melihat ketakutan. Seorang penakut justru akan bisa menulis cerita horor dengan baik sebab dia bisa menarasikan ketakutan yang hidup dalam dirinya. Ada lagi yang berkata,”Saya ini tidak memiliki mata ketiga, jadi tidak bisa melihat mahkluk-mahkluk halus. Bagaimana saya bisa menulis tentang mereka jika saya sama sekali tidak tahu dunia mereka.”
Pernah ada seseorang yang berkata pada saya,”Saya ini penakut. Saya sudah keder duluan sebelum menulis horor.” Justru itulah modal paling utama. Kamu harus mengenal ketakutan dulu atau paling tidak kamu melihat ketakutan. Seorang penakut justru akan bisa menulis cerita horor dengan baik sebab dia bisa menarasikan ketakutan yang hidup dalam dirinya. Ada lagi yang berkata,”Saya ini tidak memiliki mata ketiga, jadi tidak bisa melihat mahkluk-mahkluk halus. Bagaimana saya bisa menulis tentang mereka jika saya sama sekali tidak tahu dunia mereka.”
Saya bukan orang yang diberkahi mata ketiga. Saya tidak punya
pengalaman supranatural tapi saya menulis cerita-cerita horor. Kenapa? Sebab
cerita horor tidak semata-mata tentang kuntilanak, pocong, vampir, drakula,
tuyul, kepala terpenggal, darah satu bak mandi, atau suster ngesot. Seperti
yang saya bilang di atas, menulis cerita horor itu adalah menulis ketakutan dan
tragedi. Selama saya masih bisa merasakan rasa takut, melihat rasa takut, dan
menangkap tragedi, saya pastikan saya masih bisa menulis novel horor.
Jika kita mendengar urban legend di
sekitar kita pasti cerita yang bersemayam di baliknya adalah sebuah tragedi. Suster
Gepeng yang terkenal menghantui Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya, misalnya.
Suster ini bernama Maria dan dia meninggal karena tergencet pintu lift. Suster
Maria sering menampakkan diri pada pasien dengan mengantar obat yang bukan
jadwalnya. Urban Legend di SMA
5 Bandung tentang seorang Noni Belanda bernama Nancy yang bisa dilihat
penampakannya setelah mengelilingi gedung selama tiga kali. Nah, Nancy ini
dikabarkan bunuh diri di gedung itu. Atau kisah boneka Annabelle yang kemudian
diangkat ke dalam bentuk film. Jika kita telusuri semua itu bermula atau
berujung pada kematian, kesedihan yang panjang, tragedi yang memilukan, dan
teror tiada habis.
Lima
elemen yang harus dipenuhi dalam novel horor adalah:
1. Ketakutan
Tanpa ketakutan yang
kental tentunya nanti novelmu tidak lagi jadi novel horor. Kenapa Paranormal Activity, The
Conjuring, Insidious sukses menjadi film horor terbaik? Jawabannya mudah
banget. Film-film itu bikin takut setengah mati.
2. Surprise
Menakut-nakuti pembacamu dengan cerita
yang kamu buat itu mudah tapi bagian tersulitnya adalah mengejutkan pembacamu
dengan ketakutan yang dibangun lewat cerita yang kamu kisahkan. Cerita horor
itu pasti mengandung efek keterkejutan sama dengan saat kita menonton film
horor. Kamu sebagai penonton pasti sudah tahu jika sebentar lagi hantunya pasti
muncul. Tapi kenapa kamu masih saja terkejut saat hantunya benar-benar muncul?
Pembaca tahu bahwa hal mengerikan itu pasti terjadi namun dia tidak tahu
kejutan apa yang terselip di sana. Di sinilah letak permainan imajinasi dalam
pikiran sangat berperan. Sebagai penulis kamu yang mengambil alih
pikiran-pikiran pembacamu. Kamu yang mengontrol imajinasi mereka.
3. Suspense
Antara suspense dan
surprise sangat berkaiatan. Surprise akan terjadi setelah suspense yang panjang. Seorang
penulis horor yang baik akan membangun suspense dengan tensi yang tertata rapi
hingga menimbulkan efek kejut di penghujung.
4. Misteri
Tanpa misteri novel horormu akan kosong.
Misteri yang membawa pembaca pada pertanyaan-pertanyaan yang menggiringnya
untuk terus mengikuti ceritamu. Misteri memicu penasaran. Dari penasaranlah
kamu bisa mengontrol pikiran pembacamu. Kadang misteri ini terungkap di ending
kadang juga tidak. Kadang terungkap tapi menyisakan pertanyaan baru.
5. Teror
Kamu bisa
mempermainkan suspense dengan teror. Di sini deskripsi sangat berperan penting.
Gunakan seluruh panca inderamu untuk mendeskripsikan teror. Bisa dengan
melukiskan rabaan lewat tekstur yang memicu ketegangan, suara-suara aneh atau
aroma menyengat
Saya mengamati ada tiga jenis novel
horor yaitu horor murni yang melibatkan hantu-hantu, mahkluk halus yang sudah
cukup dikenal oleh masyarakat (urban legend), horor dengan monster ciptaan
sendiri misalnya seekor laba-laba yang tiba-tiba berubah menjadi raksasa dan
meneror seluruh kota. Novel
yang cukup membuat saya merinding dalam jenis ini adalah Species. Horor yang
mengentalkan suspense dan psikologi, disinilah teror berperan sangat besar. Bukan
hantu yang membuat takut tapi psikopat, pembunuh berdarah dingin, sesuatu yang
entah dan tak dapat dijelaskan. Misalnya kamu punya teman sekamar. Semula dia
baik lama-kelamaan dia mengambil apa yang kamu miliki dari pakaian, pacar, dan
akhirnya hidupmu sendiri. Setiap detik adalah teror. Sampai pada puncaknya
teman sekamarmu menusukmu dengan pisau diam-diam di malam hari. Pada novel saya
Rumah Lebah termasuk jenis yang ketiga.
Berikut akan saya berikan tips
menulis cerita horor:
1. Temukan ide yang luar biasa
Menulis cerita horor
membutuhkan ide yang luar biasa. Tak sekedar biasa. Ini tak biasa ditawar. Para
pembaca horor selalu membutuhkan kisah yang baru, fresh, original, monster
baru, yang sanggup menakuti mereka. Percayalah pembaca horor fanatik itu susah
ditakut-takuti. Mungkin kamu ingin mengangkat urban legend yang sudah diketahui
masyarakat tapi kamu harus mempertimbangkan bagaimana urban legend yang sudah
diketahui itu menjadi kisah baru di tanganmu. Salah satu cara untuk mendapatkan
ide yang luar biasa adalah menggunakan kata kunci “Apa yang Terjadi jika…”
Misalnya
- Apa yang terjadi jika bayanganmu ternyata hidup dan ingin
menguasai tubuhmu?
- Apa yang terjadi jika sebuah game bisa memengaruhi
pemainnya dan berujung pada bunuh diri?
- Apa yang terjadi saat kamu bangun di pagi hari tidak ada
satupun orang di rumah, bahkan seluruh tetanggamu juga lenyap?
Saya sudah terbiasa
bermain-main dengan kalimat kunci ini untuk memancing ide saya yang kemudian
menumbuhkan imajinasi liar. Jika kamu sudah memutuskan memilih satu kalimat
kunci maka lanjutkan dengan terus bertanya dan menjawab pertanyaan itu. Misal
saya memilih kalimat kunci pertama
- Apa yang terjadi jika bayanganmu ternyata hidup dan ingin
menguasai tubuhmu?
+ Hidupmu mulai
kacau. Semua orang menganggapmu gila
- Bagaimana kamu tahu jika bayangan itu
hidup?
+ Kamu memergoki bayanganmu tidak sesuai
dengan apa yang kamu lakukan. Kamu memegang apel bayanganmu memegang pisau.
Saat apel itu kamu gigit tiba-tiba mulutmu berdarah seperti diiris pisau.
Apa yang dilakukan
bayangan itu padamu?
+ Bayanganmu
membuatmu gila. Dia menerormu habis-habisan. Dia membuatmu kebingungan antara
nyata dan tidak. Orang-orang disekitarmu mengiramu sudah gila sebab beberapa
kali mereka memergoki pergelangan tanganmu teriris, kamu minum obat tidur
sampai over dosis padahal semua itu sebenarnya ulah bayanganmu
- Apa kelemahan bayangan itu?
+ Bayanganmu tidak berkutik dalam kegelapan. Eksistensinya lenyap dalam
gelap. Masalahnya kamu takut gelap.
2. Buatlah outline yang matang.
Beberapa penulis
mungkin terbiasa menulis tanpa outline dengan alasan justru menghambat
imajinasi atau juga faktor kebiasaan. Dalam cerita horor dengan atau tanpa
outline penulis harus sudah punya gambaran plot secara keseluruhan dan
endingnya. Saya garis bawahi di sini adalah penulis harus tahu endingnya saat
memulai cerita. Ending
sebuah novel horor haruslah twisted ending, bikin tercengang, tak terduga,
mengentak, menimbulkan nuansa BAM! Di kepala pembacanya. Untuk itu saya
sarankan untuk membuat outline yang akan mengurangi writer’s block, mengurangi
kesalahan pada logika cerita. Hal yang rentan pada novel horor memang pada
logika cerita. Meskipun novelmu itu berkaitan dengan sesuatu yang entah, kasat
mata, imajinasi liar, namun pada dasarnya novelmu harus tetap logis supaya
pembacamu tidak membuang novelmu sebelum menamatkannya.
Saat membuat outline bayangkanlah sebuah
film yang diputar di kepalamu. Metode ini cukup efektif bagi saya untuk membuat
outline. Pertimbangkanlah untuk menempatkan adegan pada akhir tiap bab itu
menggantung agar pembaca terus bertanya dan berharap bisa menemukan jawabannya
pada bab berikutnya.
3. Temukan monstermu sendiri
Vampir, Dracula, pocong, kuntilanak sudah
terlalu banyak dieksplor. Kamu harus bisa menemukan monster yang lebih mengerikan
dan menakutkan. Create it! Jika kamu bisa menggambar, gambarlah monstermu
dengan detil. Tulis apa yang bisa dilakukan monstermu. Ingat monster tidak
selalu mahkluk yang berpemanpakan mengerikan. Monster itu bisa juga berwujud
ketakutan paling dasar manusia. Takut gelap, takut sendiri, takut berada di
ketinggian, takut di ruang tertutup, dsb. Darah berceceran di
mana-mana, wajah penuh darah, sudah sangat biasa. Pertanyaannya apakah kamu
bisa menulis cerita horor tanpa ada darah berceceran? Bisa. Kenapa? Sebab pada
tensi novel horor bukan pada penampakan “monster” itu tapi pada proses sebelum
“monster” itu muncul, pada apa yang bisa dilakukan oleh “monster” itu. Di
sinilah misteri berperan. Membuat pembaca bertanya-tanya, hanyut, terlena, dan
Bam! Terkejut setengah mati.
4. Tempatkan tokohmu selalu dalam situasi yang sulit
Tokoh utama dalam
sebuah novel horor selalu diposisikan pada suatu pilihan yang buruk, salah
langkah, tidak adanya pilihan kecuali masuk ke lubang mencekam. Seorang penulis
harus bisa memosisikan si tokoh pada satu pilihan dan dia harus memilih pilihan
itu. Misalnya si tokoh harus masuk ke lemari berhantu untuk menyelamatkan
adiknya. Dia tahu bahaya akan mengancamnya tapi dilain pihak nyawa adiknya
terancam.
5. Pilihlah setting yang mendukung
Pilihlah setting
yang mendukung kengerian dalam novelmu entah itu sebuah rumah tua, kota mati,
desa yang lama ditinggalkan penghuninya, atau kaki gunung yang angker.
6. Pandai-pandailah mengalihkan perhatian pembaca
Jangan terjebak untuk memakai kata
“tiba-tiba” apabila ingin mengungkapkan surprise. Sepertinya kata itu sudah
jadi mainsream untuk mengejutkan pembaca yang acapkali malah gagal. Ada alternatif
lain untuk memberi efek kejut yaitu dengan mengalihkan perhatian pembacamu. Giring
pembacamu pada hal lain sementara kamu sudah mempersiapkan kejutan dan saat
pembacamu mulai hanyut maka sodorkan dengan cepat efek kejut itu.
Contoh : Anabel
melihat rak besar setinggi empat meter dengan mata terpana. Semua buku di dalam
rak itu adalah buku-buku yang selalu ingin dibacanya. Dia mendekati rak itu
dengan penuh semangat. Tangannya segera mengambil satu buku dongeng yang
dikenalnya. Dulu ibunya sering
menceritakan dongeng-dongeng itu sebelum tidur. Ya, hampir setiap
malam sampai buku itu menjadi lusuh dan mulai lepas halamannya. Lalu ibu tidak
lagi membaca buku itu tapi hanya menceritakannya sebab dia sudah hapal setiap
kata dalam buku itu. Anabel tersenyum tipis. Dia menutup buku itu dan hendak
mengembalikannya ke tempatnya. Namun buku itu tergelincir dari tangan Anabel
yang basah karena keringat dingin. Tubuh Anabel menjadi kaku saat dia menyadari
sepatang mata tengah mengawasinya dari celah rak. Sepasang mata yang gelap dan
mencengkeram.
Semula pembaca digiring
pada deskripsi rak dan ingatan Anabel tentang buku yang dipegangnya. Lalu saat Anabel
mengembalikan buku, penulis sudah mempersiapkan kejutan di sana.
7. Deskripsi itu menentukan ketegangan
Kerahkan seluruh
panca inderamu untuk mendeskripsikan suasana, Menjelaskan bagaimana suara-suara
ganjil, aroma yang menyengat, kondisi fisik saat teror mencekam, debaran di
dada, keringat yang jatuh dengan detil.
Gunakan warna untuk
indera penglihatan
Tekstur untuk indera
raba
Suara untuk indera
pendengaran
Aroma untuk indera
penciuman
Rasa untuk indera
pengecap
8. Show don’t tell
Contoh tell
Dia ketakutan
setengah mati
Contoh show
Dia menelan ludah
yang terasa pahit di kerongkongan saat gemetaran di tubuhnya semakin menjadi
dan debaran jantungnya berdegap kencang
Contoh tell
Ani gembira saat bertemu Adi
Contoh Show
Ani berlari dengan senyum terkembang,
merentangkan tangannya dan langsung memeluk Adi saat pria itu muncul di ujung
jalan.
Materi ini disampaikan dalam mengajar edisi "Horor" di kelas Kopdar Fiksi bersama Bernard Batubara dan Gagas Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar