Keesokan paginya
ibuku memberikan cadar kepada kami berdua supaya insiden senyum yang brutal itu
tak terjadi lagi. Ibu takut para tetua desa memergoki kami seandainya kami tak
bisa menahan diri. Mereka ini seperti hantu, muncul tiba-tiba pada saat tak
terduga. Mereka juga selalu tahu segalanya. Sia-sia menyembunyikan apapun sebab
mereka selalu bisa mengendusnya. Hidung mereka setajam penciuman anjing
dan mereka akan berkaok seribut gagak saat mengetahui satu kesalahan yang akan menghancurkan kehormatan desa ini. Kehormatan itu terletak pada senyum para lelaki, pada kesenangan, dan kebebasan mereka. Semua telah diambil oleh mereka dan tidak menyisakan apapun bagi kami anak perempuan.
dan mereka akan berkaok seribut gagak saat mengetahui satu kesalahan yang akan menghancurkan kehormatan desa ini. Kehormatan itu terletak pada senyum para lelaki, pada kesenangan, dan kebebasan mereka. Semua telah diambil oleh mereka dan tidak menyisakan apapun bagi kami anak perempuan.
Ibu-ibu di desa kami
lebih bahagia jika memiliki anak laki-laki daripada anak perempuan. Memiliki
anak perempuan seperti menjaga sebutir telur di atas paku. Para ibu harus yakin
telur itu tetap pada tempatnya, tak boleh bergoyang sedikitpun apalagi
terjatuh. Namun jika telur itu sudah terlanjur bergoyang biasanya para ibu
lebih suka membiarkan telur jatuh dan pecah daripada berusaha menyelamatkan
telur itu dengan risiko tangan terluka karena paku. Satu telur pecah akan
membersihkan nama baik keluarga sementara telur yang bergoyang dan diselamatkan
hanya akan mencoreng nama baik keluarga. Itu semua kata-kata ibuku. Moon Sikula
selalu berusaha menahan tawa setiap ibu menceritakan tentang telur di atas
paku. Baginya kata-kata ibu lelucon terhebat sepanjang masa. Setiap ibu bercerita
Moon pasti masuk kamar dan menggigit selimut, hanya supaya dia tidak tertawa.
Moon Sikula lebih
lincah daripada aku. Usia kami terpaut dua tahun namun Moon Sikula telah
mengalahkan aku soal postur tubuh. Dia tinggi, lebih berisi, bermata coklat
kekuningan, dan berkaki panjang. Sementara aku lebih pendek satu kepalan tangan
darinya, mataku hitam legam, kulitku berwarna coklat tua, dan bagian atas
tubuhku lebih panjang dari kakiku. Tubuhku kurus dan susah gemuk meski aku
minum berliter-liter susu.
“Kak, tahukah kamu
kenapa ibu memaksa kita memakai cadar?” tanya Moon Sikula padaku saat kami melepas
lelah di hutan. Tak ada lengkung pelangi dan kami berdua saja di tengah hutan
tepat di bawah pohon trembesi, itulah yang kami sebut dengan tempat rahasia.
“Supaya kecelakaan
senyum itu tidak terjadi lagi,” jawabku sambil mencoret-coret seuatu di tanah
dengan ranting kayu kering. Moon Sikula mengernyitkan matanya.
“Tidak sepenuhnya
benar kakakku, Sangre Sikula. Ibu melakukannya agar kita tidak dilirik anak
laki-laki. Saat mereka melirik kita sesungguhnya itulah yang akan membuat kita
tersenyum. Itulah letak bahayanya. Terbenamnya wajahku ke dalam tai sapi
hanyalah alasan bagi ibu supaya kita tak bertanya macam-macam kenapa kita harus
memakai cadar. Lagipula jatuh ke dalam tai sapi tidak terlalu mengerikan. Aku
bisa menyembunyikan senyumku dalam belepotan tai sapi itu. Sesungguhnya tai
sapi lebih baik daripada sebuah cadar,” katanya tanpa bernapas. Seakan dia baru
saja puasa bicara dan meluapkan seluruh kata hatinya ketika berbuka.”Kita
berbohong setiap hari, sadarkah kamu, Kak?”
Tubuhku mengaku.
Mataku jelalatan kesana kemari, memastikan tak ada orang lain di hutan ini. Aku
tak menyangka Moon Sikula akan mengatakan sesuatu yang pasti membuat kegilaan
di desa kami.
“Siapa yang
mengajarimu berkata seperti itu?”
“Tak ada.”
“Kamu bohong.”
Moon menatapku pasrah. Dia takkan pernah
bisa bohong padaku.
“Jaelani,” bisiknya.
“Apa yang dikatakannya?”
“Banyak hal.”
“Misalnya?”
“Misalnya menari takkan membuat langit
runtuh.”
“Kamu tak ingat kejadian langit jatuh
itu?”
Moon Sikula
menggigit bibirnya. Dia sedang menghalau tawa.
“Apa-apaan ini? Kamu sembunyikan apa lagi Moon?”
“Langit takkan runtuh hanya karena kita
menari. Percayalah.”
Sepertinya Moon Sikula tak berniat
membicarakannya. Aku jadi geregetan.
“Moon Sikula binti Bawar Kasun ceritakan
padaku sekarang apa yang kamu tahu,” kataku dengan nada tegas. Biasanya Moon
akan menurut jika aku sudah memasang nada demikian. Moon menatapku lalu
memalingkan muka. Sepertinya dia mati-matian menahan tawa.
“Moon,” ucapku dengan nada lebih tinggi.
“Baik…baik… jangan marah. Aku akan
menceritakannya.”
Moon menjulurkan kakinya dan menyandarkan
punggungnya pada batang trembesi yang melekuk-lekuk. Aku duduk di
hadapannya dan mendekatkan telingaku padanya. Dia pasti akan menceritakannya
dengan lirih jadi aku harus mendengar lebih baik.
“Sesungguhnya apa
yang kita lihat itu adalah kapas Bu Mariyam yang diempas angin lalu terbang
sampai ke hutan.”
“Moon! Aku tidak suka kamu berbohong. Bu
Mariyam terkenal sangat hati-hati dengan kapasnya. Dia selalu meletakkan
kapas-kapas itu di gudangnya. Bagaimana mungkin diterbangkan angin. Dia bilang
kapasnya dicuri orang bukannya diterbangkan angin.”
“Dua-duanya benar. Kapasnya memang dicuri
dan pencurinya menerbangkannya saat angin berembus kencang.”
“Orang gila mana yang melakukan hal itu.”
“Orang gila seperti
Jaelani.”
“Apa?” Aku nyaris
terpekik namun Moon segera menyumpal mulutku dengan tangannya.
“Jangan ribut. Ini
rahasia.”
“Kapan kamu bertemu
Jaelani?”
“Sering kok.”
“Kenapa aku tak pernah tahu? Bukannya
kita selalu bersama.”
“Ketemunya bukan yang begituan. Kakak kan
tahu aku paham bahasa gagak. Jaelani mengajakku ngobrol dengan bahasa
gagak. Dia pintar sekali. Dan aku mengerti semua yang dia ucapkan.”
“Kamu pasti mabuk
susu. Ibu terlalu banyak mencekokimu dengan susu,” desisku. Di desa kami
seorang gadis dianggap cantik jika tubuhnya berisi. Lebih gemuk lebih baik.
Sementara kami yang kurus ini selalu membuat khawatir ibu. Dia pikir kami pastilah
susah jodoh. Itulah alasan ibuku menyuruh kami minum susu berliter-liter setiap
hari. Hari ini Moon minum dua kendi. Pasti itu sebabnya dia ngelantur.
“Aku serius Kak.
Kalau tak percaya aku bisa berbicara dengan Jaelani dari sini.”
Moon segera berdiri
dan memanjat pohon. Baju panjangnya berjerambai di antara ranting-ranting. Saat
berada di atas dia mencopot cadar dan mengeluarkan suara-suara gagak yang ribut.
Aku menggigil jeri. Tak lama kemudian hening. Tak ada jawaban apapun.
“Turunlah!” seruku. Moon menoleh ke bawah lalu menyuruhku
diam. Dari arah utara kudengar suara kaok yang tipis.
“Itu Jaelani.
Katanya dia baru memberi minum sapinya di sumber Sebutir Mata Tuhan.”
“Ya sudah. Turunlah.
Aku percaya kok,” kataku berusaha membujuknya untuk turun.
“Dia mau kemari,” kata Moon sambil
tersenyum. Ya ampun bagaimana dia bisa tersenyum sebesar itu. Apa
yang merasukinya?
“Cepat turun. Kamu
tak sadar kamu sedang tersenyum?”
“Tak apa. Tak ada yang melihat kita di
sini. Jaelani sudah dekat. Dia membawa sesuatu untuk kita.”
“Hentikan ceracauanmu Moon. Kita pulang
sekarang,” bentakku.
“Lihat dia sudah datang.” Moon menunjuk
sebuah arah dan aku mengikutinya. Di sana aku melihat Jaelani berdiri dengan
mengacungkan sebuah kotak yang memendarkan cahaya. Mulutku terbuka. Mataku
membelalak.
“Moon pasang cadarmu!” perintahku.
***
Tiga hari berikutnya Moon tak bisa tidur.
Dia gelisah bukan
karena pertemuan dengan Jaelani di hutan. Dia memikirkan kotak cahaya itu
sampai jauh dalam tidurnya. Kupikir ada hantu perayu yang bersemayam di dalam
kotak itu dan telah mencengkeram seluruh tulang-tulang Moon. Buktinya dia tidur
dengan mengentakkan kaki dan tangan. Kotak cahaya itu betul-betul meracuninya.
Mungkin aku harus mencari daun mondokaki untuk menawarkan racun itu.
Pagi itu aku pergi
ke hutan tanpa Moon. Aku
mencari daun mondokaki untuk membuat ramuan anti racun. Aku tak menyangka
antara Jaelani dan Moon terhubung suatu komunikasi yang unik. Jaelani anak
seorang tabib di desa kami. Seorang tabib modern yang pernah mengenyam
pendidikan di kota. Kakeknya dulu juga seorang tabib terkenal dan
pandai berkomunikasi dengan bahasa binatang. Seperti Nabi Sulaiman layaknya.
Jaelani diajari oleh kakeknya dan Jaelani sangat fasih berbahasa gagak.
Sementara kemampuan Moon adalah bakat alami. Tak ada seorangpun yang
mengajarinya. Dia hanya suka mendengar gagak dan menurutnya gagak-gagak itu
yang mengajarinya.
Jaelani dibelikan
kotak cahaya itu oleh ayahnya yang sering ke kota untuk membeli keperluan
obat-obatan. Ayahnya tak lagi menumbuk daun herbal seperti kakeknya dulu. Dia
lebih suka obat-obat yang sudah jadi dan banyak dijual di kota. Kotak cahaya itu bernama HP. Dari sanalah
dia tahu banyak hal dan menceritakannya pada kami. Tentang youtube, tentang
Harlem Shake, tentang facebook, tentang burung yang lebih ajaib daripada gagak
bernama twitter. Dia berkotbah seharian dan memaksa kami mencerna semuanya
itu dengan cepat. Moon lebih cepat mencernanya daripadaku hingga dia membiarkan
hantu yang bercokol di kotak cahaya itu mencengkeramnya. Tak bisa kulupa
bagaimana dia membelalakkan mata saat Jaelani mengeluarkan suara musik
tradisional desa kami. Kulihat tangannya langsung tegang. Moon sudah jatuh
cinta dengan kotak cahaya itu. Sementara Jaelani? Ah, dia hanya suka ditemani
menari. Seperti laki-laki dewasa di desa ini yang suka menari dengan ditemani
tuak, anggur, dan candu.
Langkahku hati-hati saat melewati jalan
setapak yang becek. Di sana sudah ada gerombolan tanaman mondokaki yang
menungguku. Bunga-bunganya yang seputih susu bermekaran dengan indah. Segera
kupetik daunnya dan kumasukkan dalam saku bajuku.
“Siapa yang tersengat kalajengking?”
sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh. Di sana Tumper Kasun berdiri. Kali ini
tanpa cambuk kebesarannya. Dia sudah punya mainan baru yang lebih mengerikan.
Sebuah senapan laras panjang yang dibelikan ayah untuknya. Semua petugas
keamanan desa memiliki senapan. Mereka sekarang tak lebih seperti gerombolan
perampok. Aku muak melihat rasa bangga yang bergelayut di wajah mereka saat
lewat di jalan-jalan desa.
“Tak ada,” sahutku. Aku buru-buru
memasukkan daun terakhir ke saku dan hendak pergi. Tumper Kasun menghadang
langkahku. Aku menunduk. Bukan tak berani menatap matanya. Aku hanya tak ingin
dia menyakitiku lagi.
“Lalu mau kamu apakan daun-daun itu?”
“Hanya untuk main-main.”
“Kamu terlalu besar untuk main-main
dengan daun-daun mondokaki.”
“Bukannya lebih menguntungkan bagimu? Aku
hanya memainkan mainan anak kecil. Jadi tak perlu kamu mengawasiku terlalu
keras. Aku sudah meringankan pekerjaanmu.”
Tumper Kasun tertawa.
”Kamu tak ingin tumbuh rupanya?”
“Jika tumbuh dewasa hanya menyusahkanku
lalu untuk apa menjadi dewasa?”
“Sayang sekali. Padahal akan ada banyak
laki-laki yang senang jika kamu tumbuh dewasa.”
Aku segera mengambil ancang-ancang untuk
pergi. Kucium samar bau tuak di mulutnya. Dia pasti mabuk
semalam. Tiba-tiba dia mencekal tanganku. Aku terpaksa menantang matanya.
“Salah satunya aku,” katanya. Perutku
langsung mual. Kukibaskan tangannya. Jangan dia kira dia kakak tiriku
lalu dia bisa memegangku dengan leluasa. Aku mendengus kesal dan berlari cepat.
Bisa kudengar suara tawanya yang mengejek. Dia pasti kegirangan karena telah
menakutiku. Dia memang berhasil. Sampai rumahpun lututku masih bergetar hebat.
Moon yang sedang menenggak susu sekendi menatapku heran.
“Dari mana Kak?”
“Dari hutan.”
“Tanpaku?”
“Aku mencari daun
mondokaki.”
“Untuk siapa?”
“Untuk siapa lagi?
Tentu saja untuk kamu. Sikapmu persis saat kamu tersengat kalajengking.
Mengigau, meracau, dan blingsatan saat tidur.”
“Tapi aku tak tersengat kalajengking.”
“Memang bukan kalajengking tapi kotak
cahaya itu. Lagu-lagu di dalamnya sudah menyengatmu.”
Moon menatapku. Ibu
datang dengan membawa kendi susu untukku lalu meletakkan di mejaku. Kami tak
berani bicara lagi. Dari jauh kudengar suara gagak. Tubuh Moon menegang. Saat ibu masuk ke
dapur lagi aku berbisik
“Apa yang dikatakan
Jaelani padamu barusan?”
Moon hanya terdiam
dan menghabiskan susunya dengan lambat-lambat.
Cerber ini dimuat di majalah Femina edisi 37 20-26 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar