Perjalanan
Yang Beku
Awal bulan Maret ini masih terasa dingin. Perjalanan dengan bus Avanza menuju Salamanca semakin
beku bagi Frida. Khaliluna tak pernah berbicara jika terpaksa. Jika anggukan
atau gelengan bisa mewakili perkataan maka dia lebih memilih melakukan kedua
hal itu. Frida sebenarnya juga bukan jenis wanita yang suka bicara namun demi
mencairkan suasana dia rela mengobral kata-kata. Hingga dia merasa bukan lagi
dirinya. Demi Khaliluna dia mau melakukannya meski dia tahu apa yang
dilakukannya saat ini takkan sanggup membayar 17 tahun kekosongan.
Khaliluna tidak tahu menahu tentang dirinya.
Hanya sebatas informasi terbatas jika Frida adalah ibu biologisnya. Tapi Frida
tahu segalanya tentang Khaliluna. Lewat sahabat karibnya, Nadia yang selalu
memberi kabar perkembangan Khaliluna dari hari ke hari. Seorang Nadia yang tak lain tak bukan adalah ibu tiri Khaliluna.
Setahun setelah kepergian Frida ke Spanyol, Nadia menjadi lebih dekat dengan
mantan suaminya, Ferdi. Nadia juga yang sering direpoti si kecil Khaliluna jika
Fredi sedang bekerja. Hubungan mereka menjadi semakin intim karenanya, hingga
Ferdi melamarnya.
Tanpa sepengetahuan Ferdi, Nadia selalu memberi kabar lewat email,
mengirimkan foto-foto Khaliluna, dan kadang CD rekaman kelucuan Khaliluna yang
dikirim lewat pos kepada Frida. Saat internet sudah menjadi sesuatu yang murah
maka Nadia membuat akun di youtube dan mengupload video-video Khaliluna yang
lebih didominasi saat Khaliluna bertanding dalam pertandingan olahraga panahan.
Nadia memang sahabat yang baik. Frida
bersyukur Ferdi memilihnya. Menurut Nadia tak ada yang bisa memutus hubungan
antara ibu kandung dan anaknya dan dia berupaya keras untuk terus menyambung
garis merah antara Frida dan Khaliluna. Frida sangat berterimakasih karenanya.
Meski apa yang diketahuinya bertahun-tahun ternyata tak bisa membuatnya mampu
memahami Khaliluna hanya dalam waktu singkat. Lagipula mereka baru satu jam meninggalkan
Madrid. Mereka masih punya waktu tak terbatas sebab Nadia baru saja mengirimnya
sms jika Khaliluna tak pernah berniat untuk pulang.
Tapi kenapa Khaliluna memilihnya? Bukankah
seharusnya dia membencinya?
“Jika kamu berniat pergi dengan laki-laki itu
jangan bawa Khaliluna. Pilih salah satu. Dia atau Khaliluna. Jika kamu memilih
dia maka lupakan segalanya tentang Khaliluna. Lupakan kalau kamu pernah punya
anak. Aku akan mengurusnya sendiri.”
Kala itu Ferdi menetapkan dua pilihan yang
sulit. Fredi merasa sudah tak ada dirinya dalam diri Frida. Maka dia mencari
pilihan lain yang bisa menghancurkan Frida. Khaliluna atau Jose. Dua pilihan
itu sangat berat bagi Frida dan Jose, laki-laki itu berhasil membuatnya tidak
memilih Khaliluna. Pada waktu itu memilih Jose adalah hal paling baik dan
paling memungkinkan bagi Frida. Lalu Fredi menutup semua kemungkinan untuk
berhubungan dengan Khaliluna. Namun Nadia tidak tega. Dia membuka saluran yang
semula ditutup oleh Ferdi. Berkat Nadia, Frida bisa menyentuh Khaliluna dalam
gambar-gambar, video, dan kliping berita koran.
Frida menghela napas panjang bertepatan dengan
Khaliluna yang mendengus pendek. Suasana
memang benar-benar membosankan. Sepanjang jalan hanya pemandangan
gersang carretera[1] yang bernuansa monoton. Menuju Salamanca
berarti menjauhi laut. Tak ada pemandangan biru eksotis di kejauhan.
“Kamu akan menyukai apartemenku. Letaknya di
tepi sungai Tormes. Kamu bisa menghabiskan banyak waktu di sana. Menyenangkan
pokoknya. Aku punya sepeda dan kamu bisa mengitari sepanjang sungai dengan
bersepeda,” kata Frida dengan berusaha lebih santai,
Khaliluna tak bereaksi. Dia masih dalam posisi
sama: duduk dengan memeluk ransel, memalingkan wajah ke arah jendela, mendengus
beberapa kali dan jari jempol saling bergesekan dengan jari telunjuknya.
Kulitnya sudah mulai terkelupas.
“Aku bekerja di restoran. Kamu bisa ikut jika
kamu mau. Bosku orangnya sangat menyenangkan. Namanya Mikel .Kalau bicara
sangat keras dan terus terang namun sebenarnya dia hangat dan baik hatinya.”
Khaliluna hanya mendengus kecil. Frida hanya mengangkat bahu. Mungkin sudah
saatnya dia menutup mulut. Khaliluna tidak terlihat nyaman dengan
kecerewetannya. Frida menyandarkan punggung ke sandaran kursi yang nyaman.
Membicarakan Mikel membuatnya teringat dengan perbincangan mereka sebelum Frida
berangkat ke Madrid.
“Sebaiknya kamu kuantar dengan mobil supaya
tidak repot,” kata Mikel setengah memaksa.
“Tak perlu. Bagaimana dengan restoran?”
“Kita bisa tutup.”
“Ah tidak-tidak, aku tidak ingin restoran
tutup gara-gara aku.” Tukang masak di restoran itu adalah Mikel dan Frida. Jika
salah satu dari mereka tak ada restoran tetap bisa buka. Namun jika keduanya
tak ada banyak langganan yang bakalan kecewa. Frida berusaha keras menolak
tawaran Mikel. Dia tidak ingin membuat Khaliluna tidak nyaman dengan kehadiran Mikel
sebab bagaimanapun Mikel tak hanya sekedar meminjamkan mobil. Mikel harus
menyetir pula. Frida tak pernah lagi bisa menyetir sejak kejadian itu. Yah,
kejadian lima tahun lalu yang membuatnya tak punya kekuatan untuk hidup. Mikellah
yang membuatnya bangkit dan bertahan.
Tak terdengar lagi suara dengusan kecil dari
Khaliluna. Frida meliriknya. Anak gadisnya tertidur dengan masih memeluk
ransel. Frida yakin Khaliluna tidak membawa banyak barang. Frida masih punya
pakaian-pakaian yang pasti muat untuk Khaliluna seandainya dia kehabisan
pakaian. Frida yakin Khaliluna memang sengaja melakukannya. Gadis itu berusaha
sedikit mungkin membawa barang yang hanya mengingatkannya dengan tempat
asalnya. Frida paham akan hal itu. Pada dasarnya mereka dua orang wanita
berbeda generasi yang memiliki kepahitannya sendiri. tanpa mereka sadar hanya
itulah satu-satunya yang menghubungkan mereka terlepas dari hubungan biologis
mereka.
Frida mengatur napasnya satu satu. Mereka
sudah hampir memasuki Salamanca. Dari jauh sungai Tormes sudah menghadang
dikangkangi jembatan kokoh Puentes Romano yang mengingatkan akan masa lampau.
Tak lama kemudian bangunan-bangunan tua bermunculan layaknya sebuah kota yang
muncul dari kedalaman lubang waktu dan disemaikan bersama kehangatan awal bulan
April yang menenangkan. Sayang, Khaliluna tidak melihat pemandangan yang
menakjubkan itu. Dia terlelap dalam mimpi tentang apel di atas kepalanya. Seseorang
yang tak terlihat wajahnya sedang membidiknya dengan busur dan panah. Sebuah
anak panah melesat dan membelah apel itu. Belahan apel jatuh di kedua tangannya
yang teracung. Di dalam daging apel yang putih kekuningan Khaliluna menemukan
sebuah mata panah dengan ukiran daun waru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar