Oleh: Ruwi
Meita
Brey : 17 tahun
Cahaya bulan
jatuh di pelataran Candi ketika Brey mengenakan kainnya. Mungkin saja gadis itu
ada di dalam candi dan itu artinya Brey harus mengenakan kain untuk masuk. Seseorang
bapak-bapak dengan ikat kepala yang meminjamkan kain itu di pelataran Pura
Besakih. Sebenarnya bukan meminjam tapi menyewa sebab Brey harus mengeluarkan
uang 5 dolar untuk mendapatkan kain itu. Bapak itu tidak keberatan menerima
uang dolar sebab Brey tidak sempat menukar uang. Baru tiga jam yang lalu dia
sampai di Bali dan waktunya habis untuk mencari alamat gadis itu. Sebuah status
di facebook yang diposting sepuluh menit lalu yang membimbingnya kemari.
“Purnama di Pura
Besakih dan aku di sini. Masih ragu-ragu.”
Brey melihat ke
atas. Purnama mulai tertutup awan. Dia harus bergegas. Saat langkah kakinya
yang tersendat kain bergerak maju,
pikiran-pikiran Brey terus berputar kesana-sini. Ini keputusan yang ia buat dengan hati. Meski harus melukai hati
yang lain. Hati Oma yang tidak pernah rela Brey pergi.
"Bagaimana mungkin kamu bisa
jatuh cinta dengan seseorang yang kamu kenal di Facebook namun kamu belum
pernah bertemu dengannya? Gadis itu bisa saja menipumu," kata Oma waktu
itu sambil menatap mata biru Brey yang terus menantang. "Kamu bodoh Brey.
Semua gadis-gadis suka dengan cowok bermata biru seperti kamu. Meski kamu punya
darah Minang dari Oma namun bagi mereka kamu ini tetap seorang bule." Brey
sudah mengambil keputusan dan untuk itulah dia di sini untuk menemui Ayu, gadis
yang sudah dikenalnya selama tiga tahun di facebook. Maafkan aku, Oma. seru
Brey dalam hati. Matanya terus mengawasi purnama yang mulai tertelan awan.
Semoga aku belum terlambat, batin Brey. Suara di dadanya menderu seperti derap
kaki kuda di pacuan.
Ayu: 16 tahun
Ksatria memiliki
panggilan yang berbeda di negara yang berbeda. Mereka disebut caballero
(Spanyol), chevalier (Perancis), atau ritter (Jerman). Dua hal
yang menyamakan mereka adalah kuda dan baju perang. Namun bagi Ayu seorang
ksatria adalah seseorang yang mau menerima seorang gadis apa adanya. Ksatria
itu seharusnya Brey, cowok spesial yang dikenalnya di facebook selama tiga
tahun. Ayu memandang dinding-dinding candi yang semakin gelap. Tidak lagi
keemasan seperti tadi. Ayu mendongak ke atas. Purnama hampir tertelan awan.
Pantas saja, pikirnya. Ayu ingin pulang namun pikirannya masih memberatkan
langkahnya.
Waktu itu Mira,
teman dekat Ayu terpikat dengan bule penipu cinta di facebook. Pada awalnya
bule itu mengajak berkenalan lalu mulai memuji-muji Mira. Setelah itu rayuan
maut pun dilancarkan. Ayu masih ingat betapa Mira dimabuk kepayang karenanya. Ujung-ujungnya
Mira disuruh transfer uang dengan alasan untuk biaya rumah sakit karena si bule
barusan kecelakaan, Mira menyanggupinya dan merelakan uang SPPnya ditransfer ke
bule itu. Tak berhenti sampai di situ. Mira bahkan menjual laptop, hp, dan
lagi-lagi menggelapkan uang SPP selama 3 bulan untuk mentransfer bule itu
dengan alasan membayar DP tiket pesawat ke Indonesia. Siapa yang tidak gelap
mata jika sang pujaan hati hendak ke Indonesia menemuinya? Sayangnya bule itu
tidak pernah datang dan Mira kena marah orantuanya karena mendapat laporan
sekolah soal uang SPP. Mira sangat shock. Dia mengalami kerugian materi
dan penderitaan batin.
Belajar dari
pengalaman Mira, Ayu mulai berpikir ulang soal hubungannya dengan Brey. Untuk
itulah dia menemui Bli Komang dan menceritakan hubungannya dengan Brey selama
tiga tahun ini. Ayu mengijinkan Bli Komang melihat-lihat inbox di facebook dan menelusuri
facebook Brey.
“Percayalah,
Brey bukan bule penipu cinta seperti Nigerian sweetheart scam yang
sedang heboh-hebohnya itu,” kata Bli Komang, kakak sepupunya waktu itu. Hanya
Bli Komang yang bisa menjadi tempat curhatan Ayu. Gadis itu hanya berani
berterus-terang mengenai apa saja entah itu perasaaan maupun keinginannya pada
Bli Komang yang lebih tua lima tahun. Menurutnya Bli Komang cukup bijaksana dan
bisa melihat masalah dari berbagai sudut pandang. Jadi jika menurutnya Ayu
salah maka Bli Komang akan terang-terangan mengatakannya. Dan ketika Ayu
melangkah pada jalan benar, Bli Komang akan terus menguatkannya.
“Lihat
foto-foto Brey di facebook. Dia selalu berfoto dengan keluarganya,
terang-terangan menunjukkan dimana rumahnya, sekolahnya, dan aktivitasnya. Biasanya
para scamer hanya punya dua atau tiga foto saja. Itupun mereka tak pernah
berfoto dengan keluarganya. Dan seorang bule penipu tidak membuang banyak waktu
untuk menipumu, tiga tahun terlalu lama untuk seorang penipu. Menurutku Brey
memang bermaksud berteman. Sekarang masalahnya bukan pada Brey tapi justru kamu
sendiri. Sebab kamu tidak jujur padanya.” Ucapan Bli Komang cukup menohok Ayu.
Bli komang benar, Ayu memang tidak jujur pada Brey namun Ayu tak pernah ingin
menipu Brey. Ayu hanya takut kehilangan Brey jika cowok itu tahu yang
sebenarnya. Dan benar saja setelah Ayu mengirimkan surat pengakuan di email
Brey, cowok itu tak terdengar kabarnya lagi selama seminggu ini. Kenapa dia
hilang begitu saja? Apakah dia tidak bisa menerima kondisi Ayu?
Brey: cowok
bermata biru
Brey sengaja
tidak mengirimi jawaban email Ayu. Lebih tepatnya Brey tidak sempat
membalasnya. Selama seminggu Brey segera disibukkan dengan rencana dadakannya
ini. Dia harus mengurus segala urusan untuk bisa datang ke Bali. Dari tiket
sampai visa. Dari membujuk papa mama sampai meyakinkan Om Felix yang tinggal di
Bali jika Brey bisa pergi ke Bali sendiri. Untung bulan ini Brey tidak perlu
ijin sekolah karena tepat liburan musim panas. Untunglah nilai-nilainya sangat
memuaskan sehingga mama papa menyetujui rencana liburan ke Bali. Om Felix pun akhirnya
mau menampungnya di Denpasar.
Brey masih
ingat wajah om Felix tadi saat Brey memaksanya mengantar ke Karangasem padahal
Brey baru saja menginjakkan kaki di bandara. Dan saat sampai di sana tiba-tiba
Brey minta diantar ke Pura Besakih. Om Felix hanya bisa menggeleng-gelengkan
kepala sambil berujar,”Kelakuanmu mirip orang sedang jatuh cinta, Brey.
Lagipula siapa yang tidak jatuh cinta dengan Bali?”
Brey belum bisa
mengatakan yang sebenarnya pada Om Felix sebelum dia bertemu dan bicara dengan
Ayu. Baginya email Ayu tak bisa dibalas dengan kata-kata. Ayu baru bisa paham
seandainya mereka bertemu. Sekarang dia ada di sini. Brey menghela napas
panjang dan menatap undakan tinggi di hadapannya. Pelan-pelan dia mulai naik
dengan hati-hati. Dia tak terbiasa memakai kain dan langkahnya jadi
tersendat-sendat. Pikirannya masih meriuh soal Ayu. Kenapa Ayu tidak
menceritakan hal sebenarnya sejak awal? Kenapa Ayu membohonginya selama tiga
tahun?
Ayu: cewek
bermata coklat gelap
Sejak kecil Ayu
sudah belajar untuk menerima respon orang-orang terhadap kondisinya. Hinaan dan
ejekan sudah menjadi makanan sehari-hari. Ayu sudah terbiasa dan belajar untuk
tegar. Semua menjadi lebih mudah saat dia bertemu dengan Brey di facebook.
Segera saja hidupnya menjadi lebih berwarna dan Ayu memandang dunia dengan
lebih positif. Yah, meskipun bahasa Inggris Ayu terbatas dan bahasa Indonesia Brey
selalu bikin ngakak namun pada dasarnya komunikasi bukanlah halangan yang
berarti.
Semula Ayu
hanya menganggap hubungannya dengan Brey hanyalah main-main. Namun dari hari ke
hari Brey menunjukkan sikap yang lebih perhatian. Brey selalu menjadi orang
pertama yang memberi like semua statusnya. Brey selalu mengirim salam ke
inboxnya setiap hari. Brey mengetag nama Ayu pada postingan foto atau tulisan
Brey di note Facebook. Dan hanya Brey yang mau melayani kicauan Ayu lewat chat
saat Ayu tak bisa tidur di malam hari. Ayu seperti mendapat seorang teman
sejati. Apalagi saat Ayu mendapat email dari Brey tentang perasaan Brey
terhadap Ayu setahun yang lalu. Brey mencintainya.
Ketika tahu
perasaan Brey padanya, Ayu semakin menunda untuk mengatakan kebenaran itu. Jika
saja Bli komang tidak memaksanya mungkin Ayu takkan pernah mengirim surat
pengakuan itu. Ayu lega sudah melakukannya namun di sisi lain dia menyesal
karena telah kehilangan Brey begitu cepat. Dia takkan pernah siap. Apalagi
dengan begitu banyak kenangan indah yang menghantuinya.
Ayu menarik
napas panjang. Dinding candi sudah demikian gelap. Awan nyaris menutupi purnama.
Hanya tinggal seujung lengkung bulan saja. Sudah waktunya dia pulang. Ayu berdiri
dan membalikkan tubuh. Namun wajahnya segera berubah. Seseorang memanggil tepat
di hadapannya.
Brey dan Ayu:
rahasia yang terkuak
Mata Brey
jelalatan di dalam pura. Hanya beberapa
orang saja di sana. Seharusnya menemukan Ayu lebih mudah namun dia yakin tak
ada Ayu di antara mereka. Ayu punya ciri khas yang membuatnya mudah dikenali. Brey
tidak menyerah begitu saja. Langkah yang tadinya tersendat kain sudah mulai
terbiasa. Di setiap sudut pura dia berusaha menemukan Ayu.
Bulan nyaris
tak tampak. Suasana semakin redup. Tak sengaja dia menemukan sudut lain yang
tadi luput dari pandangannya. Seseorang sedang duduk di sana. Brey hanya bisa
melihat punggungnya tapi dia yakin orang itu adalah Ayu. Pelan-pelan Brey
mendekat. Hatinya lega tapi juga sekaligus kacau balau. Dia belum pernah
menemui Ayu secara langsung. Rasanya jadi aneh dan mendebarkan.
Selama lima
menit Brey tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya memandang punggung Ayu. Apa
yang dipikirkannya saat ini? batin Brey. Lalu punggung itu tiba-tiba bergerak
dan Ayu berdiri. Ah dia hendak pergi, pikir Brey. Dan Ayu pun membalikkan badan
bersamaan dengan panggilan Brey.
“Ayu.”
Brey masih bisa
melihat rona wajah Ayu yang terkejut meskipun purnama benar-benar lenyap.
“Brey, itukah
kamu?” desis Ayu.
“Ya ini aku.”
“Kupikir kamu
tak mau melihatku lagi.”
“Ayu, aku
memang kecewa karena kamu tidak mengatakannya dari awal. Aku juga kecewa karena
kamu menganggap aku ini orang urakan yang segera lari saat tahu kondisimu. Aku
tidak seperti itu.”
“Lalu kenapa
kamu kemari jika kamu kecewa?”
Brey menghela
napas,”Aku kemari untuk menawarkan diri menjadi kedua tanganmu.”
Brey bisa
melihat dada Ayu terguncang dan air mata meleleh di pipinya. Ayu takkan bisa
mengusap airmatanya dengan kedua tangan yang tak pernah dia punya. Sejak lahir
Ayu sudah cacat. Inilah jawaban dari pertanyaan Brey selama ini. Kenapa
foto-foto Ayu di facebook selalu dipasang close up? Ayu tidak ingin menunjukkan
cacat lahirnya pada publik terutama pada Brey.
“Brey,” isak
Ayu. Dia tak bisa melanjutkan kata-katanya. Brey mendekatinya pelan-pelan.
“Ayu, aku
kemari ingin minta maaf karena tak mengatakan hal penting padamu. Kamu berhak
tahu seperti aku juga berhak tahu kondisimu. Ini bukan kebetulan. Ini justru
sebuah takdir jika kita saling melengkapi.”
Ayu menatap
Brey tak mengerti.
“Apa maksudmu,
Brey?”
Pelan-pelan
Brey mengangkat kainnya lalu membungkuk. Tangannya mengetok kakinya yang segera
berbunyi aneh. Seperti suara benda keras.
“Kamu?” bisik
Ayu.
“Ya. kaki
palsu. Kecelakaan parah lima tahun lalu.”
Lutut Ayu
melemas dan dia kembali duduk.
“Jadi maukah
kamu menjadi kakiku?” pinta Brey. Ayu menatap Brey lalu mengangguk. Bunga
kamboja yang tersemat di telinganya terjatuh. Senyumnya mengembang pelan dalam
tangisan. Brey tahu dia tak bisa menggenggam tangan Ayu tapi Brey yakin sudah
menggenggam hatinya. Bunga kamboja yang jatuh terkulai di lantai pura telah berwarna
keemasan. Ternyata awan telah lewat dari purnama.
Dimuat di majalah Gadis nomer 6, 24 Februari 2014
Bagus mbak :')
BalasHapusBagus, menyentuh, sekaligus suspens. :) Salam kenal, Mbak.
BalasHapustema sederhana, bagus, sangat menyentuh
BalasHapussalam kenal
selamat ya mbak :)
BalasHapus