Grace melemparkan remah kue kering ke
dalam kolam ikan. Sekumpulan ikan mas melahapnya dengan ganas,
tanpa menyisakan sisa. Seekor ikan mas bergaris hitam di punggung terlambat
dalam pergulatan itu. Pelan dia berenang menuju karang buatan.
“Hei
Belang, kamu kurang cepat hari ini. “
Grace mencelupkan
jarinya di permukaan kolam. Belang memasukkan badannya ke dalam lengkung karang. Bersembunyi.
“Ehm…itu
kelemahanmu, Belang. Kamu terlalu takut untuk maju. Ketika kamu bimbang hendak
memutuskan maju atau mundur, kesempatan itu sudah direbut orang lain.”
Grace memerhatikan
Belang yang berenang maju lalu berbaur dengan teman-temannya. Tangan Grace
meremas kue kering lalu melemparkannya lagi. Kali ini Belang tidak membuang
kesempaan.. Dia bergerak dengan gesit melahapnya. Grace tersenyum.
Angin meyapu poni
Grace dengan lembut. Seketika tangan Grace membetulkan poninya dengan sedikit
gugup. Sebuah bekas luka menggaris jelas di kening. Grace selalu tidak
percaya diri sehingga dia menggunakan poni untuk menutupinya. Biasnya dia akan
menutupinya dengan syal yang dibuatnya menjadi bandana. Hari ini sangat dingin.
Syal itu melingkar di leher dan membuatnya hangat. Matanya melirik seorang
laki-laki di pojok taman yang sedang asyik menggambar.
“Belang, apa dia melihatku tadi?” bisik Grace gugup. Dulu
Grace datang ke taman ini untuk sekedar membaca buku atau menenangkan diri.
Namun saat dia menyadari jika ada seorang laki-laki yang juga datang setiap
hari ke taman, alasan Grace mulai berubah. Dia penasaran dengan laki-laki itu.
Wajahnya selalu serius dan terlihat dingin. Matanya tidak pernah lepas dari
buku gambar berukuran lumayan besar di tangannya. Dia sama sekali tidak
memerhatikan lingkungan taman. Hanya gambar itu yang menjadi perhatiannya.
Seperti halnya Grace, laki-laki itu selalu datang
sendiri. Grace selalu ingin tahu apa yang digambar laki-laki itu, sayangnya dia
tidak punya nyali untuk bertanya langsung padanya. Laki-laki itu lumayan tampan
tapi bukan tipe Grace. Wajahnya terlalu tirus. Jika dia menambah sedikit berat
tubuhnya mungkin wajah yang serius itu lebih kelihatan segar.
Lagipula Grace melihat dua orang gadis mendekati
laki-laki itu beberapa hari ini. Grace tahu mereka pasti tertarik dengan
laki-laki itu. Mereka tertawa dengan renyah dan seseorang dari mereka menyebut
laki-laki itu El. Dari nama itu Grace terus menebak-nebak nama panjang El. Bisa
jadi Elmo, Elkana, Elia, Mikhael, Daniel, atau mungkin Elvis, Jaelani. Grace
hanya bisa menebak. Seharusnya dia punya nyali untuk bertanya langsung. Dia
jadi ingat ucapannya barusan kepada Belang. Sekian lama Grace menimbang-nimbang
untuk bertegur sapa dengan El dan saat dia terlalu lama memutuskan dua gadis
itu datang. Sebetulnya ucapan itu lebih cocok ditujukan pada Grace sendiri
daripada Belang. Nyatanya Belang tetap mau maju tidak melewatkan kesempatan
kedua meski dia gagal di kesempatan pertama. Sedangkan Grace hanya bisa mencuri
pandang dari pinggir kolam bersenjatakan buku yang akhir-akhir ini hanya
sekedar pemanis tangan.
Suara tawa gadis-gadis itu terdengar lagi. Spontan Grace menoleh namun cepat-cepat mengalihkan
pandangan ke bukunya. Dadanya berdebar. Tak sengaja pandangannya
bersirobok dengan mata El. Saat El tidak menggambar, wajahnya menjadi sangat
berbeda. Dia lebih segar dengan mata jenaka. Nyatanya kedua gadis itu tidak
henti-hentinya tertawa. Grace menutup buku. Dia memutuskan mengisi perutnya ke
kafe kebun yang berada di tengah taman. Paling tidak segelas coklat panas bisa
meredakan debaran di dadanya.
Grace menyeruput kopi panas sembari menanti pancake yang
dipesannya. Dia baru saja menoleh ke samping dan menyadari bahwa dia akan butuh
bergelas-gelas cokelat panas untuk meredakan debaran di dadanya. El berjalan
mendekatinya. Grace sangat berharap El hanya melewatinya.
“Hai,” sapa El. Grace tidak segera menjawab. Dia masih
tidak percaya El berdiri tepat di depan mejanya.
“Ya?” kata Grace ragu-ragu.
“Boleh aku duduk di sini?”
“Oke,” jawab Grace.
El menarik kursi, meletakkan buku gambar di meja lalu
duduk.
“Maaf, jika aku mengganggu. Sebenarnya aku harus
mengumpulkan keberanian untuk mendatangimu. Soalnya aku ingin meminta sesuatu
yang mungkin akan membuatmu marah.”
“Heh?” Grace serasa linglung.
“Aku tidak bisa menyelesaikan gambarku,” kata El.
“Hubungannya denganku apa?”
El membuka buku gambarnya dan menunjukkan pada Grace.
Gadis itu terpana. Ada Grace di kertas gambar itu. Grace dengan posisi sedang
membaca buku sementara rambutnya diterbangkan oleh angin. Syal yang biasa dia
gunakan sebagai bandana melingkar di leher.
“Ini…”
“Eh maaf, aku menggambarmu diam-diam.”
“Tapi kelihatannya gambar ini sudah selesai. Bagus,” kata
Grace dengan nada bergetar.
“Tidak…tidak.
Gambar ini belum selesai. Ada yang kurang.”
“Apa?”
“Bekas luka di
keningmu. Ehm…maaf aku sempat melihatnya saat angin menyibak ponimu tapi
biasanya kamu cepat-cepat membetulkan ponimu. Bahkan saat membaca kamu punya
kebiasaan untuk merapikan poni. Seakan kamu takut seseorang akan melihat bekas
luka itu. Aku tidak bisa menggambar bekas lukamu kalau kamu tutupi terus.”
Grace terdiam. Dia
tidak tahu apakah dia harus marah atau tersanjung. Mungkin saat ini dia
merasakan keduanya.
“Maaf, ini memang
tidak pantas. Aku hanya berpikir jika aku tidak menggambar bekas lukamu maka
gadis di gambar ini bukan kamu.”
Grace masih diam. Dia
tidak tahu harus bicara apa.
“Aku sudah mengatakan pada mereka kalau kamu pasti
tersinggung. Ah mereka itu. Selalu memaksa.”
“Siapa?”
“Dua
gadis itu. Adik-adikku. Mereka memaksaku untuk menemuimu. Dengar, tak apa jika
kamu tak mau. Aku minta maaf.” El berdiri. Dia hendak pergi.
“Tunggu!” seru Grace. El menoleh. Kulit wajahnya terlihat
seperti tembaga saat lampu di atasnya menyala. Petang telah tiba.
“Kamu benar. Gadis di gambar ini bukan aku sebab tidak
ada bekas luka. Jika kamu mau kamu bisa menggambarnya.”
El tersenyum.. Dia kembali lagi menuju meja. Lalu
tangannya membuka tas dan menyiapkan peralatannya. Pelan-pelan Grace
menyibakkan poninya. Belum pernah
ada orang yang melihat bekas lukanya sedekat ini. El adalah orang
pertama. Dan dia hendak melukis bekas luka.
“Jangan
tegang. Rileks. Kamu selalu terlihat santai saat baca buku…” El berhenti
melukis. Dia menatap Grace,”Maaf, aku belum tahu namamu.”
“Grace,” kata gadis
itu.”Kamu?”
“El. Hanya itu. Sebab nama panjangku hanya lelucon.”
“O ya? Kupikir kamu harus memberitahuku sebab aku sudah
mengijinkanmu melukis bekas lukaku,” protes Grace.
“Baiklah…anggap kita impas. Namaku Love tapi aku lebih suka dipanggil
El sesuai huruf depan namaku.”
Grace tertawa. Dia
tidak bisa menahannya.
“Tertawalah
Grace. Kamu memang butuh itu. Semua orang juga tertawa saat tahu namaku.
Ngomong-ngomong seharusnya kamu harus lebih sering menyibakkan ponimu. Bentuk
dahimu sangat bagus. Kamu lebih cantik tanpa poni.”
Grace tidak
tertawa lagi saat mendengar kalimat terakhir El. Grace merasa malu
dan sepertinya El harus menambahkan warna merah di pipi Grace pada lukisan itu.
###
Ponorogo, 20 November 2015
Kali ini saya berkolaborasi dengan anak saya Ima. Dia suka sekali menggambar. Jadi gambar-gambarnya saya jadikan ilustrasi untuk cerpen mini yang akan saya posting secara berkala. Semoga kolaborasi ini akan membawa manfaat. Terimakasih sudah membaca.
Bagus dan bikin gemes Mbak. Menebak-nebak, namun tidak tertebak dan berakhir manis. Belokan-belokannya keren. Pengen belajar yang model seperti ini.
BalasHapus