Selasa, 19 Februari 2013

Email Untuk Nawang



Email Untuk Nawang

Nawang, kamu bangga menjadi ibu rumah tangga? Bekerja seharian di rumah dan mengawasi anak-anak? Kamu bisa bilang wah itu pekerjaan mulia yang tak kenal cuti libur tapi kamu tak bisa menuntut. Menjadi ibu? Itu peran terseksi. Atau kamu mungkin akan berpendapat bahwa pekerjaan tanpa upah ini sebenarnya mempunyai cek kasat mata yang bisa dicairkan di surga. Aku tahu kamu akan mengatakan hal ini sebab kamu perempuan yang paling mellow yang pernah kukenal.


Jika kamu ingin tahu apa pendapatku ada beberapa pendapat di atas yang kuamini. Tapi saat ini aku tidak ingin berpendapat soal peran ibu. Katakanlah aku sudah katam soal ini. Anakku lima dan masih kecil-kecil semua. Menjadi ibu tak lagi menjadi pekerjaan tapi sudah menjadi darah daging dalam hidupku.
Aku hanya ingin bercerita padamu soal tinggal seharian di rumah. Bagimu hal itu akan menjadi hal yang langka sebab kamu seorang wanita karier. Apalagi kamu belum punya anak jadi kamu tidak punya alasan untuk tinggal lama-lama di rumah. Aku mengerti itulah kenapa kamu sering mellow kalau aku bertanya pendapatmu tentang menjadi ibu. Lagi-lagi aku ingin menegaskan kalau aku tidak ingin mengungkit soal itu. Aku hanya ingin mengatakan padamu soal tinggal seharian di rumah. 

Nawang, jika nantinya kamu punya anak kamu akan jadi ibu yang nyaman dan tak pusing soal kemapanan. Kamu sudah punya rumah dan tak perlu berpikir uang kontrakan setiap tahun. Kamu tahu kan kami hanya mengontrak rumah kecil dengan tujuh hidung yang berebutan napas tiap hari. Rasanya sesak sekali. Tapi aku tidak akan menceritakanmu soal kontrakan aku hanya ingin mengatakan padamu soal tinggal seharian di rumah.

Rumah kontrakan kami berada satu komplek dengan tiga rumah kontrakan yang lain. Kami berbagi halaman dengan mereka, berbagi jemuran, tapi tidak pernah berbagi toleransi. Semua hanya basa-basi. Mereka adalah pasangan semua seperti aku dan suamiku. Ada yang sudah punya anak dan ada yang belum. Si Arif dan istrinya Diana adalah sama-sama seorang guru muda. Mereka belum punya anak. Si Doni dan Anaya punya toko batik dan Anaya baru hamil tiga bulan. Si Jati dan Ike sudah punya seorang anak balita. Mereka semua tidak pernah berada di rumah kala siang. 

Hanya aku saja, ibu rumah tangga tulen yang selalu merasa sepi saat anak-anakku sekolah. Tapi bukan berarti aku tidak sibuk justru aku super sibuk. Tak hanya mengurus rumahku sendiri tapi juga mengurus rumah-rumah tetanggaku. Mereka tak pernah menyapu halaman karena selalu berangkat pagi-pagi, mereka selalu meninggalkan setumpuk jemuran  dan aku harus kerepotan mengangkatnya saat hujan tiba-tiba datang, aku juga harus menahan kesabaran dalam tingkat yang di luar akal sehat saat mereka tak peduli dengan sampah-sampah mereka. 

Dan mereka memujaku. Mereka bilang aku adalah perempuan super yang bisa menyelesaikan segalanya tak hanya tanggung jawabku sendiri tapi juga yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Kadang mereka mengirimi kami satu kotak berisi jajan pasar dan selalu menjadi keroyokan kelima anakku. Aku bahkan tak pernah kebagian. Atau kadang keluarga Doni membawakanku baju batik saat lebaran datang meski modelnya sangat kuno dan selalu sesak untuk ukuran tubuhku yang semakin membengkak.

Sebenarnya aku tak membutuhkan semua itu. Aku hanya membutuhkan kesadaran mereka jika aku juga butuh bersantai di siang hari bukannya sibuk membolak-balik jemuran mereka. Tapi kamu pasti kamu tahu aku Wang. Aku orangnya tidak tegaan. Pernah saat hujan datang cucian mereka kubiarkan saja. Tapi akhirnya aku menyerah dan dalam hujan aku mengangkat semua jemuran. Tak hanya itu aku membilas ulang jemuran itu dalam kondisi tubuh yang basah kuyup.

Oh kenapa sih mereka tidak sadar-sadar. Apa begini ya hidup berbagi dengan tetangga? Kamu pasti takkan mengalaminya, Wang, perasaan galau seperti ini. Sebab kamu punya rumah sendiri, daerah kekuasaanmu sendiri. Sedangkan kami tak punya pagar, bahkan si Jati dan istrinya tinggal melompat saja ke teras kami yang memang mepet dengan terasnya. Untuk sekali saja aku ingin dengar mereka mengatakan,”Maaf, Mbak Wulan kami sudah merepotkan selama ini.” Aku tak butuh pemberian-pemberian mereka (Meski soal makanan pasti selalu habis). Aku hanya ingin mereka menyadari posisiku, melihat dari sudut pandangku. Aku tahu pemberian-pemberian itu adalah semacam ketidakenakan hati. Tapi jika memang mereka merasa seperti itu seharusnya mereka tetap meletakkan jemuran mereka di dalam rumah saat musim penghujan seperti ini.

Wang, aku sudah lupa rasanya meletakkan punggungku dengan nyaman di sandaran kursi. Membaca majalah gosip, atau menonton sinetron tidak masuk akal di siang hari. Aku ingin sekali saja menjadi tidak peduli. Apa aku bisa?
Sudah dulu Wang, aku harus menyelesaikan tulisan ini. Hujan turun. Mereka semua menjemur kasur di halaman. Sampai ketemu nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar