Oleh: Ruwi Meita
Perempuan yang tinggal di sebuah rumah di tengah
sawah itu baru saja membeli sebuah kursi malas. Kursi itu terbuat dari kayu
jati, berplitur coklat gelap. Pada bagian sandarannya teranyam rotan berwarna
lebih terang. Dia membelinya bukan karena dia ingin bermalas-malasan melainkan
dia membutuhkan kursi itu untuk berpikir. Otaknya lebih bisa bekerja maksimal
jika seluruh tubuhnya berayun-ayun.
Saat dia sedang berpikir biasanya dia
mengerak-gerakkan lutut hingga tubuhnya terguncang-guncang. Kebiasaan ini
kadang mengganggu orang di sekitarnya karena saat dia duduk entah itu di bangku
taman, bangku bis, atau kereta, orang yang duduk di sebelahnya merasa terusik.
Apa yang dilakukannya menyebabkan suara mengganggu atau guncangan lokal di
sekitar bangku. Kadang teman karibnya, Nawitri, sering menyentuh lututnya untuk
menghentikan guncangan yang mengganggu itu, kalau dia masih bandel maka tepukan
keras yang dia dapat. Makanya ketika dia melihat kursi malas itu dia merasa tak
perlu lagi mengguncangkan lutut untuk membuat pikirannya jernih. Nawitri bilang
kebiasaannya itu karena mungkin sewaktu dia bayi suka diayun-ayun oleh ibunya
dalam gendongan. Dia hanya menggeleng dan bergumam seandainya memang begitu aku pasti akan bahagia...
Apapun alasannya dia sangat yakin kalau kursi
goyang itu memanggil dirinya. Dia sedang memikirkan cara untuk bunuh diri.
Kursi yang baru dibelinya sangat cocok untuk bisa berpikir secara pelan dan
pasti karena rencana bunuh diri membutuhkan perhitungan yang matang. Begitulah
yang ada di pemikirannya. Bukankah bunuh diri adalah sesuatu hal yang sulit
dilakukan?

Orangtuanya menamai perempuan itu Selena. Dia
adalah anak yang tidak menonjol dibandingkan keempat saudaranya yang lain,
bahkan sudah mendekati taraf terabaikan. Bapaknya menganggapnya sebagai
kesalahan besar yang mengotori pohon keturunannya. Saat saudara-saudaranya
memilih jalur profesi yang dibanggakan bapaknya, Selena lebih memilih profesi
sebagai penulis, suatu profesi yang menurut bapaknya adalah suatu hobi, bukan
pekerjaan. Dengan kata lain bapaknya menganggap Selena tetaplah seorang
pengangguran yang menyedihkan. Setiap orang yang menanyakan kabar keempat
saudaranya selalu dijawab bapaknya dengan suara yang lantang dan penuh antusias.
“Bagaimana kabar Adi?”
“Ah dia sedang meneruskan
S2-nya di Perancis”
“Nayla sudah melahirkan?”
“Iya, sepasang bayi kembar
lucu dan montok. Mereka baru saja beli rumah baru.”
“Ando sudah selesai ambil
spesialis?”
“Ya, baru saja. Sekarang
jadi direktur rumah sakit.”
“Dedi?”
“Dia sibuk menerbangkan
pesawatnya.”
Semuanya selalu berujung
pada nada kepuasan. Namun saat tiba giliran Selena, bapaknya menjawabnya dengan
suara tertahan tanpa membumbui jawabannya dengan cerita-cerita lain yang
menyilaukan. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah pengalihan perhatian agar
mereka tak lagi bertanya tentang Selena yang malang.
Satu-satunya yang mengerti
Selena adalah Nawitri, sahabat yang selalu menemaninya dalam suka dan duka
semenjak mereka SMP. Selena menganggap Nawitri adalah seorang saudara perempuan
terbaik dalam hidupnya seandainya mereka sekandung. Bahu Nawitri selalu
tersedia untuk Selena. Baginya Selena adalah seseorang yang selalu nampak di
matanya entah dalam kondisi membahagiakan atau memprihatinkan. Selama ini
Nawitri selalu mendukung apa yang ingin Selena lakukan. Kadang Selena berpikir
bahwa Nawitri adalah alasan terpenting untuk membuat dirinya kuat selama ini.
Apesnya hidup Selena tak
juga menguntungkan posisinya sebagai orang yang tidak menonjol. Kisah hidupnya
menyeretnya menjadi semakin tak tampak di mata keluarganya. Dia tak ada,
sosoknya hanyalah semacam formalitas dari suatu esksistensi- konsekuensi dari
sembilan bulan dia dikandung dan dilahirkan. Namun suaranya tak pernah
didengar, suara langkah kakinya seperti suara angin yang tidak penting. Selena
hanyalah bayangan yang bersembunyi pada bayangan. Gelap. Tak ada cahaya yang
bisa menembusnya. Dia hanyalah debu yang beterbangan di aspal yang panas.
Selena menikah dengan
orang yang salah. Seseorang yang menurut ayahnya sangat mengecewakan. Mereka
berbeda keyakinan dan ini dianggap bapaknya sebagai kesalahan besar. Semula
Selena mengira pilihannya ini tidak berpengaruh pada keluarganya yang tak pernah
memandangnya sebagai bagian dari mereka. Dia mengira tak ada yang peduli. Tapi
Selena salah. Tiba-tiba saja semua mata memandangnya. Pilihannya yang dianggap
salah itu langsung menarik perhatian. Dia merasa disorot paksa dengan lampu
panggung yang menyilaukan. Tiba-tiba dia menjadi kelihatan meski tetap saja tak
didengar. Semua jari menuding dirinya. Semua mata melotot padanya.
“Memilih suami saja tidak becus.” Seru ayahnya
saat itu.
“Pernikahan beda agama itu sama saja dengan
berzina. Kenapa kamu tidak bisa mencontoh saudara-saudaramu? Apa laki-laki itu
cuma si Bramanto saja? Pekerjaannya saja tidak jelas. Yang kaya itu bapaknya
bukan dia. Memangnya bapaknya mau ngurusi kalian berdua? Lalu kalau kamu punya
anak mau dikasih makan apa? Puisi? Kanvas?”
Dan semuanya makin parah saat apa yang mereka
tuduhkan menjadi kenyataan. Pernikahan mereka tidak semulus yang diinginkan
Selena. Bramanto adalah seorang pelukis angin-anginan. Dia hanya melukis
tergantung mood padahal jarang sekali
dia mendapatkannya. Dia lebih suka keluar rumah, nongkrong di warung kopi atau
galeri temannya. Saat Selena melahirkan pun Bramano tidak menemani. Kehidupan
ekonomi mereka bertambah parah saat Selena hampir tidak punya waktu untuk
menulis karena harus mengurusi anaknya yang baru saja lahir. Sementara itu
Bramanto masih tetap bersantai dengan kebiasaan lama. Dia menjadi lebih sering
keluar rumah dengan alasan tidak bisa melukis karena terganggu suara tangisan
anaknya. Diam-diam Nawitri sering memberi Selena uang untuk memenuhi kebutuhan
makan sehari-hari. Saat anak Selena sudah bisa ditinggal menulis, Selena mulai
bisa memperbaiki ekonomi mereka meski masih sangat pas-pasan. Suaminya tak
pernah menghasilkan sesuatu dan keluarganya sepertinya tidak peduli dengan
rumah tangga mereka. Selena mencoba bertahan namun tak bisa. Dia mengajukan
tuntutan perceraian. Walaupun perceraian itu tidak ada kaitannya dengan masalah
beda agama namun bapaknya tetap saja menuduhnya begitu.
Bramanto yang semula bersantai-santai dengan
kesenangan dan kemalasannya tiba-tiba tersentak saat mendapatkan surat panggilan
dari pengadilan. Dia merasa disodok dari belakang, ego laki-lakinya berontak.
Tiba-tiba saja dia menjadi rukun dengan bapaknya yang kaya itu. Mereka
sepertinya merencanakan pelajaran buat Selena yang telah berani berontak.
Akhirnya mereka bercerai dan mantan suaminya berhasil mengambil hak asuh
perwalian anaknya yang baru berumur lima tahun dengan menggunakan uang dan
kekuasaan bapaknya. Sebagai balas dendam atas perceraian itu mantan suaminya
membatasi Selena untuk bertemu dengan anaknya. Selena terpuruk. Dia semakin
terpuruk saat mendengar selentingan kabar bahwa anaknya hanya diasuh oleh baby sitter
dan dikurung dalam rumah besar dengan dua satpam dan anjing penjaga.
Kembali dia menjadi kelihatan kembali di mata
keluarganya, bukan untuk dihibur namun untuk dipersalahkan. Kalimat yang sering
didengarnya adalah apa kubilang. Selena
tak pernah memasukkannya dalam hati sebab hatinya terlanjur berkeping-keping
semenjak dia kehilangan anaknya. Tak lama setelah perceraiannya Nawitri datang
kepadanya untuk mengabarkan berita gembira sekaligus menyedihkan. Dia akan
menikah dengan seorang laki-laki berkebangsaan Australia yang sudah dipacarinya
selama tiga tahun. Nawitri meninggalkan Selena untuk mengikuti suaminya yang
tugasnya sudah selesai di Indonesia. Mereka tinggal di Australia.
Selena berusaha bersikap bahwa semua akan
baik-baik saja namun dia tak bisa mengelak bahwa Selena merasa sangat
sendirian. Semua tiba-tiba tak lagi berwarna. Dia malas untuk melakukan apapun.
Dia tak lagi menonton televisi, jalan pagi, pergi ke bioskop, membeli sayur,
membaca buku, atau bahkan keluar rumah yang baru saja dikontraknya setelah
peceraian. Rumah itu sangat kecil dengan satu kamar dan ruang tamu. Kalau mandi
dia mesti antri di kamar mandi umum. Waktunya dihabiskan untuk duduk di tepi
ranjang dan berdiam diri sembari melipat jari-jarinya yang diletakkan di
pangkuan. Jika tidak dia akan chating sampai subuh di warnet depan rumahnya. Di
dunia maya Selena bisa menjadi apa saja dan bisa menentukan alur ceritanya. Tak
ada yang nyata dalam dunia chating. Ini adalah dunia tanpa peta dan
ketidakpastian. Pelarian bagi Selena. Pengalihan perhatian saat Selena lelah
menangis.



Suatu hari dia menemukan seorang laki-laki di
dunia maya tak berujung itu. Seseorang yang terlalu jujur untuk bermain di dunia
maya. Mereka akhirnya melanjutkan hubungan lewat telpon hingga bertemu darat.
Selena menemukan kekasih impiannya, pangeran hati yang akan membuatnya bahagia.
Semenjak menjalin hubungan dengan pangerannya Selena mempunyai banyak alasan
untuk kembali menggairahkan hidupnya. Dia mulai menulis dan terus menulis.
Namanya kian dikenal. Editornya makin senang dengan perubahan Selena. Tawaran
untuk menulis bertambah banyak. Selena bisa menabung dari royalti yang dia
peroleh.
Namun sebuah masalah klasik kembali menghantui
Selena. Keyakinan mereka berbeda dan mereka belum bisa menentukan dengan cara
apa mereka menikah nanti. Selena lelah dituding dan menjadi perhatian
keluarganya. Dia ingin menjadi benar di mata keluarganya meski untuk beberapa
saat. Sementara pangerannya juga ingin menyenangkan keluarganya. Selena kadang
berpikir bahwa menikah itu tidak hanya menikahi pasangan namun juga menikahi
keluarganya. Dan itu memang benar.
Mereka berpacaran sampai enam tahun dengan masih
saling menunggu dan berpikir dengan cara apa mereka menikah. Mereka menunggu
untuk tidak lagi menunggu. Pada keputusasaannya Selena akhirnya mengatakan pada
kekasihnya untuk mencari wanita yang seiman meski Selena masih mencintainya. Di
luar dugaan kekasihnya melakukan hal itu. Dia menemukan seorang wanita dalam
perjalanan pulang naik kereta ke kampung halaman. Wanita itu kebetulan duduk di
sebelahnya dan menarik perhatiannya. Pertanyaan pertama yang dilontarkan
pangerannya kepada wanita itu adalah agamanya. Lalu mereka bercakap-cakap dan
seakan-akan ilmu kimia sedang berpihak kepada mereka. Kekasihnya tak berpikir
lama dan langsung melamar wanita itu. Mereka menikah dan Selena tak pernah
diundang. Sekali lagi Selena dihujani kalimat apa kubilang dari seluruh keluarganya. Selena kembali terpuruk. Enam
tahun dia menjalani harapannya hanya untuk memetik kesia-siaan.

Selena memutuskan pindah ke desa kecil dan
mengontrak sebuah rumah di tengah sawah. Tetangganya yang paling dekat jaraknya
500 meter. Selena harus pergi ke kota kecil yang berjarak 25 km untuk membeli
keperluan sehari-hari, bayar listrik, atau pulsa-meski pada kenyataannya dia
tak pernah menelpon siapapun. Dia hidup dari royalti buku-buku lamanya yang
masih laku terjual. Dia benar-benar seorang diri. Kadang dia berpikir bahwa
rumah itu berada pada jalur daerah yang tidak dipetakan. Selena pun semakin
mengabur dan gencar mempertanyakan keberadaannya pada dirinya sendiri. Hingga
akhirnya dia membeli kursi malas itu untuk memikirkan rencana bunuh dirinya.
Dia memasang kursi itu di ruang depan di dekat
jendela yang menghadap langsung ke sawah. Dia suka berayun-berayun di sana
sembari memandang hamparan kuning yang mungkin minggu depan akan dipanen. Pikirannya
melayang-layang. Dia merindukan anak, pangerannya, dan Nawitri. Saking rindunya
dia jadi lupa memikirkan rencana bunuh dirinya. Di pangkuannya ada sebuah
laptop untuk menulis pesan-pesan bunuh diri namun kenyataannya dia malah
menulis tentang ketiga orang yang ada dalam hatinya. Tangannya menulis dengan
cepat, seakan digerakkan oleh sesuatu yang kuat. Dia berkisah tentang hidupnya.
Saat dia kelelahan dia meletakkan laptop di meja kecil sampingnya dan
membiarkan tubuhnya terayun-ayun di kursi malas. Pikirannya mendengingkan pelan
suatu niatan bahwa besok dia akan memikirkan rencana bunuh diri itu. Dia
tertidur di kursi malas itu. Hal itu terjadi keesokan harinya dan terus
berlanjut selama tiga bulan ke depan. Tulisannya telah mencapai halaman 250 dengan
fond times new roman 12 satu spasi. Tanpa dia sadar kursi malas itu telah
melenakan dirinya, menunda hasrat bunuh dirinya. Selena terkejut bahwa pesan
bunuh dirinya demikian panjang. Dia membacanya lalu tergugu pelan. Sebuah kisah
sedih yang berusaha untuk tidak cengeng. Selena kemudian beranjak dari kursi
dan mencari hp. Dia menghubungkan kabel data dari hp ke laptop. Tak beberapa
lama dia sudah konek dengan internet. Selena mengetik Selena_73 di sebuah kotak
lalu menuliskan pasword di kotak
bawahnya. Tak beberapa lama emailnya muncul. Ratusan pesan tak terbaca masuk di
inbox. Sebagian besar adalah surat-surat dari fans, editor, dan Nawitri. Selena
mendesah pelan. Dia segera mengklik bagian compose
menulis pesan dan menyimpan tulisannya dalam attach file. Bagian akhirnya Selena menuliskan alamat email lalu
mengirimkannya. Setelah selesai Selena segera mencopot kabel data dari hpnya
dan men-dial sebuah nomer. Sebuah suara yang berat menyambutnya dari ujung
sana.
“Selena? Sudah lama kamu tidak menghubungi aku.”
“Aku punya cerita Tom. Sudah kukirim ke emailmu.”
“Benarkah? Kebetulan aku sedang membuka internet,
aku cek sekarang.” Terdengar suara tuts keyboard komputer di ujung telpon.
“Aku sudah menunggu debutmu lama Len. Aku mengira
kamu tidak lagi menulis. Ini berita bagus. Aku kadang kewalahan menjawab
fans-fansmu yang mempertanyakan kapan karyamu berikutnya akan terbit. Syukurlah
Len.”
“Aku juga terkejut dengan apa yang kualami.”
“Aku baru saja membuka kiriman tulisanmu.
Hmm...sepertinya kamu lupa memberinya judul.”
“Oh ya?”
“Apa judulnya Len?”
Selena terpekur. Dia mengedarkan pandangannya ke
arah kursi goyang itu. Mengamatinya cukup lama. Dia baru sadar bahwa rencananya
telah buyar. Seharusnya dia sudah mati sejak dia membeli kursi itu namun
kenyataan berkata lain. Dia hanya bisa berencana namun ada sesuatu lebih besar
yang menentukannya: kuasa Tuhan.
“Len?”
Lamunan Selena buyar.
“Ya Tom?”
“Judulnya...?”
“Pesan Bunuh Diri Selena.” Sahut Selena cepat.
“Menarik. Kamu menggunakan namamu sendiri. Tapi
bukan berarti kamu akan bunuh diri kan?”
“Dulunya.” Jawab Selena lirih sekali.
“Apa Len?” rupanya Tom tak mendengarnya.
“Ah nggak. Bukan apa-apa.”
“Baik. Aku akan pelajari novel ini sekarang juga.
Nanti aku kabari. Senang kamu kembali, Len.”
Selena menutup telpon. Matanya terasa panas. Bulir
airmata menggantung di sudut mata. Dia berjalan menuju kursi goyang dan
menjauhkan pandangannya ke luar. Selena baru sadar bahwa musim panen padi
hampir dimulai kembali. Ini adalah panen ketiga semenjak Selena tinggal di desa
ini. Satu hal yang disadari Selena bahwa ternyata dia lebih kuat mengarungi
hidup daripada yang diduganya selama ini. Diam-diam Selena tersenyum di tengah
tangisnya. Sore nanti dia berniat membalas email-email Nawitri yang sudah lama
tak dibukanya. Untuk berbagi kehidupan.
Bantul, November 2007
keren mbak..jadi mbrebes mili..:)
BalasHapusTuh kan Selena kuat, kirain mau bunuh diri
BalasHapus