Riset adalah kunci memenangkan
sebuah peperangan. Begitu kata Robert Mckee dalam bukunya Story. Saya
sudah memercayai hal ini bahkan sebelum menulis novel. Saking percayanya justru
hal inilah yang dulu membuat saya tidak juga memulai menulis novel. Karena apa?
Sebab saya pikir riset itu sangat berat dan memusingkan. Jika hanya menulis
novel saja tanpa riset pasti hasilnya hampa, ringan, dan tidak akan memberi
pengetahuan untuk pembaca. Namun keinginan menulis novel terlalu besar hingga
akhirnya saya pun menyentuh tahapan ini : RISET.
Riset tidak hanya mencari
fakta-fakta yang berkaitan dengan novel yang akan saya buat. Riset bisa berupa
riset ingatan dan imajinasi. Untuk bisa menyentuh hati pembacamu riset ingatan
bisa membantu untuk mendekati suasana yang hendak dibentuk. Misalnya dalam
novel saya yang berjudul Rumah Lebah ada adegan dimana Alegra Kahlo
begitu tak berdaya saat diperas oleh wartawan brengsek. Dia tidak punya pilihan
selain membayar wartawan itu daripada rahasianya sebagai penderita bulimia
terbongkar. Untuk bisa merasakan kejengkelan Alegra Kahlo lalu saya teringat
dengan kondisi saya disaat pengadilan agama menyerahkan hak perwalian anak
kepada mantan suami. Rasanya tanpa
harapan, tanpa pilihan, tanpa pegangan, tanpa masa depan. Suasana dan perasaan
itu saya ubah ke dalam perasaan Alegra Kahlo.
Lalu bagaimana dengan riset
imajinasi? Saya selalu ingin membuat tokoh yang benar-benar hidup dan tidak
terlupakan. Maka saya melukiskannya dalam imajinasi saya. Saya bahkan
mewawancarai tokoh saya dari hal kecil sampai hal besar. Tentang bagaimana cara
dia makan, apa dia selalu berdoa sebelum tidur, bagaimana dia menyikapi suatu
masalah, kebiasaan buruknya, tayangan televisi favoritnya, apa dia suka
menyembunyikan majalah porno di bawah kasur, dll.
Kali ini saya akan berbagi
bagaimana suka duka dan pengalaman saya saat menjalani riset demi kepentingan
penulisan novel-novel saya. Semoga bisa memecahkan sebuah pemikiran kalau riset
itu sangat membosankan dan susah. Pada dasarnya riset itu justru akan membawa
kita pada tantangan, pengalaman, dan pengetahuan yang menyenangkan. Yah,
kadang-kadang ada saat yang tidak mengenakkan namun pada saat kamu mengenang
pengalaman itu percayalah kamu akan menyungging senyum.
1. 1. RUMAH LEBAH : Rahasia
Wajah-Wajah Asing
Novel ini bercerita tentang seorang
penderita multiple disorder dengan 6 kepribadian. Saya membaca buku-buku
tentang kepribadian ganda yaitu 24 Wajah Billy dan Pikiran Yang Retak.
Selain itu saya juga sering bertanya dengan anak-anak Psikologi dan mereka
memfotokopikan diktat-diktat kuliah mereka yang berhubungan dengan kepribadian
ganda. Hal yang menarik adalah saat saya berkunjung ke Rumah Sakit Jiwa Pakem. Kebetulan teman SMA saya menjadi dokter di
sana jadi saya bisa berjalan-jalan di rumah sakit dengan leluasa. Dia juga
menerangkan soal penyakit kepribadian ganda yang di Indonesia susah dideteksi
karena bias dengan kasus kesurupan. Melihat pasien dengan dekat bahkan mengajak
ngobrol mereka membuat saya bisa menyentuh warna-warna kegilaan dan nuansanya.
Di dalam novel ini ada kasus pembunuhan. Saya ingin
mengajak pembaca untuk masuk dalam suasana pembunuhan dan melihat kematian
secara dekat. Karenanya saya mempelajari dan membaca apa yang terjadi pada
tubuh manusia setelah mati. Buku Pedoman Kedokteran Forensik
karya dr. Abdul Mun’im Idries adalah harta karun untuk riset saya selain Stiff
karya Mary Roach.
Mara adalah
salah satu tokoh dalam novel ini yang saya buat dengan sangat unik. Dia seorang
anak dengan kecerdasan luar biasa namun sangat anti sosial. Cara bicaranya sangat formal dan dia seperti anak
jebolan sekolah kepribadian yang selalu santun dan menginginkan semuanya serba
teratur dan rapi. Dia juga tergila-gila dengan beruang. Saya membaca
banyak hal tentang beruang untuk bisa menghidupkan tokoh Mara. Dari Beruang
kutub sampai Winnie the Pooh.
2.
2.SEX ON CHATTING
Barangkali novel
ini risetnya yang paling mendebarkan. Novel ini bercerita tentang polisi
bernama Mahendra yang menyelidiki kasus pembunuhan yang menggiringnya pada
kasus cyber Crime. Kencan yang bermula dari chatting kemudian dilanjutkan
dengan jumpa darat adalah modus pelacuran gaya baru. Inilah yang diangkat dalam
novel ini. Mau tak mau saya pun menyelami dunia chatting. Menemukan narasumber
yang juga pemain dalam chatting erotis termasuk susah-susah gampang. Saya
dibantu oleh teman-teman yang masuk dalam tim riset.
Diajak untuk
jumpa darat di sebuah hotel, digiring pada percakapan erotis, adalah
konsekuensi dalam riset ini. Namun ada satu hal menarik yang membuat saya bisa
berkenalan dengan Older, seorang anak perempuan yang kala itu berumur 12 tahun.
Sebenarnya dia masuk sebagai intermezo dalam riset saya. Older adalah seorang
anak Itali dengan masa kanak-kanak yang buruk sehingga dia mengalami
penyimpangan seksual. Older memiliki
ayah dan ibu angkat yang termasuk golongan berada. Dia juga punya adik angkat
bernama Enola. Hanya saja keluarga itu “tidak normal”. Ayah dan ibu angkatnya
seorang paedofil. Older dan Enola bisa ditiduri oleh bapak dan ibunya secara
bergantian. Bagi Older hal itu adalah sebuah kewajaran dan sesuatu yang
tidak salah. Dia sangat
menikmatinya. Dia menceritakan kepada saya setiap detil pengalaman seksualnya
dengan ayah dan ibu angkatnya.
Waktu itu saya
pikir Older mungkin seseorang yang menyaru dan merekayasa cerita. Dia mencium ketidakpercayaan saya. Lalu
dia mengirim foto dirinya. Ternyata dia seorang gadis yang sangat cantik. Dia
juga mengirim foto adiknya Enola yang tak kalah cantik. Dan yang terakhir
karena dia masih merasa saya tidak percaya padanya dia mengirim sebuah foto
yang membuat jantung saya hampir copot. Di foto itu dia sedang duduk di
pangkuan seorang laki-laki dewasa (rekan bapaknya). Older memegang
sebuah kertas yang bertuliskan “Ruwi, this is me”. Yang membuat jantung saya copot
keduanya tanpa busana.
Older ingin saya
menuliskan kisahnya. Saya tidak menjawab sampai sekarang. Di hari Natal dia
pernah mengirimi saya uang 50 Euro via western union untuk membuat saya percaya
lagi. Baginya uang itu hanya uang saku selama sehari tapi buat saya uang itu
bisa membantu saya selama sebulan. Lalu karena kesibukan saya menulis novel dan
kehidupan di luar dunia maya saya jadi jarang kontak dengan Older hingga
akhirnya benar-benar putus. Terus
terang jika saya harus menulis kisahnya saya tidak akan bisa menahan rasa mual
di perut saya. Saya hanya tidak percaya bagaimana seorang gadis 12 tahun
menganggap semua pengalaman seksual itu adalah sebuah kewajaran. Jujur
saya tidak mampu menulisnya dalam bentuk novel sebab saya pasti teringat
anak-anak saya. Lagipula saya sudah
kehilangan kopian perbincangan kami di chatting dan foto-fotonya. Older,
dimanapun kamu berada semoga kamu bahagia.
Kembali pada Sex
On Chatting, akhirnya kami menemukan satu pemain yang bisa kami jadikan
narasumber bahkan dia datang di launching novel tersebut, tanpa malu dan ragu
menjawab semua pertanyaan pengunjung. Saat berseluncur di dunia chatting rasanya dada ini berdebar terus. Sebenarnya
ada banyak hal di luar sana yang tidak saya mengerti.
(bersambung)
Mbak, saya juga jadi ikutan berdebar terus. Berasa dapet harta karun kalo bisa baca behind the scene proses kreatif penulis :)
BalasHapusHuhhh benar2 Miris. Gak nyangka ada juga yang kayak gitu.
BalasHapusSukses terus Riset dan nulisnya Mbak. salam kenal..