Oleh Ruwi Meita
Namaku Sangre
Sikula. Aku tinggal di sebuah desa yang melarang anak perempuan sepertiku
menari atau tersenyum. Tak perlu kalian tahu dimana desaku berada. Lagipula
kalian takkan mau tinggal di desaku selama kalian masih suka berseluncur di
internet, bebas mengabadikan tulisan seliar apapun, menari ala Harlem Shake, atau
mungkin sekedar berfoto di sebuah pantai berpasir putih saat sunset berhasil
mengembangkan senyum kalian. Semua itu tak bisa kalian lakukan di sini jadi aku
bisa dengan yakin berkata jika kalian takkan mungkin mau tinggal di tempat yang
melarang kalian untuk melakukan semua hal yang kalian suka.
Tetapi aku tinggal
di sini dan aku menyukainya sebab hanya tempat ini yang kukenal sejak aku lahir.
Ada beberapa hal yang membuatku bahagia di sini meski aku selalu menelan
kebahagiaan itu dalam wajah yang selalu serius dan dingin. Adat, norma, agama
dan budaya memasung kami dengan pembenaran-pembenaran. Kebenaran yang
membelenggu hanya ada di tanah kami. Kemerdekaan hanya noktah tak berarti. Dia
hanya kawan sunyi yang ditiupkan angin pegunungan. Sebuah pegunungan yang
menjadi rahim batu-batu emas selama ribuan tahun.
Sejak kecil aku
memahami kemerdekaan sebagai setetes embun di rerumputan yang selalu menghilang
saat matahari bersinar. Meskipun kemerdekaan datang setiap pagi namun dia tak
lagi bernama kemerdekaan saat siang menjelang. Selama ada matahari maka kami
anak perempuan harus bersikap seperti batu. Diam. Bisu. Aku sudah terbiasa
dengan kondisi seperti ini. Tempat ini pasti akan menjadi tempat yang lebih
baik jika seseorang membunuh matahari. Tapi siapa yang bisa?
Aku tahu matahari
tak selamanya bertengger di langit. Dia selalu bergulir ke bagian dunia yang lain. Terang di sana,
gelap di sini. Aku bisa saja tersenyum atau menari dalam kegelapan dan tak
perlu khawatir jika mereka melihatku. Namun binatang malam punya
mata yang bisa menembus gelap dan burung hantu suka berkabar. Menjadi batu di
dalam kegelapan adalah pilihan paling bijaksana jika tak ingin merasakan rasa
sakit luar biasa.
Jika kalian masih
penasaran dimana aku tinggal sebut saja desaku dengan Tarian Hujan. Aku suka
menamai segala hal dengan imajinasiku sendiri. Desa Tarian Hujan berada di pinggir
hutan dengan hujan yang kadang-kadang turun di musim panas. Ada sebuah mata air
di dekatnya. Bentuknya seperti sumur besar. Airnya bening dengan dasar biru.
Aku bisa turun ke dalam sumber mata air itu sebab ada tangga yang terjulur ke
bawah dan berakhir pada sebuah papan kayu yang mirip dermaga kecil. Aku dan
adikku Moon Sikula senang duduk-duduk di dermaga kecil itu sembari memerhatikan
air tanah yang merembes turun dari pinggir dinding sumber di atas kami. Jika
tidak ada orang, kami melepas kasut dan menjulurkannya ke bawah hingga jempol
kaki kami menyentuh permukaan air.
Moon Sikula adalah
adik sekaligus sahabat baikku. Kami tak pernah bertengkar namun juga tak pernah
bergurau. Gurauan bisa membuat kami tersenyum bahkan tertawa. Kami tak berani
membayangkan akibatnya jika kami melakukannya. Bisa-bisa Tumper Kasun, kakak
tiri kami akan mencambuki kami habis-habisan. Anak sulung dari istri pertama
ayah kami itu sangat memuja cambuk panjang berwarna merah dengan manik-manik
kecil yang dipasang di ujungnya. Maniknya memang indah namun jika menyentak
kulit rasanya panas dan perih. Aku pernah merasakannya gara-gara tak sengaja
melihat teman laki-lakiku, Jaelani, lewat di depan rumah kami. Katanya aku bisa
jadi perempuan nakal jika mataku terbiasa melihat laki-laki. Kelihatannya
Tumper Kasun mendidikku namun aku tahu dia hanya ingin melecutkan cambuk itu.
Matanya selalu bersinar dan senyumnya terselip setiap dia menyakiti orang.
Ketika umurku 13
tahun, Moon Sikula pernah menanyakan apa mimpi terbesarku dan aku menjawab
kalau aku ingin menjadi badut. Moon Sikula hanya melengos kala itu. Dia tak
bermaksud mengejek mimpiku. Melengos adalah salah satu caranya untuk menahan
senyum atau tawa.
“Bagaimana kamu bisa
jadi badut jika kamu tidak boleh tersenyum? Seorang badut akan terlihat jelek
jika dia tidak tersenyum.” Di desa Tarian Hujan tidak pernah ada badut. Kami
berdua pertama kali melihat badut di buku cerita anak di sekolah. Itupun kami
baca sembunyi-sembunyi saat Bu Fayedra Limai mengunci kami di dalam kelas dan
meninggalkan beberapa buku untuk kami baca. Bu Fayedra Limai adalah guru
perempuan satu-satunya di desa kami. Dia mengunci kami bukan karena menghukum
kami namun untuk melindungi kami agar tak seorangpun tahu kami telah membaca
buku-buku itu.
Oh ya, aku lupa
selain menari dan tersenyum anak perempuan juga tidak boleh membaca buku
banyak-banyak. Para tetua sudah menentukan buku apa yang boleh kami baca dan
sayangnya pilihan mereka sangat buruk sekali. Buku-buku bagus bukanlah bagian
kami. Karena ibuku tidak berkata apa-apa soal membaca buku maka kami berdua
terus melakukannya secara diam-diam, tentunya dengan bantuan Bu Fayedra Limai.
Sementara itu Moon
Sikula mempunyai mimpi yang tak kalah mustahil dariku yaitu ingin menjadi
penari. Aku selalu berkata padanya untuk mengganti mimpinya namun dia tetap
saja melanturkan keinginan itu seperti igauan saat dia sedang demam tinggi. Bagaimana
mungkin dia bisa menjadi penari jika menari saja dilarang di desa Tarian Hujan.
Kata ibuku,
kaki-kaki anak perempuan yang menari bisa meledakkan langit dan melenyapkan
senyum para tetua desa. Soal langit bisa meledak aku bisa memercayainya. Aku pernah
melihat awan jatuh di tengah hutan saat aku dan Moon Sikula, adik perempuanku
sedang mengambil air. Aku ketakutan setengah mati karena waktu itu aku memang
sengaja menggoyang-goyangkan jempol kakiku.
Aku tak tahan sebab gemericik air dari
atas tanah di sumber air itu membuatku ingin menggerakkan badanku. Tentu saja aku tidak
berani menari, fatal akibatnya jika aku tak bisa menahan diri.
Badanku tersiksa
semua gara-gara menahan diri cukup lama. Jadi aku memutuskan untuk
menggoyang-goyangkan jari kaki yang tersembunyi pada kasutku yang rapat. Pada
saat itulah aku melihat gumpalan putih melayang dan lesap di tengah hutan. Aku
yakin itu sebuah awan. Moon Sikula juga melihatnya. Dia juga beranggapan awan
telah jatuh sebab diam-diam dia mengembangkempiskan lubang hidungnya karena
mendengar burung gagak berkaok-kaok. Aku tak berani mengingat-ingat kejadian
itu lagi. Jika jempol yang bergoyang atau hidung yang kembang kempis bisa menjatuhkan awan lalu bagaimana dengan
seluruh tubuh yang bergerak dan menari?
“Mimpiku dan mimpimu
itu mustahil,” kata Moon Sikula.
“Lebih baik punya mimpi
yang mustahil daripada tidak punya mimpi sama sekali,” kataku kepada Moon
Sikula. Sejak saat itu kami tidak pernah membicarakan mimpi mustahil kami
sampai sekarang saat umurku sudah beranjak 17 tahun.
***
Tak ada yang
menyangka jika hari di saat matahari menopangkan wajahnya pada pelangi kusebut
sebagai insiden senyum yang brutal. Selepas hujan, ibu menyuruh kami mencari
air sebab dia akan memasak untuk ayah yang akan bertandang di rumah kami.
Biasanya ayah lebih banyak menghabiskan harinya di rumah istri pertama yang
letaknya hanya selisih satu rumah dengan kami. Ibuku adalah istri kedua
sedangkan rumah yang memisahkan rumah istri pertama dengan rumah kami adalah
rumah istri ketiga.
Sudah berbulan-bulan
ayah tidak bertandang sebab dia sedang sibuk dengan istri ketiga yang baru
dinikahinya enam bulan yang lalu. Istri ketiganya adalah teman sekolahku.
Bagaimanapun ayahku adalah orang terhormat di desa kami. Semua perempuan di
desa kami takkan menolak jika ayah memperistri mereka. Apalagi ayah kami ada penguasa
separuh pegunungan yang penuh emas itu.
Aku dan Moon Sikula
menyunggi kendi di kepala kami. Sungguh bersyukur kendi itu menghalangi
pandangan kami untuk tak tengadah ke langit. Pelangi seperti busur yang
lengkung di sana. Aku takkan bisa bertahan untuk tidak tersenyum jika memandang
pelangi. Begitu pula dengan Moon Sikula. Sejak tadi kulihat dia gelisah. Pemandangan
indah ditambah suara gagak di kejauhan sungguh merayunya untuk menggerakkan
badan. Sejak kecil dia percaya jika dia mengerti bahasa gagak. Saat ini
gagak-gagak itu sedang menyanyi. Dalam kaokannya yang parau Moon mendengarnya
sebagai untaian lagu. Dia menggigit bibirnya berusaha mencegah dendang di
hatinya keluar dari mulutnya.
Soal menari aku
lebih bisa menahan diri daripada Moon Sikula tapi soal senyum Moon Sikula lebih
jago menahan diri daripada aku. Kata ibuku senyum anak perempuan akan
mengeringkan sumber mata air. Untuk yang satu itu tentu saja membuatku takut
setengah mati sebab kami hanya punya satu sumber mata air di desa kami dan
semua orang menumpukan kebutuhan hidup di sumber mata air itu. Kami sebenarnya
punya sumur di rumah namun airnya jelek. Tambang emas itu sudah meracuni
sumur-sumur kami. Air sumur hanya kami gunakan untuk mandi dan
mencuci baju serta perkakas dapur. Air di sumber mata air kami gunakan untuk memasak dan minum. Jika
sumber mata air itu kering lalu bagaimana kami bisa hidup? Bagaimana
ternak-ternak kami bisa minum? Apapun kulakukan agar aku tak tersenyum supaya
mata air itu tidak kering.
Bagaimanapun kebahagiaanku terletak pada
sumber mata air yang selalu membuatku dan Moon Sikula tenang. Tak ada yang bisa
menandingi sumber mata air di desa Tarian Hujan. Lubang mata air itu mirip
lubang mata. Bagian tengah airnya berwarna biru gelap dan nyaris bundar
sementara di sekeliling bagian biru gelap itu berwarna biru lembut, lebih
terang. Aku dan Moon Sikula berandai-andai jika dilihat dari atas sumber mata
air ini pastilah mirip sebiji mata. Dan karena saking indahnya maka kami
menamainya Sebutir Mata Tuhan.
“Tahanlah Moon,”
bisikku.
“Kamu memerintahku
atau dirimu sendiri?” kata Moon.
“Apa bedanya?”
“Ya apa bedanya?”
“Jangan kamu gigit
bibirmu seperti itu. Kamu bisa sariawan.”
“Lebih baik begitu.
Biar aku tak bisa senyum.”
Moon Sikula turun ke bawah sumber air dan
mulai mengisi kendinya. Aku mengikutinya dari belakang dengan berusaha sekuat
tenaga untuk tidak melihat pelangi. Aku ini sebenarnya orang yang mudah
tersenyum dan semua ini lebih mirip hukuman bagiku. Sangat berat. Hal sekecil
apapun justru malah menggelitik bibirku untuk mengembang tanpa kusadari. Tebaran
embun di rumput kala pagi menjelang bisa membuatku tersenyum atau ujung pelangi
yang menghunjam Sebutir Mata Tuhan. Kadang keindahan lebih bisa membuatku
tersenyum dari lelucon paling konyol sekalipun. Itulah sebabnya aku selalu
berjalan sambil menutup mata saat melintasi padang rumput dan berjalan mundur
ketika mengambil air saat pelangi melengkung.
Kami baik-baik saja saat berada di sumber
air. Paling tidak kami bisa mempertahankan wajah dingin kami. Di sumber mata
air itu ada beberapa orang yang juga mengambil air dan aku bisa melihat mereka
sesekali mencuri pandang ke arah pelangi. Siapa yang tidak
tergoda dengan keindahan di depan mata itu?
Aku menyenggol siku
Moon dan dia tahu jika itu tanda supaya kami cepat-cepat pergi. Aku tadi sempat
melihat kelebatan kakak tiri kami Tumper Kasun yang lewat di atas sumber. Aku
muak dengan kakak kami itu. Umurnya sudah 25 tahun namun kelakuannya seperti anak
umur lima tahun. Suka merengek dan memukul. Aku tak habis pikir kenapa ayah
melimpahkan keamanan desa kepadanya?
Kami melewati Tumper
Kasun yang sedang memberi minum kudanya tanpa tegur sapa. Dia melirikku dengan
tatapan yang tajam. Aku tak terlalu ambil pusing dengan sikapnya. Dia memang
selalu membenci kami. Mungkin karena ibuku istri kedua dan kami adalah
anak-anak ayahnya. Tapi kenapa dia harus membenci kami toh warisan ayah akan
jatuh ke tangannya. Dia anak laki-laki dari istri pertama. Takkan ada yang
merebut tahtanya. Apalah daya anak-anak perempuan seperti kami?
Langkah kami semakin
cepat. Pada saat kami hendak membelok ke arah
jalan masuk rumah. Aku melihat Jaelani sedang menggerak-gerakkan badannya. Di
telinganya tersumpal sesuatu. Aku takjub melihatnya. Moon Sikula hendak melihat
juga namun terhalang tubuhku. Moon tak melihat ada batu di depannya. Dia jatuh
terjerembab dan wajahnya terbenam pada bubur warna hijau dan bau.
Aku menoleh. Perutku sampai menegang dan
rasanya sungguh sakit. Kram hebat. Aku memang berhasil tidak tertawa namun aku
tak mampu menghalangi bibirku untuk tersenyum. Hanya sedikit saja. Tipis.
Mungkin aku lebih terlihat seperti menyeringai. Campuran antara geli
dan kesakitan. Meski begitu sensansi untuk tersenyum menanduk-nanduk di
bibirku. Jika kubiarkan bisa-bisa aku tertawa ngakak. Cepat-cepat kugigit
bibirku sampai berdarah agar aku bisa menghalau senyumku. Untung tak ada yang
melihat kejadian itu kecuali ibuku.
“Ya ampun! Kenapa
kalian lama sekali? Ayah kalian sebentar lagi datang. Cepat masuk rumah!”
(Cerita bersambung ini dimuat di majalah Femina edisi 36 13 September 2014)
Penasaraaan 😊
BalasHapuswow! ide ceritanya kereeennn...
BalasHapusdesa tarian hujaaan, cita2 jadi badut, larangan dan adat yang ... hummm... saya tak mau tinggal di sana :)
diksinya indah. terpesona saat membacxanya. ditunggu kelanjutannya
BalasHapusTerimakasih semuanya. Bagian keduanya sudah ada lho
BalasHapuskeren, bikin saya penasaran dengan akhir ceritanya :)
BalasHapus