Email Untuk Nawang
Nawang, kamu
bangga menjadi ibu rumah tangga? Bekerja seharian di rumah dan mengawasi
anak-anak? Kamu bisa bilang wah itu pekerjaan mulia yang tak kenal cuti
libur tapi kamu tak bisa menuntut. Menjadi ibu? Itu peran terseksi. Atau kamu
mungkin akan berpendapat bahwa pekerjaan tanpa upah ini sebenarnya mempunyai
cek kasat mata yang bisa dicairkan di surga. Aku tahu kamu akan mengatakan hal
ini sebab kamu perempuan yang paling mellow yang pernah kukenal.
Jika kamu
ingin tahu apa pendapatku ada beberapa pendapat di atas yang kuamini. Tapi saat
ini aku tidak ingin berpendapat soal peran ibu. Katakanlah aku sudah katam soal
ini. Anakku lima dan masih kecil-kecil semua. Menjadi ibu tak lagi menjadi
pekerjaan tapi sudah menjadi darah daging dalam hidupku.
Aku hanya
ingin bercerita padamu soal tinggal seharian di rumah. Bagimu hal itu akan
menjadi hal yang langka sebab kamu seorang wanita karier. Apalagi kamu belum
punya anak jadi kamu tidak punya alasan untuk tinggal lama-lama di rumah. Aku
mengerti itulah kenapa kamu sering mellow kalau aku bertanya pendapatmu
tentang menjadi ibu. Lagi-lagi aku ingin menegaskan kalau aku tidak ingin
mengungkit soal itu. Aku hanya ingin mengatakan padamu soal tinggal seharian di
rumah.
Nawang, jika
nantinya kamu punya anak kamu akan jadi ibu yang nyaman dan tak pusing soal
kemapanan. Kamu sudah punya rumah dan tak perlu berpikir uang kontrakan setiap
tahun. Kamu tahu kan kami hanya mengontrak rumah kecil dengan tujuh hidung yang
berebutan napas tiap hari. Rasanya sesak sekali. Tapi aku tidak akan
menceritakanmu soal kontrakan aku hanya ingin mengatakan padamu soal tinggal
seharian di rumah.
Rumah
kontrakan kami berada satu komplek dengan tiga rumah kontrakan yang lain. Kami
berbagi halaman dengan mereka, berbagi jemuran, tapi tidak pernah berbagi
toleransi. Semua hanya basa-basi. Mereka adalah pasangan semua seperti aku dan
suamiku. Ada yang sudah punya anak dan ada yang belum. Si Arif dan istrinya
Diana adalah sama-sama seorang guru muda. Mereka belum punya anak. Si Doni dan
Anaya punya toko batik dan Anaya baru hamil tiga bulan. Si Jati dan Ike sudah
punya seorang anak balita. Mereka semua tidak pernah berada di rumah kala
siang.
Hanya aku
saja, ibu rumah tangga tulen yang selalu merasa sepi saat anak-anakku sekolah.
Tapi bukan berarti aku tidak sibuk justru aku super sibuk. Tak hanya mengurus
rumahku sendiri tapi juga mengurus rumah-rumah tetanggaku. Mereka tak pernah
menyapu halaman karena selalu berangkat pagi-pagi, mereka selalu meninggalkan
setumpuk jemuran dan aku harus kerepotan
mengangkatnya saat hujan tiba-tiba datang, aku juga harus menahan kesabaran
dalam tingkat yang di luar akal sehat saat mereka tak peduli dengan
sampah-sampah mereka.
Dan mereka
memujaku. Mereka bilang aku adalah perempuan super yang bisa menyelesaikan
segalanya tak hanya tanggung jawabku sendiri tapi juga yang seharusnya menjadi
tanggung jawab mereka. Kadang mereka mengirimi kami satu kotak berisi jajan
pasar dan selalu menjadi keroyokan kelima anakku. Aku bahkan tak pernah kebagian.
Atau kadang keluarga Doni membawakanku baju batik saat lebaran datang meski
modelnya sangat kuno dan selalu sesak untuk ukuran tubuhku yang semakin
membengkak.
Sebenarnya
aku tak membutuhkan semua itu. Aku hanya membutuhkan kesadaran mereka jika aku
juga butuh bersantai di siang hari bukannya sibuk membolak-balik jemuran
mereka. Tapi kamu pasti kamu tahu aku Wang. Aku orangnya tidak tegaan. Pernah
saat hujan datang cucian mereka kubiarkan saja. Tapi akhirnya aku menyerah dan
dalam hujan aku mengangkat semua jemuran. Tak hanya itu aku membilas ulang
jemuran itu dalam kondisi tubuh yang basah kuyup.
Oh kenapa
sih mereka tidak sadar-sadar. Apa begini ya hidup berbagi dengan tetangga? Kamu
pasti takkan mengalaminya, Wang, perasaan galau seperti ini. Sebab kamu punya
rumah sendiri, daerah kekuasaanmu sendiri. Sedangkan kami tak punya pagar,
bahkan si Jati dan istrinya tinggal melompat saja ke teras kami yang memang
mepet dengan terasnya. Untuk sekali saja aku ingin dengar mereka
mengatakan,”Maaf, Mbak Wulan kami sudah merepotkan selama ini.” Aku tak butuh
pemberian-pemberian mereka (Meski soal makanan pasti selalu habis). Aku hanya
ingin mereka menyadari posisiku, melihat dari sudut pandangku. Aku tahu
pemberian-pemberian itu adalah semacam ketidakenakan hati. Tapi jika memang
mereka merasa seperti itu seharusnya mereka tetap meletakkan jemuran mereka di
dalam rumah saat musim penghujan seperti ini.
Wang, aku
sudah lupa rasanya meletakkan punggungku dengan nyaman di sandaran kursi.
Membaca majalah gosip, atau menonton sinetron tidak masuk akal di siang hari.
Aku ingin sekali saja menjadi tidak peduli. Apa aku bisa?
Sudah dulu
Wang, aku harus menyelesaikan tulisan ini. Hujan turun. Mereka semua menjemur
kasur di halaman. Sampai ketemu nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar